Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Metamorfosis Trans Jawa Warisan Marsekal Besi

Lidah orang Jawa dulu memelesetkan pangkat perwira tingginya, maarschalk (marsekal), sebagai "mas galak". Itu panggilan bagi Marsekal Herman Willem Daendels. Wataknya keras. Ia tak hormat kepada raja-raja Yogyakarta dan Surakarta, apalagi bupati-bupati dan residen-residen. Terpengaruh gelora Revolusi Prancis, ia ingin memberangus feodalisme masyarakat tradisional kita. Pada 5 Mei 1808, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36 itu mengeluarkan instruksi pembangunan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg). Potongan pertama menghubungkan Buitenzorg (Bogor)-lokasi istananya-ke Cirebon. Ternyata pembangunan jalan tidak semulus hitungannya. Ruas Megamendung hingga Cadas Pangeran menewaskan banyak kuli. Tapi itu tak membuatnya surut. Jalan modern Trans Jawa dianggapnya penting. Ia tak peduli korban berjatuhan. Ia bahkan lalu mengumpulkan 38 bupati se-Jawa dan meminta mereka meneruskan pembangunan ke Semarang, lalu ke Surabaya, dan berakhir di ujung timur. Jalan penuh cerita penderitaan itu kini bermetamorfosis menjadi jalan industri. Ia masih menjadi sebuah jalan Trans Jawa satu-satunya. Memperingati potongan pertama penuh darah yang dikerjakan Mei 1808 itu, Tempo menyusuri ruas-ruas Jalan Raya Pos dari Anyer hingga Panarukan.

25 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA dalam setahun, 1808-1809, sebentangan jalan dari Anyer, Jawa Barat, ke Panarukan, Jawa Timur, yang tadinya jalan desa terputus-putus, rampung tersambungkan. Panjangnya lebih-kurang 1.000 kilometer. Tak mungkin pekerjaan itu terlaksana tanpa tangan besi. Maka bisa dimaklumi jika jalan itu menyimpan kisah-kisah muram, kisah-kisah kekerasan, sekaligus cerita sukses yang berkesinambungan sampai kini.

Pada 1808, Marsekal Herman Willem Daendels, tatkala itu 46 tahun, datang ke Batavia sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Lelaki kelahiran kota kecil Hattem di Belanda itu dikenal sebagai "orang kuat". Ia bagian dari kaum patriot Belanda yang terpesona oleh Revolusi Prancis. Ia Panglima Legion Etrangere yang ikut menggulingkan rezim William Oranje V dan menjadikan Belanda bagian dari Prancis. Ketika Belanda diduduki Louis Napoleon, adik kandung Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte, Daendels dikirim ke Jawa.

Tugas utamanya adalah mengamankan Jawa dari serangan Inggris. Prancis ketika itu sedang berseteru dengan Inggris. Jawa adalah daerah koloni Belanda-Prancis yang belum jatuh ke tangan Inggris. Mauritius, jajahan Prancis, pada 1807 sudah jatuh ke tangan Inggris. Ancaman Inggris akan merebut Jawa sudah di depan mata. Pada 1800, Inggris telah menghancurkan galangan kapal Belanda di Pulau Onrust dan menguasai Pantai Marunda.

Setiba di Batavia, Daendels tancap gas. Untuk pengamanan itu, ia membayangkan sebentang jalan strategis militer, sebagaimana Imperium Romawi memiliki jalan cursus publicus yang menghubungkan Roma dengan semua kota jajahannya di Eropa Barat. Jalan itu akan membuat Daendels mampu melakukan mobilisasi horizontal pasukan dari istana di Buitenzorg (Bogor) ke sepanjang Nusa Jawa. Dari Buitenzorg, Daendels melakukan perombakan administrasi kepegawaian. Ia menginginkan pemerintahan sentralistis dengan birokrasi modern yang efisien. Para bupati dimasukkan ke peta administrasi kolonial. Mereka masuk sistem kedinasan Belanda.

Lebar jalan itu 7,5 meter, sesuai dengan standar Eropa. Jalan itu berbatu dan berpasir agar bisa dilalui kuda pada musim hujan. Melalui jalan itu, Daendels akan melakukan koordinasi dengan bupati dan aparatnya di daerah. Daendels di antaranya menginstruksikan wajib tanam kopi. Jalan itu juga digunakannya untuk melancarkan pengangkutan kopi.

Jalan itu sendiri sesungguhnya tidak semua baru. Daendels memanfaatkan jalan-jalan pedesaan yang sudah terbentang di sepanjang Jawa. Daendels diperkirakan menggunakan jalan yang dilalui Sultan Agung ketika menyerang Batavia, 1628-1629. Jauh sebelumnya, pada abad ke-15, seorang resi Sunda bernama Bujangga Manik, dalam sebuah naskah Sunda kuno yang disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford University, disebutkan melakukan perjalanan dari Pakuan Pajajaran (Jawa Barat) ke Candi Rabut Palah (sekarang Candi Penataran, Jawa Timur). Banyak lokasi yang disebutnya masih cocok dengan nama-nama daerah Jawa kini. Bisa jadi pada abad ke-15 itu sudah ada jalan setapak dari Sunda ke Jawa.

Jalan militer Daendels itu kemudian bernama De Grote Postweg, karena Daendels mendirikan 50 stasiun pos antara Batavia dan Surabaya untuk mempercepat komunikasi dengan aparatnya. Pegawai-pegawai pos Daendels berseragam jas biru, bercelana garis merah, dan memakai selempang putih bertanda pos di lengan kiri. Pegawai-pegawai itu wajib memacu kuda dengan kecepatan rata-rata 12 kilometer per jam pada musim kemarau dan 7,5 kilometer per jam pada musim hujan.

Tidak dimungkiri, jalan ini menjadi sarana lalu lintas modern pertama di Jawa dan kini salah satu urat nadi Jawa. Tanpa jalan ini, industri Jawa tak bergerak. Tempo edisi kali ini ingin menyajikan sesuatu yang lain daripada yang lain: seberkas laporan menyusuri Anyer-Panarukan. Bila Tempo memilih momen penerbitan Mei, katakanlah itu untuk memperingati dimulainya etape pertama pembuatan jalan Daendels dari Buitenzorg (Bogor) menuju Cirebon melalui Karangsambung, yang dilaksanakan pada 5 Mei 1808. Etape berjarak 250 kilometer itu salah satu medan terberat karena harus menembus perbukitan, memotong lereng gunung, dan memangkas cadas.

Untuk pembuatan jalan militer ini, Daendels berusaha menggunakan anggaran negara yang minim. Sebagian besar biaya dibebankan ke para bupati. Hanya untuk rute-rute tertentu yang berat, seperti Megamendung-Cianjur-Parakanmuncang-Sumedang-Karangsambung, Daendels mengucurkan uang. Tapi justru di jalur ini banyak kuli-meski dibayar-tewas kelaparan dan terserang malaria.

Dari Karangsambung, jalan menembus hutan lebat melewati Palimanan sampai Cirebon. Setelah menyeberangi Sungai Cipamali menuju Brebes, jalan memasuki kota-kota Jawa Tengah: Tegal, Pemalang, Comal, Pekalongan, Kendal, Kaliwungu, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, dan Lasem. Terus menuju Jawa Timur: Pacitan, Sidayu, Gresik, Surabaya, Porong, Bangil, Pasuruan, Paiton, Besuki, dan Panarukan.

Setelah Indonesia merdeka, jalan ini menjadi tumpuan. Orde Lama tidak membuat jalan baru Pantura atau Pantai Utara Jawa. Demikian juga Orde Baru. Sampai pada pemerintahan Joko Widodo, jalan Pantura hanyalah terusan Jalan Pos Daendels. Lebarnya pun masih sama.

****

MARILAH menyimak peta Jawa akhir abad ke-19 yang dibuat hidrografer Melvill van Carnbee dan topografer W.F. Versteegh. Peta ini dibuat pada 1853-1862. Secara mencolok tergambar dalam peta lama itu sebuah jalur merah memanjang bagaikan pita. Itulah Jalan Raya Pos, ditandai sebagai jalan utama Jawa. Peta itu demikian rinci: kota-kota kecamatan kecil di sepanjang kanan-kiri jalan pun dicantumkan. Bahan pembuatan peta itu antara lain dikompilasi dari peta-peta koleksi Roland Bonaparte yang disimpan di Bibliothèque Nationale, Paris.

Peta itu menunjukkan, dalam rentang 200 tahun, beberapa kota mungkin bergabung dengan kota di sebelahnya-atau kini hanya menjadi kecamatan kecil. Di dekat Probolinggo, misalnya, ada kota bernama Kedoeng Badjoel. Kota itu sekarang tak terdengar namanya. Selain kota "hilang", tentu banyak muncul kota baru di sepanjang Jalan Pos itu. Para ahli tata perkotaan mengatakan Pacet, Weleri, Plered, Sidoarjo, Gempol, Bangil, dan Kraksaan tadinya adalah pasar kecil yang tumbuh menjadi kota karena letaknya di persilangan jalan Daendels.

Beberapa kota, setelah Jalan Pos rampung, memang dipindahkan agar mendekati Jalan Pos. Ibu kota Kabupaten Bandung, yang semula di Dayeuhkolot (di tepi Sungai Citarum), misalnya, dipindahkan ke Kota Bandung sekarang. Pemerintahan Belanda di Jepara oleh Daendels dipindahkan ke Pati. Pada 1809, menurut sejarawan Jan Breman, Daendels mengeluarkan peraturan bagi penduduk wilayah Cirebon-Priangan agar tidak berdiam di permukiman yang menyebar. Permukiman kecil dengan jumlah penduduk kurang dari enam keluarga tidak diakui dan harus bergabung dengan lokasi yang lebih besar. Ini semua membuat munculnya kota-kota kecil baru.

Akan halnya di Tegal, Jalan Raya Pos membelah jalan: sisi utara menjadi permukiman Eropa, bagian selatan permukiman Tionghoa, dan di luar keduanya permukiman pribumi. Pada 40 tahun pertama, Jalan Raya Pos dari Anyer sampai Panarukan tak boleh dilewati rakyat jelata. Penduduk membuat jalan setapak paralel di samping Jalan Raya Pos. Semua ini lambat-laun menjadikan jalur Anyer-Panarukan sebagai fenomena kota yang memanjang (ribbon city).

****

LAPORAN khusus ini merupakan laporan pandangan mata merekam denyut Jalan Raya Pos kini. Wartawan Tempo ada yang menumpang truk, berjalan dari satu titik ke titik lain, dari kampung-kampung yang pernah terkenal sebagai sarang bajing loncat sampai ke desa-desa prostitusi.

Daendels dulu memiliki pasukan bernama Jayeng Sekar. Pasukan berkuda yang dilengkapi karabin ini khusus menjaga perjalanan pegawai pos. Di kawasan Cirebon, misalnya, ketika itu masih marak pembegalan. Beberapa tahun sebelum kedatangan Daendels, di situ terjadi pemberontakan Bagus Rangin. Tingkat kriminalitas di sekitar Pantura memang sampai kini memiliki karakteristiknya sendiri.

Tempo juga menyusuri kawasan tempat pembuangan mayat pekerja rodi di zaman Daendels, yang juga menjadi tempat pembuangan mayat korban penembak misterius Orde Baru. Tempo berusaha pula mencari awal stasiun pos Daendels yang letaknya di kawasan Serang, Banten. Juga menyusuri kelenteng-kelenteng sepanjang Jalan Pos, yang sudah ada jauh sebelum Jalan Pos dibuat. Pada Cap Go Meh, arak-arakan joli yang diikuti liong dari kelenteng-kelenteng itu ada yang melewati jalan Daendels.

Jalan Daendels akhirnya tumbuh sebagai jalan industri. Daendels sendiri berhasil membuat produksi kopi meningkat. Sebelum kedatangan Daendels di daerah Priangan, hasil kopi setahun 120 ribu pikul. Daendels menargetkan 300 ribu pikul. Kopi dari pedalaman Priangan, yang biasanya menumpuk dan membusuk di gudang-gudang kopi Sumedang, Limbangan, Cisarua, dan Sukabumi, bisa diangkut ke Pelabuhan Cirebon dan Indramayu.

Jalur ekonomi jalan Daendels mulai "mati suri" ketika muncul kereta api. Jalur kereta Semarang-Brumbung-Tanggung diresmikan pada 1867, jalur Tanggung-Kedung Jati pada 1868, disusul jalur Jakarta-Bogor dibuat pada 1871-1873, kemudian ke seluruh Jawa. Jalur kereta itu dioperasikan multi-operator antara BUMN Belanda dan 13 perusahaan swasta Belanda. Jalan kereta ini tidak mengikuti struktur jalan Daendels. Ia menembus topografi yang juga sama beratnya: melintasi bukit, ngarai, dan sungai. Hasil perkebunan kemudian lebih banyak diangkut dengan kereta daripada gerobak kerbau atau sapi di Jalan Pos.

Jalan Daendels bersinar kembali ketika truk muncul di awal abad ke-20. Sampai sekarang, truk menjadi "penguasa" Jalur Pantura. Yang disayangkan, jalur kereta api buatan Belanda itu setelah Kemerdekaan mengalami pemendekan. Banyak jalur tak digunakan. Intermoda antara jalur pos Daendels dan jalur kereta ke pelabuhan tak dicari sinkronisasinya.

Pembaca, pemerintahan Daendels hanya berlangsung tiga tahun. Ia pulang dan meninggal di Ghana sebagai gubernur jenderal pada umur 55 tahun. Tapi tiga tahun pemerintahannya di Jawa berdampak sampai sekarang. Itulah sebabnya liputan Anyer-Panarukan ini disajikan. L


Tim Laporan Khusus Jalan Pos Daendels
Penanggung jawab: Seno Joko Suyono Kepala proyek: Dody Hidayat Penulis: Agoeng Wijaya, Amri Mahbub, Ananda Wardhana Badudu, Dody Hidayat, Dian Yuliastuti, Firman Atmakusumah, Gustidha Budiartie, Mustafa Silalahi, Nunuy Nurhayati, Nurdin Kalim, Ratnaning Asih, Seno Joko Suyono
Penyunting: Amarzan Loebis, Bagja Hidayat, Idrus F. Shahab, Jajang Jamaludin, Philipus Parera, Purwanto Setiadi, Seno Joko Suyono, Yosep Suprayogi, Yos Rizal Suriaji, Y. Tomi Aryanto Penyumbang bahan: Amri Mahbub, Ananda Wardhana Badudu, Dian Yuliastuti, Mustafa Silalahi, Nunuy Nurhayati, Nurdin Kalim, Siddik Permana (Bogor), Yuke Mayaratih (Belanda) Jawa Barat-Banten: Anwar Siswadi, Ivansyah Jawa Tengah-Yogyakarta: Aris Andrianto, Dinda Leo Listy, Edi Faisol, Farah Fuadona, Sohirin, Venantia Melinda Jawa Timur: Agita Sukma, Artika Rachmi Farmita, Avit Hidayat, Ika Ningtyas, Muhammad Syarrafah, Sujatmiko Foto: Jati Mahatmaji, Ijar Karim, Tony Hartawan, Dhemas Reviyanto, Aris Novia Hidayat, Budi Purwanto, Nita Dian, Ratih Purnama Ningsih Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian Pengolah foto: Hindrawan Desain: Djunaedi, Eko Punto Pambudi, Gatot Pandego, Kendra Paramita, Rizal Zulfadli, Tri Watno Widodo Riset: Evan Kusumah, Danni Muhardiansyah Sopir: Juju, Yadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus