Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA akhirnya, empat "monster" itu memang bagian dari pertunjukan. Deru satu monster itu menggetarkan tubuh-tubuh di panggung; sebuah katastrofe. Awal yang damai, terbatas pada satu bidang teratak, musik yang monoton dari tiga perkusi, suara derap kaki pada teratak, suara-suara hutan, lantunan tembang dalam bahasa yang khas, suara kelintingan, pohon besar bersulur-sulur dengan cahaya merah lampu adalah masa lampau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tubuh-tubuh telanjang dada berhiaskan dedaunan tersingkir, terang lampu menyebar memperlihatkan panggung teratak yang meluas; dua teratak memanjang bersilangan dengan teratak awal. Masuk tubuh-tubuh lalu-lalang tak beraturan, dengan gerak masing-masing—kontras dengan tubuh-tubuh awal yang bergerak berirama, teratur, maju-mundur, jongkok, membentuk lingkaran, lalu bergerak berputar. Yang lalu-lalang adalah "orang baru", bertelanjang dada, sebagian menutup dada (penari perempuan)—kostum yang hampir tanpa unsur alam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di pinggir arena pertunjukan, sesosok tubuh masuk dengan memanggul sesosok tubuh lain. Tubuh itu berbelit tambang, lalu sesosok lain berupaya menarik tambang yang membelit itu. Beberapa tubuh bergelantungan pada tali tambang yang diikatkan pada pohon besar di latar panggung teratak.
Tiga perkusi menghilang; bergaung nada yang mirip, datang dari pengeras suara. Beberapa tubuh yang lain bergerak pada empat sepeda motor yang diletakkan "begitu saja". Sepeda motor besar, terasa "asing", tak menyatu dengan segala yang ada, sampai kemudian, tatkala satu di antaranya dihidupkan. Lewat deru itu, properti yang terasa asing ini terbayang bak monster yang menggetar-guncangkan tubuh-tubuh. Di latar nun "jauh", tampak bangunan museum, juga sebentuk rumah joglo—tempat pameran seni rupa Artjog. Pertunjukan ini adalah bagian dari Artjog, sebenarnya.
Pertunjukan dua malam sekitar sejam di halaman terbuka Jogja National Museum, Gampingan, Yogyakarta, di akhir pekan minggu keempat Agustus lalu ini datang dari Sardono W. Kusumo. Sudah lama penari dan penata tari ini menciptakan karya yang berangkat dari budaya lokal dan masalah lingkungan hidup. Meta Ekologi, Hutan Plastik, dan Hutan Merintih di antaranya. Untuk karya terbaru, di Artjog 2023, Sardono menggarap budaya Mentawai: Men Ta (Too) Way. Judul yang tak cepat bisa dipahami ini dapat dibaca "mentato way", jalan hidup tato Mentawai.
Men Ta (Too) Way karya Sardono W. Kusumo pada gelaran Artjog 2023, di Jogja National Museum, Gampingan, Yogyakarta, 25 Agustus 2023/Dokumentasi ARTJOG
Memang, beberapa waktu sebelum datang tawaran dari Artjog, Sardono datang ke Mentawai, kabupaten di Provinsi Sumatera Barat, kepulauan di barat provinsi. Ia terpesona oleh tato pada tubuh orang-orang Mentawai. Ia tahu dari ringkasan sebuah tesis di Seni Rupa Institut Teknologi Bandung bahwa tato di Mentawai adalah tato tertua di Nusantara, mungkin di Asia. Orang-orang Mentawai, konon, juga kelompok etnis tertua di Nusantara.
Tato tampaknya bukan sekadar hiasan tubuh. Tato Mentawai adalah pertanda jati diri dan status sosial. Tato menunjukkan siapa pemilik tato: sikerei (dukun adat), ketua adat, pemburu, atau ibu rumah tangga, warga biasa. Status itu menentukan motif tato: hewan buruan, bentuk tumbuhan, tangguk untuk menangkap ikan, dan lain-lain. Tato tak dibuat sembarang waktu. Ada tiga tahap penatoan: pada usia awal belasan tahun, menjelang usia 20 tahun, dan pada umur lebih dari 20 tahun. Penatoan pun mesti dilakukan dengan upacara, yang mungkin cukup mahal, menyembelih ayam dan babi. Upacara dipimpin oleh sikerei, sang dukun adat, pekerjaan yang konon ditentukan oleh Yang Membuat Hidup. Jadi sikerei bukan hanya ahli obat-obatan, tapi juga penjaga adat, penjaga masyarakat.
Pertunjukan di Artjog adalah pertunjukan sikerei. Tatkala seseorang sakit dan meminta pertolongan sikerei, pengobatan dilakukan dengan menemukan penyakit, kemudian menentukan obat. Salah satu cara diagnosis itu adalah menari, hingga sikerei mengetahui yang diderita si sakit. Baru kemudian ditentukan obatnya, biasanya tumbuh-tumbuhan yang ada di hutan.
Tari diagnosis itulah yang dibawa Sardono ke Artjog. Pertunjukan Men Ta (Too) Way diawali delapan penari muda (tiga perempuan) dari sebuah sanggar di Siberut Selatan. Sejak beberapa waktu lalu, menengarai berkembangnya zaman membuat warga Mentawai setengah hati mengikuti adat, sanggar ini didirikan untuk menjaga adat. Biasanya, hal-hal yang berkaitan dengan ritual hidup diiringi tarian. Di sanggar, tarian itu diajarkan oleh sikerei.
Bisa dibayangkan gerak tari itu bisa saja "dikembangkan". Hal ini patut dicermati, apakah pengembangan itu bernilai atau sebaliknya. Di Artjog itu, misalnya, dalam gladi resik, gerak orang-orang sanggar ini tak lagi persis seperti tari sikerei. Ada gerak tangan seolah-olah kupu-kupu terbang, katakanlah mirip tari kupu tarung. Saya melihat Sardono kemudian meminta gerak tangan dikembalikan seperti aslinya, lengan lebih menekan ke bawah, bukan seperti gerak sayap kupu-kupu terbang.
Tari para orang muda ini mungkin sebagai pembuka saja. Baru setelah mereka turun panggung, masuk empat sikerei, melakukan maturuk (bahasa mereka untuk menari). Inilah inti pertunjukan Men Ta (Too) Way. Gerakan mereka sederhana. Mereka bergerak agak membungkuk, kedua lengan direntangkan ke depan agak ke samping, lalu digerakkan ke bawah seperti menekan-nekan sesuatu. Keempatnya kompak maju, mundur, ke samping, membentuk satu garis, lalu bergerak melingkar. Begitu berulang-ulang.
Gerak tari ini diilhami gerakan hewan, umumnya burung dan monyet. Semua gerakan dilakukan santai, berisi, tidak dibuat-buat. Tatkala mereka mengambil gerak monyet, tampaknya yang ditiru monyet sedang bercanda; ada senyuman, samar-samar, pada bibir-keempat sikerei itu. Mereka pun saling mencucukkan daun yang sejak awal diselipkan di antara jari-jari, seperti hendak menggelitik teman tarinya.
Selain bertelanjang dada, bercawat, dan dengan dedaunan dipasang di belakang mirip ekor unggas, ada semacam kain yang digantungkan di depan, dari pinggang hingga di atas lutut. Kain ini digambari bentuk bidang segi empat dengan garis merah, dibagi tiga: satu membujur di bawah, di atasnya dua bidang simetris. Tiap bidang, berlatar putih, digambari mirip tulang ikan dalam posisi vertikal hitam di dua kotak atas. Kotak bawah digambari deretan segitiga runcing hitam. Iringan tari ini datang dari tiga alat perkusi yang ditepuk dan dipukul. Ditambah keempat sikerei bergantian melantunkan tembang dalam bahasa mereka, berirama rendah hampir mirip bergumam. Suara yang dominan adalah rentakan kaki mereka pada teratak.
Men Ta (Too) Way karya Sardono W. Kusumo pada gelaran Artjog 2023, di Jogja National Museum, Gampingan, Yogyakarta, 25 Agustus 2023/Dokumentasi ARTJOG
Empat sikerei turun panggung, naik empat orang muda, mungkin calon sikerei, meliat tariannya. Tak seberbobot tari empat sikerei, tapi lebih intens dibanding tarian dari sanggar. Ada tambahan suara pada babak ini: suara kelintingan.
Lalu barulah pertunjukan oleh para mahasiswa dan alumnus Institut Kesenian Jakarta dan Institut Seni Indonesia Surakarta, Jawa Tengah. Merekalah, sekitar 20 orang, yang naik panggung dengan berjalan lalu-lalang, bolak-balik, seperti digambarkan di paragraf awal. Semua adegan mengesankan suasana menuju khaos. Semula, dengan derap kaki pada teratak, terkesan babak ini adalah respons terhadap maturuk sikerei.
Selanjutnya adalah gambaran hiruk pikuk dan bermacam olah gerak. Seseorang menggeliat-liat. Yang lain berlarian dari satu teratak ke yang lain. Ada pula yang menari di atas sepeda motor yang sejak awal diletakkan di sisi kiri arena dari arah penonton. Beberapa sosok bergelantungan pada tambang yang diikatkan ke pohon besar, beringin, di latar teratak. Masuk pula seseorang melantunkan lagu, atau menirukan suara hutan. Tiap sosok melakukan olah tubuh menurut respons masing-masing pada suasana yang terbentuk. Sebuah orkestra gerak dengan "nada" masing-masing tapi secara keseluruhan membentuk satu suasana.
Lalu deru sepeda motor, dan—itu tadi—tubuh sosok-sosok terguncang beberapa lama, sebelum semua berakhir. Sebuah akhir yang terbuka. Adakah deru teknologi itu merupakan akhir zaman, ketika benda asing memberondongkan suara dahsyat yang mengguncangkan tubuh-tubuh, atau sebuah awal kehidupan baru.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Men Ta (Too) Way: Deru Teknologi Mengoyak Lingkungan"