Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Benarkah Kendaraan Listrik Solusi Menurunkan Polusi Udara?

Penggunaan mobil listrik dianggap tak menyelesaikan persoalan polusi udara di Jakarta. Angka deforestasi juga meningkat.

3 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERDALIH harganya menguras duit negara, penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, emoh mengendarai mobil listrik. Meski paham mobil listrik rendah emisi, ia memilih menggunakan mobil hybrid hitam untuk operasional keliling Jakarta sehari-hari. “Pemerintah enggak mampu beli, mending hybrid murah perawatan dan suku cadang,” kata Heru, Rabu, 30 Agustus lalu.  

Pernyataan Heru bertentangan dengan permintaan dia pada pertengahan Agustus lalu. Ia meminta pegawai negeri Jakarta membeli kendaraan listrik untuk menekan tingkat polusi udara. Heru bersedia membantu anak buahnya agar mendapat bunga rendah dari bank untuk mencicil kendaraan listrik. “Sekarang panggilan negara. Kamu harus mau, harus sanggup,” ujar Heru.

IQAir, platform informasi kualitas udara asal Swiss, mencatat indeks kualitas udara di Jakarta pada Sabtu, 2 September lalu, sebesar 169. Angka itu menempatkan Jakarta sebagai kota dengan polusi udara terburuk sedunia, dengan partikel halus PM2.5 sebanyak 91 mikrogram per meter kubik, 18 kali lebih tinggi dari standar Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Dalam catatan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), ada tiga polutan utama di udara Jakarta, yakni partikel halus PM2.5, sulfur dioksida (SO2), dan nitrogen oksida (NOx). Tiga polutan itu bersumber dari berbagai aktivitas, dari pembangkit listrik, transportasi, sampai industri manufaktur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengecekan sepeda motor listrik oleh seorang karyawan di toko motor listrik, Jalan Bekasi Timur, Jakarta, pada 2 Agustus 2023/Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Analisis CREA yang terbit pada 25 Agustus lalu menemukan polutan SO2 dan NOx di udara Jakarta kebanyakan bersumber dari pembangkit listrik batu bara. Lebih dari 90 persen SO2 di udara berasal dari pembangkit, yang juga mengeluarkan NOx serta PM2.5 ke udara Jakarta masing-masing 27 dan 4 persen.

Baca: Gagap Pemerintah Mengatasi Polusi Udara

Menurut peneliti CREA, Lauri Myllyvirta, kendaraan listrik bukan solusi untuk menekan tingkat polusi Jakarta selama listrik di Indonesia bersumber dari pembangkit batu bara. Kenaikan populasi kendaraan listrik justru meningkatkan polutan di udara. Sebab, penggunaan setrum dari pembangkit batu bara untuk mengecas kendaraan listrik kian masif. 

Dalam hitungan CREA, kadar SO2 meningkat 0,15 gram lebih banyak dengan menggunakan mobil listrik ketimbang bahan bakar bensin. “Solusi utama adalah transisi pembangkit dari batu bara ke energi ramah lingkungan,” tutur Lauri.

Jakarta dikepung pembangkit batu bara. Ada sepuluh pembangkit batu bara pada radius 100 kilometer dari batas Jakarta. CREA mencatat polusi dari pembangkit baru bara bertanggung jawab terhadap 1.600 kasus kematian dini di Jakarta per tahun.

Baca: Wawancara Heru Budi Hartono soal Polusi Jakarta

Masalahnya, jumlah pembangkit batu bara di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2022, misalnya, kapasitas terpasang pembangkit batu bara meningkat 13,8 persen dari tahun sebelumnya. Pada 2024, Institute for Essential Service Reform atau IESR menaksir konsumsi batu bara untuk pembangkit sebesar 131 juta ton.

Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro, mengatakan sumber energi Indonesia bergantung pada pembangkit batu bara karena harganya terjangkau. Namun pembangkit itu akan pensiun seiring dengan target netralitas karbon pada 2060. “Belum ada opsi renewable energy dengan harga terjangkau,” ujar Bambang, Sabtu, 2 September lalu. 

Meski mobil listrik ikut berdampak pada peningkatan polusi, pemerintah tetap ngotot menjadikannya sebagai salah satu solusi. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan mengatakan solusi atas polusi di Jakarta antara lain dengan mempercepat peralihan dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik.

Sebelum menjadi ketua tim penanganan polusi Jakarta pada Senin, 28 Agustus lalu, Luhut gencar mempromosikan ekosistem kendaraan listrik di Tanah Air. Termasuk merencanakan pembangunan smelter nikel hingga memberikan insentif untuk pembelian kendaraan ramah lingkungan. “Kita percepat proses electric vehicle,” kata Luhut, Jumat, 1 September lalu.

Baca: Derita Pasien ISPA Akibat Polusi Udara

Nyatanya, mobil listrik ikut memuluskan deforestasi. Juru kampanye Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, mengatakan komponen baterai kendaraan listrik berasal dari nikel. Greenpeace menemukan penambangan nikel di Sulawesi Tengah dan Tenggara mengakibatkan deforestasi lebih dari 500 ribu hektare. “Kendaraan listrik justru merusak lingkungan di daerah,” ujar Arie.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Mutia Yuantisya dan Julnis Firmansyah berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit dengan judul "Emisi dari Panggilan Negara".

Erwan Hermawan

Erwan Hermawan

Menjadi jurnalis di Tempo sejak 2013. Kini bertugas di Desk investigasi majalah Tempo dan meliput isu korupsi lingkungan, pangan, hingga tambang. Fellow beberapa program liputan, termasuk Rainforest Journalism Fund dari Pulitzer Center. Lulusan IPB University.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus