Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Edaran Pelindung Sang Pelapor

Polisi kini memprioritaskan pengusutan pengaduan kasus korupsi ketimbang pengaduan pencemaran nama baik. Masyarakat diminta tak perlu takut melaporkan kasus korupsi.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT edaran itu dikirim Markas Besar Kepolisian, awal Maret lalu, ke seluruh kepolisian daerah. Isinya memerintahkan jajaran polisi memprioritaskan penanganan perkara tindak pidana korupsi jika dalam waktu bersamaan ada laporan pencemaran nama baik. Surat tertanggal 7 Maret 2005 itu ditandatangani Direktur III/Tindak Pidana Korupsi dan White Collar Crime Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Brigjen Indarto. "Jika dugaan korupsinya terbukti, pengaduan pencemaran nama baik gugur," kata Indarto.

Munculnya edaran ini tak lepas dari campur tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Syahdan, 27 Januari lalu, Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Pemilu Bersih dan Berkualitas mengadu ke KPK. Mereka mengeluh lantaran laporannya ke KPK atas dugaan korupsi sekitar Rp 600 miliar di KPU berbuntut pengaduan pencemaran nama baik ke Polda Metro Jaya. Koalisi meminta KPK turun tangan melindungi saksi pelapor

KPK langsung merespons kasus ini. Empat hari kemudian, lembaga superbodi ini melayangkan surat ke Mabes Polri. Dalam surat yang ditandatangani Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas, KPK meminta polisi mempertimbangkan untuk menunda sementara penyidikan atas laporan tindak pidana fitnah dan pencemaran nama baik itu. Alasannya, KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi yang terjadi di KPU. Permintaan ini disambut Indarto. Maka, keluarlah surat edaran itu.

Kendati demikian, menurut Indarto, lantaran biasanya penyelidikan kasus dugaan korupsi butuh waktu, sementara pelaporan pencemaran nama baik dapat kedaluwarsa setelah tenggang waktu tertentu, penyidik tetap diperbolehkan memproses kasus pencemaran nama baik itu. "Tapi sebatas meminta keterangan, tidak diteruskan ke jaksa," ujarnya. Menurut Indarto, selain karena surat KPK, munculnya surat edaran yang ditandatanganinya itu lantaran banyaknya kasus dugaan korupsi yang diikuti pelaporan pencemaran nama baik. "Ini seperti jadi model," ujarnya.

Kasus pengaduan korupsi yang berbuntut pengaduan pencemaran nama baik, misalnya, pernah menimpa Romo Frans Amanue. Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Larantuka ini diadukan ke polisi melakukan pidana pencemaran nama baik oleh Bupati Flores Timur, Felix Fernandez, karena mensinyalir terjadinya praktek korupsi dalam dana bantuan bencana banjir. Pengadilan terhadap Frans membuat pengikutnya marah dan berbuntut pembakaran kantor Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri Larantuka.

Kasus lainnya menimpa tabloid Koridor di Lampung. Gara-gara memuat tulisan berjudul "Alzier Dianis Thabranie dan Indra Karyadi Diindikasikan Kuat Tilap Dana Saksi Partai Golkar Rp 1,25 Miliar", dalam edisinya 12-18 Juli 2004, tabloid ini dilaporkan ke polisi. Alzier, bekas tokoh Golkar dan bekas Gubernur Lampung itu, menuduh Koridor mencemarkan nama baiknya. Kasusnya kini sedang dalam proses pengadilan, dan jaksa menuntut pimpinan Koridor agar dihukum dua tahun penjara.

Nasib yang sama menimpa Dradjad Wibowo, pengamat ekonomi dan aktivis Partai Amanat Nasional. Gara-gara pendapatnya tentang kemungkinan keterlibatan Adrian Waworuntu sebagai pembobol Bank BNI dikutip Koran Tempo, ia diadukan melakukan fitnah dan pencemaran nama baik ke polisi. Anehnya, polisi terkesan sangat sigap memproses laporan ini kendati pelapor saat itu sedang ditahan Mabes Polri sebagai tersangka pembobol Bank BNI. Beruntung, setelah ia dilantik menjadi anggota DPR, pengusutan mengendur. Apalagi setelah pada awal April pengadilan memvonis hukuman penjara seumur hidup bagi Adrian Waworuntu karena terbukti menggangsir Bank BNI.

Perilaku polisi yang seolah membela koruptor dan pelaku tindak pidana kerah putih ini tentu saja membuat banyak pihak prihatin. "Seharusnya polisi aktif menyelidiki pengaduan korupsinya, bukan justru mengusut pelapornya," kata anggota Dewan Pers, Leo Batubara. Menurut Leo, surat edaran polisi ini diharapkan akan membuat masyarakat tak lagi takut melaporkan kasus korupsi.

Kapolda Nusa Tenggara Timur, Brigjen Edward Aritonang, mengaku telah menerima edaran untuk memprioritaskan pengaduan kasus korupsi tersebut. Ia meminta masyarakat di daerahnya tidak takut melaporkan kasus korupsi yang mereka ketahui. "Jika ada bantahan dari pelaku korupsi dalam bentuk pengaduan, laporannya akan ditunda sampai ada keputusan hukum tetap atas kasus korupsinya," kata Edward.

Bagi anggota Tim Pembela Koalisi LSM, Hermawanto, edaran dari Mabes Polri itu merupakan kemajuan besar, meski belum maksimal. Menurut Hermawanto, mestinya saksi pelapor kasus korupsi itu dilindungi dan diberi hak imunitas. "Proses gugatan pencemaran nama baiknya bukan hanya ditunda, tapi dihentikan," katanya.

Hermawanto juga menyayangkan tak adanya sanksi bagi polisi yang mengabaikan surat edaran ini. "Kalaupun ada, hanya sanksi etik, karena bentuknya edaran," ujarnya. Kelemahan itu diakui Indarto. Hanya, kata Direktur Tindak Korupsi Mabes Polri tersebut, itu bukan berarti tidak ada hukuman sama sekali. "Ini akan menjadi catatan tersendiri oleh pimpinannya," kata dia.

Soal perlindungan pelapor korupsi, menurut pakar hukum pidana Romli Atmasasmita, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya sudah mengaturnya. "KUHP melindungi warga negara yang melaporkan suatu tindak pidana, termasuk korupsi," kata bekas Direktur Jenderal Peraturan dan Perundang-undangan Departemen Hukum ini. Jika laporan itu terbukti, kata Romli, gugatan pencemaran nama baik otomatis tidak berlaku. Kendati demikian, Romli tetap menghargai surat edaran polisi tersebut. "Hanya, seharusnya dikeluarkan Kapolri, biar lebih berwibawa," kata Romli.

Pengacara Atmajaya Salim berharap surat edaran serupa juga dikeluarkan Mahkamah Agung kepada para hakim dalam menghadapi gugatan pencemaran nama baik. Soalnya, selain diadukan ke polisi, para pelapor kasus korupsi dan pidana kerah putih kerap disengat dengan perkara perdata. Majalah Trust, misalnya, digugat melakukan pencemaran nama baik John Hamenda, salah satu tersangka pembobol BNI, karena menurunkan tulisan berjudul Komplotan Pembobolan BNI pada edisinya 1-7 Oktober 2003. Pada 13 Mei 2004, pengadilan menghukum Trust membayar denda Rp 1 miliar. Lucunya, beberapa bulan kemudian, 4 November, John divonis 20 tahun penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Atmajaya Salim, penasihat hukum Trust, berpendapat seharusnya pengadilan perkara seperti ini ditunda sehingga persoalan korupsi maupun pidana kerah putihnya selesai diproses. Selain dalam semangat memberantas korupsi, "demi asas pengadilan yang sederhana, murah, dan cepat," katanya.

Abdul Manan, Jems de Fortuna (Kupang), Fadilasari (Lampung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus