Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dulu Jalan Pos Kini Jalan Pabrik

Jalur Daendels Sepanjang Pantai Utara Jawa Kini Dipenuhi Pabrik. Masih Dianggap Strategis Bagi Pengusaha Meski Kini Kepadatannya Sudah Abnormal. Pemerintah Harus Membangun Jalan Di Jalur Selatan.

25 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JARUM speedometer mobil boks yang dikendarai Wahyono, 37 tahun, menyentuh angka 120 kilometer per jam. Bahkan, tak jarang, di jalan tol ia menekan pedal gas lebih dalam sehingga mobil milik eksportir melati segar PT Alamanda Sejati Utama itu melaju dengan kecepatan 140 km per jam. Wahyono terpaksa melakukannya jika pengepakan kuncup-kuncup melati super polos, melati gundul super, dan melati ronce aneka ukuran itu molor dua-tiga jam dari jadwal.

"Kalau telat dari pukul 03.00 sampai di Bandara Soekarno-Hatta bisa mendapat surat peringatan," kata pria asal Tegal itu. Seharusnya pengepakan selesai pukul 19.00 sehingga mobil Wahyono cukup melaju 80 km per jam. Keluar dari gerbang pabrik di Jalan Maribaya Kilometer 10,5, Kramat, Tegal, dia mengambil rute Jalur Pantai Utara (Pantura) Tegal-Brebes, yang termasuk Jalan Pos yang dibuka Herman Willem Daendels 207 tahun silam. Wahyono lalu masuk ke jalan tol Pejagan dan keluar di pintu tol Palimanan. Kemudian ia menyusuri Pantura Cirebon-Indramayu dan masuk ke jalan tol Cikampek-Cawang, terus ke Tol Dalam Kota Jakarta, dan Tol Bandara sampai ke Cengkareng.

Bagi PT Alamanda, berada dekat Jalur Pantura Jawa sebuah keharusan. Itu sebabnya, sejak membuka cabang di Tegal pada 2005, perusahaan eksportir buah, sayur, bunga, dan rempah-rempah yang berkantor pusat di Jalan Banjaran, Bandung, ini tiga kali berpindah tempat kontrakan, yang selalu di pinggir Jalur Pantura. Khusus kantor cabang Tegal berfokus pada ekspor bunga melati ke Thailand, Singapura, dan Malaysia.

"Kalau terlalu jauh (dari Jalur Pantura) boros waktu dalam pengirimannya, baik dari pemasok maupun dari kami ke bandara," ujar Dudi Rustandi, Supervisor PT Alamanda Sejati Utama Divisi Melati. Bukan hanya PT Alamanda yang mengandalkan Jalur Pantura sebagai akses pra dan pasca-produksi. PT Pisma Putra Textile, anak usaha Pisma Group, di Jalan Raya Pait Kilometer 10, Pekalongan, Jawa Tengah, juga memilih lokasi pabrik tepat di sisi Jalur Pantura. Pabrik pemintalan benang yang berdiri pada 1999 ini menghasilkan 7.500 bal benang pintal per bulan, yang menjadi bahan baku bagi anak usaha lain: PT Pisma Garmen Indo dan PT Pisma Textile, pabrik sarung terbesar di Pekalongan.

Lokasi dekat Pantura, menurut Dedi Sukma, Manager Staff Pisma Putra, strategis. Keluar-masuk barang lebih mudah dibanding tempat lain karena jalur itu menghubungkan seluruh Jawa dan dekat pelabuhan. Bahan baku berupa serat fiber, poliester, dan rayon didatangkan dari Semarang, Purwokerto, dan Bandung-semuanya lewat Pantura. Juga pengiriman sarung ke agen penjualan di Bandung dan Surabaya, juga ke Palembang dan Padang, serta diekspor ke Malaysia, Brunei, dan Dubai, via Tanjung Priok, Jakarta.

Slamet Susanto, koordinator bagian transportasi Pisma Putra, mengatakan belum ada jalur lain yang lebih baik daripada Jalur Pantura. Dalam sehari, tiga-empat truk kontainer perusahaannya melewati jalur tersebut. Pengangkutan barang dari PT Pismatex dan Pisma Putra dimulai pukul 19.00. Menurut dia, pada jam tersebut, Jalur Pantura masih sepi. Pantura mulai ramai pukul 12.00-17.00.

Lelaki yang sebelumnya bekerja sebagai sopir truk dan sudah 40 tahun melintasi Jalur Pantura itu mengatakan kini semakin banyak truk dan kendaraan lain yang melintasi jalur ini. Jalan yang cenderung lurus dan lebar menjadi pilihan para sopir truk dan pengemudi mobil pribadi untuk melintas ketimbang di jalur lain. Hal itu juga diiyakan Wahyono. Sepanjang pengamatannya, jumlah truk yang melintas di Jalur Pantura semakin banyak dan perjalanannya tidak kenal waktu.

Djoko Murjanto, yang menjabat Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat periode 2009-2014, membenarkan bahwa Jalur Pantura masih menjadi jalur favorit untuk lalu lintas logistik. Dia mengutip hasil survei yang dilakukan konsultan Bina Marga asal Australia bahwa Jalur Pantura menanggung beban 70-80 persen lalu lintas perekonomian Indonesia.

"Kepadatan Jalur Pantura sudah sangat abnormal. Kalau batas kewajaran itu 60 persen, yang terjadi di Pantura 85-90 persen," ucap Djoko, yang menjabat pelaksana tugas Direktur Jenderal Bina Marga sampai 5 Mei lalu. Kepadatan itu terjadi, kata dia, karena sistem logistik nasional Indonesia yang kurang efisien memanfaatkan kepulauan Indonesia. "Bayangkan kalau mau kirim barang ke luar negeri dari Medan harus dikapalkan dulu ke Surabaya, lalu masuk Pantura menuju Tanjung Priok sebagai hub internasional," ujarnya. "Sekarang pemerintah sedang menata dengan membangun tiga hub internasional di Semangke, Sumatera Utara; Tanjung Priok; dan Bitung, Sulawesi Utara," tutur Djoko.

Selain itu, Djoko menyebutkan masih ada persoalan sistem transportasi yang tidak efisien. Menurut dia, sebesar 92 persen transportasi di Indonesia menggunakan jalan raya. Sebagai perbandingan, "Di Jalur Pantura sendiri yang membentang dari Merak sampai Banyuwangi itu, volume kendaraan yang melintas harian adalah 40 ribu," ujarnya. Dari angka tersebut, 42 persen merupakan lalu lintas barang yang diangkut dengan kendaraan berat.

Kini Bina Marga, menurut Djoko, sedang mengupayakan percepatan penyelesaian jalan tol Trans Jawa dan Jalan Lintas Selatan Jawa. Dia optimistis, pada akhir 2016, semua persoalan tanah untuk jalan tol Trans Jawa sudah selesai sehingga konstruksi bisa dimulai dan awal 2018 sudah berfungsi. Persoalan lahan Jalan Lintas Selatan, kata Djoko, pun sudah selesai. Tidak ada persoalan juga dengan pendanaannya. "Dari Banten, semua sudah tembus sampai Jawa Barat. Di Jawa Tengah, ada sekitar 40 kilometer yang tahun ini selesai dikerjakan dan di Jawa Timur sudah ada progres 80 kilometer. Dua tahun lagi sudah selesai," ucapnya.

Keberadaan Jalan Lintas Selatan Jawa tak hanya akan mengurangi beban Jalur Pantura, tapi juga akan mengatasi kesenjangan kesejahteraan antarwilayah di utara dan di selatan Jawa. Ign. Sigit Murwito, Deputi Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah, mengatakan ketimpangan kesejahteraan itu terlihat dari jumlah kabupaten/kota yang tergolong daerah tertinggal. "Dari 22 kabupaten/kota di Pantai Selatan Jawa, ada 9 kabupaten yang tergolong daerah tertinggal. Sedangkan dari 25 kabupaten/kota di Pantai Utara Jawa, hanya Rembang dan Situbondo yang tergolong daerah tertinggal," ujar Sigit.

Penyebab ketimpangan itu, menurut Sigit, di antaranya kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa di Pantai Selatan dan kegiatan ekonomi wilayah, seperti kawasan industri dan pabrik, terkonsentrasi di Jalur Pantai Utara. "Untuk mengendalikan ketimpangan ini, perlu penyebaran pembangunan infrastruktur dan pembangunan pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah Pantai Selatan," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus