Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kisah Seorang Guru

Keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat menunjukkan semakin pentingnya jaminan perlindungan terhadap pelapor.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH keputusan penting lahir dari Mahkamah Agung Amerika Serikat pada akhir Maret lalu. Para pelapor (whistle blower) yang menemukan adanya dugaan penyimpangan di sebuah lembaga tempat ia menjadi karyawan, kini bisa bernapas lega. Atasan mereka tak boleh melakukan tindakan diskriminatif, misalnya dengan memutasi sang karyawan, sebelum ada keputusan hukum dari pengadilan terhadap kasus itu.

Keputusan ini muncul setelah Mahkamah Agung meneliti kasus Roderick Jackson melawan Dewan Pendidikan Birmingham, Alabama. Jackson adalah guru olahraga yang sudah berkiprah sejak 1993. Pada Agustus 1999 ia mengajar di SMA Ensley, sebagai guru olahraga dan pelatih basket tim putri SMA itu.

Sebagai pelatih basket, Jackson melihat tim putri sekolah itu ternyata tidak mendapat bantuan dana dan fasilitas olahraga yang sama dengan tim putra atau tim olahraga lain, sehingga menyulitkan tugasnya sebagai pelatih. Pada Desember 2000, Jackson mengeluhkan kondisi ini kepada atasannya. Tapi sejak itu justru kiprahnya mulai dihambat dengan berbagai cara, sampai dinilai negatif tak bisa mengajar. Akibat penilaian itu, lima bulan kemudian Jackson dibebaskan dari tugasnya sebagai pelatih basket meski tetap diperkenankan menjadi guru olahraga. Tak terima dengan perlakuan seperti itu, ia melaporkan diskriminasi yang dialaminya ke pengadilan.

Mahkamah Agung memenangkan Jackson dengan keputusan tipis 5:4. Namun keputusan itu cukup membuat Hakim Sandra Day O'Conner berkomentar optimistis, tanpa perlindungan atas sikap diskriminasi yang memadai terhadap pelapor individual seperti Jackson, para saksi tak akan mau memberikan kesaksian. "Keputusan itu juga memberikan pesan kepada institusi akademis bahwa perlakuan diskriminatif terhadap pelapor tidak bisa lagi ditoleransi," ujar Stephen M. Kohn, Ketua Dewan Pusat Pelapor Nasional.

Semangat pembelaan terhadap pelapor pertama juga berkumandang kencang dari Senat. Kamis dua pekan silam, Komite Urusan Pemerintahan dan Keamanan Dalam Negeri Senat mengegolkan rancangan undang-undang yang memberikan perlindungan maksimal bagi karyawan yang melaporkan adanya penyimpangan di kantor-kantor pemerintah. "Memperkuat perlindungan terhadap pelapor bukan hanya berarti melindungi karyawan, melainkan upaya menciptakan pemerintahan yang bersih," ujar Daniel A. Akaka, senator Demokrat dari Hawaii, yang menjadi konseptor utama RUU.

Rupanya jaminan perlindungan yang diberikan Kongres selama ini dirasakan masih kurang. Maka RUU ini secara tegas melarang para penguasa federal mencabut jaminan keamanan terhadap diri para pelapor. "Sebab, jika para pelapor masih takut, berarti kita bukan cuma gagal melindungi mereka, tapi juga gagal melindungi pembayar pajak, dan itu berarti kita tak mampu menjaga keamanan nasional," kata Akaka.

Akmal Nasery Basral (The Washington Post, National Whistleblower Center.com)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus