Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ke KPU Bola Panas Bergulir

Setelah audit investigasi BPK diserahkan ke DPR, anggota Komisi Pemilihan Umum siap-siap menghadang tudingan. Indikasi penyimpangan terungkap sejak tender belum dimulai.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di ruang kerja Anwar Nasution, dua orang ketua itu bertemu. Yang satu Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, yakni Anwar sendiri, dan satunya lagi Ketua Komisi Pemilihan Umum, Nazaruddin Sjamsuddin. Anwar didampingi wakilnya, Abdullah Zainie, dan Harijanto, seorang auditor utama III. Pertemuan yang berlangsung 30 Maret itu, atau beberapa hari sebelum Mulyana W. Kusumah tertangkap, tampaknya tak banyak yang tahu, sehingga belakangan menyulut munculnya bisik-bisik curiga.

Kecurigaan tak hanya berbiak di masyarakat, tetapi juga muncul di lingkungan BPK. Seorang pejabat yang bertanggung jawab pada audit, misalnya, merasa aneh dengan rapat itu. Menurut dia, jika pertemuan tersebut membahas soal audit BPK terhadap KPU, mestinya dia diikutkan. "Jadi saya tidak tahu background pertemuan itu apa," ujar pejabat yang tak bersedia disebut identitasnya itu. Bahkan soal pertemuan itu sendiri pun dia tidak akan tahu jika anak buahnya tak menginformasikan kepadanya. Sebaliknya, Djapiten Nainggolan, penanggung jawab audit di KPU, menyatakan tak memasalahkan pertemuan yang tak dihadirinya itu. Sebab, sudah ada Harijanto yang berlatar belakang auditor. Dia yakin pertemuan itu tak bermaksud mengatur hasil audit, terutama yang berkaitan dengan temuan adanya dugaan korupsi. "Nggak ada atur-mengatur hasil audit," katanya kepada Sam Cahyadi dari Tempo.

Bagaimana dengan anggota KPU, apakah selain Nazaruddin ada yang tahu pertemuan itu? Beberapa anggota Komisi yang ditanya menggelengkan kepala. Wakil Ketua KPU, Ramlan Surbakti, tegas-tegas menyatakan tidak tahu-menahu. "Kami sama sekali tidak tahu," katanya kepada Sita Planasari dari Tempo. Belakangan, sesudah pertemuan berlangsung, Nazaruddin baru menyampaikan hal itu ke anggota KPU saat rapat. "Pak Nazar bilang, pertemuan itu lebih bersifat kangen-kangenan antara dua guru besar Universitas Indonesia," ujarnya.

Isi pertemuan memang menimbulkan rasa ingin tahu orang ramai. Terutama setelah publik digemparkan dengan berita dicokoknya anggota KPU Mulyana W. Kusumah pada 8 April lalu oleh aparat penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mulyana dikabarkan tertangkap tangan hendak melakukan penyuapan terhadap Khairiansyah Salman, auditor di BPK, yang selama ini melakukan audit investigasi terhadap proyek-proyek pengadaan logistik pemilu oleh KPU. Benarkah ada kaitan antara pertemuan antarketua itu dan tertangkapnya Mulyana?

Tentu saja Anwar Nasution membantah ada deal antara dirinya dan Nazaruddin. Menurut dia, pertemuan dilakukan untuk meminta KPU segera menanggapi hasil audit investigasi yang telah diserahkan sebelumnya. Maklum, hasil pemeriksaan yang dilakukan tersebut menunjukkan adanya indikasi penyimpangan dana yang besar dalam KPU. Kepada Nazar dia menyatakan akan segera berangkat ke Praha, Rep. Cek, dan berharap sekembalinya dari sana tanggapan KPU sudah disusun. Apa respons Nazaruddin? Anwar bersumpah bahwa Nazaruddin tidak mengajukan permintaan macam-macam. "Saya berpesan ke Pak Nazar, kalau ada apa-apa selama saya di Praha, silakan bicara dengan Pak Abdullah Zaini atau Pak Harjanto." Nazaruddin ketika ditemui wartawan menyatakan bahwa pertemuan itu hanya meminta klarifikasi. "Biasalah, sesama orang UI," katanya berkelit.

* * *

Seakan ingin segera membuktikan kata-katanya bahwa ia tak sedang main-mata dengan Nazaruddin, Jumat pekan lalu, Anwar Nasution menyerahkan hasil audit investigasi BPK ke DPR. Kepada Ketua DPR Agung Laksono, Anwar menyerahkan 10 bundel dokumen audit setebal 146 halaman dengan sampul kuning. Tanpa tedeng aling-aling, Anwar menyatakan BPK menemukan adanya indikasi penyimpangan dalam berbagai cara, mulai dari mark-up, manipulasi pajak seperti tidak membayar bea cukai, penyimpangan seleksi rekanan, dan duplikasi barang. "Terdapat indikasi keterlibatan anggota KPU dalam penyimpangan," katanya kepada wartawan.

Laporan audit itu sebenarnya baru satu di antara sejumlah audit investigasi yang sedang dilakukan BPK dalam pengelolaan dana Pemilu 2004 senilai total lebih dari Rp 3,5 triliun. Uang sebesar itu digunakan untuk pemilu legislatif dan pemilu presiden. Selain itu, masih ada sejumlah laporan lain yang akan diselesaikan. Menurut sumber di BPK, tiga audit investigasi yang masih menunggu adalah pemeriksaan keuangan pemilu legislatif sampai pemilihan presiden, serta pemeriksaan terhadap 16 KPU provinsi dan 48 KPU kabupaten/kota.

Laporan yang telah diserahkan ke parlemen tak banyak bergeser dari temuan audit BPK atas biaya operasional pemilu legislatif yang dilakukan KPU pada Oktober silam (lihat tabel timeline Jalan Panjang Perburuan). Dalam laporan audit umum itu, tim BPK sudah menemukan sejumlah penyimpangan anggaran yang jumlahnya cukup besar. Salah satu yang paling besar adalah pengadaan kotak suara, senilai Rp 57,5 miliar. Juga pada pengadaan tinta, cetak surat suara, teknologi informasi, dan amplop. Dari temuan audit umum itu, diputuskan melakukan audit investigasi terhadap 5 proyek logistik dari 15 proyek yang dilaksanakan KPU.

Tak jelas apa ukuran BPK dalam menentukan proyek yang diaudit, sehingga hanya terpilih lima proyek logistik itu. Sebab, ada sejumlah proyek pengadaan logistik lain juga diduga menjadi penyebab kekacauan manajemen pengadaan logistik pemilu. Misalnya soal proyek P4B, validasi film surat suara, pengadaan rumah, hingga pengadaan peralatan kesekretariatan. "Lima proyek itu sengaja dipilih karena menjadi sorotan masyarakat. BPK sendiri juga menerima desakan dari sejumlah kalangan untuk mengaudit lima proyek itu," ujar Hasan Bisri, anggota BPK. Maka dibentuklah tim audit investigasi, dan salah satu yang kemudian namanya melejit adalah Khairiansyah Salman.

Setelah tim bekerja tiga bulan, audit dapat dirampungkan dan sejumlah indikasi penyimpangan ditemukan. Nilai penyimpangan banyak berubah, dan yang paling besar adalah dalam pengadaan kotak suara. Indikasi penyimpangan yang ditemukan meningkat dari Rp 57,5 miliar menjadi Rp 66,06 miliar (selengkapnya lihat tabel).

Dalam hal pengadaan kotak suara ini, sekurangnya ada tujuh jenis indikasi penyelewengan. Inti penyelewengan adalah adanya upaya rekayasa untuk memenangkan PT Survindo Indah Prestasi (SIP) dalam tender pengadaan kotak suara. Indikasi itu muncul dari rentetan temuan berikut: mulai dari adanya dugaan komitmen terselubung memenangkan PT SIP, rekayasa pelelangan, pelaksanaan prakualifikasi yang menyimpang dan manipulasi data prakualifikasi oleh SIP, penyusunan harga produk yang tak wajar, juga praktek SIP yang mensubkontrakkan semua pekerjaan utama kepada pihak ketiga. Dan tak kalah penting, BPK menemukan adanya aliran dana dari PT SIP kepada sekretaris panitia tender, R.M. Purba, sebesar Rp 125 juta, dan juga ada aliran kepada wartawan senilai Rp 75 juta. Masih pula ada biaya yang dikeluarkan SIP untuk meng-entertain KPU. Penyimpangan terakhir adalah adanya tambahan biaya akibat pengalihan pekerjaan dari SIP (yang ternyata tidak mampu melaksanakan pembuatan kotak suara sesuai dengan jadwal dalam kontrak) kepada dua perusahaan lainnya.

Dugaan praktek kongkalikong lain juga disebut dalam laporan BPK. Misalnya PT Socrates Cipta Muara (SCM), sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa pengadaan barang, sudah aktif mengajukan berbagai konsep kepada KPU, mulai dari bahan baku hingga pembiayaan, sejak masa persiapan. Guna memperbesar peluang, SCM kemudian menggandeng PT Surveyor Indonesia (SI) untuk bekerja sama dalam pembiayaan. Direktur Utama SI (waktu itu) Toga M. Sitompul juga ikut mengarahkan agar kerja sama dilakukan antara SCM dan SIP—yang merupakan perusahaan mitra kerja sama operasional (KSO) SI.

Selanjutnya dikirimlah surat ke KPU oleh PT SIP sebagai pihak yang melanjutkan usul PT SCM. Tak hanya itu, Dirut PT SI kemudian mem-back up dengan mengirimkan surat yang menyatakan memberikan dukungan pada SIP. Dengan dukungan sebuah BUMN yang cukup disegani itulah SIP maju "bertarung" menghadapi sejumlah perusahaan lainnya dalam tender yang sudah "diarahkan" sebelumnya.

Agar menang tender, SIP menggandeng lagi enam perusahaan. Peran mereka hanya sampai pada proses lelang. Na-mun, dalam prakteknya, hanya satu perusahaan, yaitu Cipta Kreasi Packindo (CKP), yang menjadi anggota konsorsium aktif. Itu pun ternyata PT CKP tidak membuat kotak suara sendiri melainkan mensubkontrakkan ke 11 bengkel di Jakarta, Tangerang, Surabaya dan Medan.

SIP juga mensubkontrakkan ke perusahaan lain, yaitu Liga Adhia Buana, untuk proyek penyertaan transportasi, dan sejumlah perusahaan lainnya untuk aksesori, penyediaan boks, dan pasokan aluminium.

BPK menduga, rekayasa pemenangan PT SIP telah direncanakan sejak awal dan sudah ada komitmen pihak yang terkait dengan pengadaan, terutama Panitia Pengadaan. Komitmen tersebut berupa indikasi penyerahan sejumlah uang kepada Panitia Pengadaan dari PT SIP. Dana yang mengalir ke KPU itu disebut management fee, success fee, dan biaya entertainment. Berdasar temuan itu, Panitia Pengadaan melakukan rekayasa dalam menyusun harga perkiraan sendiri, dan PT SIP melakukan manipulasi spesifikasi teknis dari kotak suara yang diserahkan. Kotak suara yang diadakan oleh rekanan terbukti juga tak sesuai dengan spesifikasi kontrak dari sisi ketebalan aluminium. Akibatnya, ter-dapat selisih harga antara kontrak KPU dan harga seharusnya (harga pembelian aluminium para rekanan) sebesar Rp 4.780.786.875. Dalam laporan juga disebutkan bagaimana SIP harus menggelontorkan sejumlah dana untuk R.M. Purba, demi komitmen fee pemenangan.

* * *

Cerita di atas tak jauh dari hasil investigasi Tempo setahun silam. Hasil penelusuran waktu itu menemukan usulan pengadaan kotak suara itu digulirkan Sihol Pardamean Manullang, Direktur PT Socrates Citra Muara (SCM). Agar penawarannya lolos, Sihol menggandeng PT Surveyor Indonesia melalui Koperasi Karyawan PT Surveyor Indonesia. Jadilah nama PT Survindo Indah Prestasi (SIP) itu. Direktur Utama PT Survindo (saat itu) Dedy Bowo Widodo mendukung usul ini. Agar perjuangan berhasil, PT Socrates dan PT SIP sepakat membentuk konsorsium pada 28 Juli 2003. PT Socrates diwakili Sihol dan PT SIP diwakili Dedy Bowo Widodo. Belakangan, agar meyakinkan, Sihol dijadikan Direktur di PT SIP menggantikan Dedy, pada 1 Mei 2003.

Sebelum diumumkan sebagai pemenang, PT SIP sempat mengikat kontrak dengan dua perusahaan lain, yakni PT Cahaya Mandiri Wijaya (pembuat aksesori kotak suara seperti engsel, gembok berlogo KPU, baut dan mur) dan PT Kedung Sari Multipack (pembuat karton pembungkus kotak suara). Anehnya, kedua kontrak ditandatangani pada 29 Oktober, sementara pengumuman pemenang kotak suara baru 6 November dan penandatanganan kontraknya baru 21 November.

Cerita selanjutnya sudah diketahui: PT SIP gagal melaksanakan pembuatan kotak suara menurut jadwal yang tertera dalam kontrak.

Mulyana waktu itu kepada Tempo mengaku kecewa atas kinerja PT SIP setelah ditetapkan sebagai pemenang tender. Dia tidak mengira jika dukungan bank yang disyaratkan oleh KPU tak bisa diperoleh. Penyebabnya, menurut informasi yang ia terima, adanya perubahan persyaratan pengajuan kredit dari bank. Padahal, menurut dia, seluruh prosedur tender telah dilakukan sesuai aturan yang berlaku. PT Survindo juga telah memenuhi semua kriteria yang ditetapkan panitia tender.

Dirut PT Survindo, Sihol Manullang kala itu kepada Tempo membantah perusahaannya adalah makelar. Menurut dia, kerja sama dengan perusahaan aksesori dan karton pembungkus kotak suara adalah bentuk kesiapan mereka memenangkan tender KPU. "Kami hanya berani mengikat untuk 30 persen kebutuhan kotak suara KPU," kata dia. Mantan Komisaris Utama PT SIP, Lukmanul Hakim, juga menolak anggapan perusahaannya tidak kredibel. Menurut Lukmanul, seharusnya sesuai kontrak KPU memberikan uang muka seminggu setelah penandatanganan kontrak, 21 November 2003. Namun, menurut dia, sampai awal 2004 kesepakatan itu tak terpenuhi. Padahal, PT. SIP telah mengeluarkan dana sekitar Rp 12 miliar sebelum akhirnya KPU memangkas jatah pekerjaan pembuatan tinggal 60 persennya saja. Menurut Lukmanul, tidak adanya uang muka dan dicabutnya dukungan dari Bank Bukopin membuat mereka kesulitan mendanai proyek kotak suara.

Kesimpang-siuran pengadaan kotak suara juga diperparah dengan adanya pengalihan manajemen PT SIP dari Sihol Manullang pada 30 Desember 2003. Manajemen perusahaan itu menjual seluruh sahamnya ke Lukman Neska, Direktur Utama Daya Bambu Sejahtera, yang juga pemilik Amindo Wana Persada. Lukman mengakuisisi PT SIP untuk mengatasi kesulitan keuangan dari manajemen yang lama. Penetapan manajemen baru itu sendiri baru dilakukan pada 5 Januari 2004.

Sebelumnya, pada 19 Desember, PT SIP ternyata mengajak PT Asgarindo Utama sebagai mitranya untuk memproduksi kotak. Dari sini masalah tambah ruwet karena ternyata manajemen baru PT SIP harus menyesuaikan diri dengan hasil kerja manajemen lama. Menurut seorang sumber di manajemen baru, mereka harus mendekati satu per satu sekitar 10 bengkel yang sebelumnya diajak kerja sama oleh manajemen lama. Akibatnya, waktu dihabiskan untuk konsolidasi dan tak sempat dipakai untuk berproduksi.

Sekretaris panitia pengadaan kotak yang juga Kepala Biro Logistik KPU, R.M. Purba, kala itu mengakui ada keteledoran dalam penentuan pemenang. Ia menyatakan yang dibutuhkan KPU adalah pemasok alat kantor, bukan perusahaan yang khusus memproduksi kotak suara. Karena itu, menurut dia, mereka tak wajib memiliki pabrik, yang penting bisa menyediakan kotak suara. "Tidak ada bidang usaha kotak suara, jadi tidak ada perusahaan yang memproduksi kotak suara secara rutin," ujarnya.

Muncul pertanyaan, jika demikian, apa yang membuat PT SIP melejit jadi pemenang tender. Cerita datang dari salah satu orang dekat Sihol, sebut saja Rudi, yang mengaku ikut diminta membantu ketika kondisi kontrak SIP dengan KPU sudah kritis. Kepada Tempo dia membeberkan kemenangan SIP dikarenakan kedekatan Sihol dengan Mulyana dan adanya dana yang dialirkan ke KPU. Kedekatan Sihol dengan Mulyana terlihat sejak awal ketika mereka sering di Hotel Acacia, Jakarta Pusat. Pertemuan itu juga acap dihadiri sejumlah pejabat Sekjen KPU. Mereka sering bermain karaoke di salah satu bar di sana. Rudi juga mengatakan sejak kontrak diteken, SIP telah mengeluarkan dana sekitar Rp 3 miliar, di antaranya sebagai uang tunjangan hari raya bagi pejabat KPU. "Harusnya itu dibagi rata antara anggota KPU dan stafnya. Tapi entah kenapa, bocor di lingkungan sekretariat jenderal," ujarnya.

Rudi mengatakan sejumlah fee yang dikucurkan kepada pejabat di lingkungan kesekretariatan dilakukan dengan beberapa modus. Pertama, orang-orang sekretariat itu meminta para pengusaha memberikan fee secara "pengertian". Kedua, adanya persyaratan "fee" dalam persentase harga proyek di KPU. Dan, terakhir ada fee untuk memotong proyek lawan.

Kepada Tempo, Sihol mengakui soal kedekatannya dengan Mulyana. Menurut dia, mereka sudah dekat sejak menjadi aktivis mahasiswa di Bandung. Namun Sihol membantah proyek yang ia dapat dari KPU karena faktor pertemanan itu. "Saya mengajukan tawaran menurut prosedur resmi," ujarnya kala itu. Ketika ditanya soal pertemuannya dengan Mulyana di Hotel Acacia, Sihol menjawab, "Masa, bikin deal proyek sambil karaoke? Yang bener aja. Mana bisa?" ujarnya dalam suatu kesempatan. Sayang, Sihol belum dapat dimintai konfirmasi sekitar pembayaran fee dari PT SIP ke KPU seperti dibeberkan Rudi itu.

Cerita lain di sekitar sikut-sikutan memperebutkan tender datang dari seorang pengusaha yang menjadi rival SIP. Menurut dia, semua perusahaan peserta yang proyek tendernya dipimpin Mulyana didekati oleh Agus Lenon. Mereka dijanjikan akan mendapat pesanan kotak atau surat suara jika menyetorkan sejumlah uang. Baik Mulyana maupun Agus Lenon membantah tudingan itu. "Demi Allah, itu sama sekali tidak benar," kata Mulyana. Sementara Agus Lenon menilai tudingan itu salah alamat. Sebaliknya, keduanya mengeluhkan nama mereka sering dicatut oleh pengusaha pengejar tender.

* * *

Kini Mulyana telah ditangkap. Anggota KPU lainnya, mulai awal pekan ini, tampaknya bakal berkemas-kemas menghadapi bola panas yang mulai mengarah pada mereka. Mulyana, dari balik dinding hotel prodeo, bahkan meminta para sejawatnya membela diri. Lewat rekaman kaset yang diputar putrinya, Gina Santiyana dan Gita Sintayana, di depan wartawan, dia meminta koleganya menjaga citra institusi. Me-nurut dia, proses penghakiman publik semakin kuat dengan diserahkannya hasil audit BPK kepada DPR. "Tentu ini menambah beban psikologis bagi saya," katanya.

Tampaknya dalam rangka menghadapi berbagai kemungkinan itulah, anggota KPU Valina Singka Subekti, Jumat lalu, terlihat menengok Mulyana di tahanan Salemba. Dia mengakui langkah itu dilakukannya dalam rangka untuk koordinasi. "Kami tak meninggalkan Pak Mul," katanya. Sementara Chusnul Mariyah, anggota KPU yang lain, menyatakan lembaganya sedang menyiapkan sejumlah langkah. Selain langkah hukum, juga materi tanggapan, yang akan dikemukakan jika komisi ini dipanggil DPR dalam waktu dekat.

Chusnul Mariyah dan Rusadi Kantapawira menyesalkan mengapa BPK menyerahkan laporan tanpa menunggu tanggapan KPU. Chusnul menyatakan telah mengirimkan tanggapannya sebelum tenggat 19 April 2005. Namun tanggapan KPU itu tak juga diterima auditor BPK karena sibuk menyusun laporan. Tanggapan itu baru diterima pada Rabu, 20 April, sehari sebelum laporan dikirimkan ke DPR. "Itulah kenapa saya kecewa, kenapa laporan itu diserahkan tanpa menunggu tanggapan dari KPU. Jadinya kan sepihak. Sepertinya jerih payah kami menggelar tiga kali pemilu dengan aman damai tidak dilihat," kata Chusnul. Anggota KPU lainnya, Rusadi Kantaprawira, mengalami nasib serupa. Rusadi bahkan sudah menyiapkan tanggapan, tapi pengirimannya tertunda karena Mulyana keburu tertangkap. Kekecewaan mereka kian menumpuk karena nama keduanya (bersama nama anggota lain) diindikasikan terlibat dalam penyimpangan. "Saya syok, ini kayak mimpi," ujar ketua panitia pengadaan tinta itu kepada Bernarda Rurit dari Tempo.

Uniknya, kekecewaan juga merebak di sejumlah kalangan BPK dengan diserahkannya hasil audit tersebut, pekan lalu. Sebuah sumber di lembaga itu menyatakan hasil audit investigasi secara keseluruhan sudah hampir selesai dilakukan—dan tidak hanya menyangkut atas lima macam logistik yang selama ini ramai diberitakan. Dengan diserahkannya audit lima logistik itu, KPU memasang kuda-kuda jika akan dilakukan audit lainnya. "Hal ini tentunya membuat proses audit menjadi sulit karena KPU akan semakin protektif atas data-data yang dimilikinya," ujar sumber yang enggan disebut namanya itu. Semula dia berharap audit keseluruhan itulah yang diserahkan ke DPR. "Mau saya, sudahlah, semuanya saja diserahkan ke DPR. Biar KPK nanti yang mendalami. Saya kecewa atas ini."

Kini laporan audit itu telah diterima DPR. Para anggota KPU boleh menduga para wakil rakyat akan menggulirkan bola panas itu ke arah mereka.

Tulus Wijanarko, Widiarsi Agustina, Muchamad Nafi


Jalan Panjang Perburuan

Akhirnya laporan hasil audit investigasi BPK atas lima proyek pengadaan logistik Pemilu 2004 telah selesai. Dan pada 21 April 2005, laporan itu diserahkan kepada DPR. Hasil ini akan menjadi bahan utama penyelidikan oleh pihak aparat hukum terkait untuk menginvestigasi tindak korupsi yang terjadi di KPU.

2004 5 April Pemilu legislatif akhirnya berlangsung aman, meski nyaris tertunda gara-gara logistik pemilu terlambat tiba sampai di TPS.

12 dan 24 Mei Rapat kerja Komisi II DPR, KPU, dan Panitia Pengawas Pemilu memutuskan perlunya audit terhadap biaya operasional pemilu legislatif.

18 Juni Ketua DPR Akbar Tandjung mengirim surat ke BPK. Intinya, meminta BPK melakukan audit biaya operasional Pemilu 2004 yang dikeluarkan KPU.

5 Juli Pemilu presiden tahap pertama digelar. Muncul protes soal tinta pemilu yang mudah luntur.

11 Agustus Koalisi LSM melaporkan kepada KPK adanya dugaan korupsi di KPU.

26 Agustus Koalisi LSM bertemu pimpinan Komisi II DPR dan menyerahkan data-data temuan korupsi di KPU. Mereka meminta DPR mendesak BPK melakukan audit investigasi.

27Agustus Komisi II DPR meminta BPK melakukan audit atas biaya legislatif.

30 Agustus KPU melaporkan Koalisi LSM ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan pencemaran nama baik.

8 September Koalisi LSM menyerahkan data temuan tentang dugaan korupsi KPU itu ke BPK. Mereka meminta BPK melakukan audit investigasi.

20 September Pemilu presiden tahap kedua digelar.

27 Oktober Laporan audit BPK atas operasional Pemilu 2004 dikirimkan ke KPU. Dalam laporan itu, ditemukan sejumlah penyimpangan anggaran dalam pengadaan logistik dan barang di KPU.

3 Desember Pelantikan BPK baru dengan susunan: Anwar Nasution dilantik sebagai Ketua BPK; Abdullah Zaini sebagai wakil ketua; Imran, Baharuddin Aritonang, Hasan Bisri, Udju Djuhaeri, dan I Gusti Agung Rai sebagai anggota.

13 Desember

  • Laporan audit BPK atas KPU diserahkan ke Anwar. BPK menggelar sidang pelaporan audit BPK setelah ditanggapi KPU. Diputuskan agar dilakukan penyempurnaan konsep pelaporan audit soal pengadaan logistik pemilu.
  • Komisi II DPR membentuk panitia kerja untuk menindaklanjuti laporan koalisi LSM dan laporan BPK soal operasional KPU. DPR meminta BPK melakukan audit investigasi atas KPU.

2005 8 Januari BPK memutuskan audit investigasi terhadap lima proyek pengadaan logistik pemilu. Tim dipimpin Auditor Utama III Harjanto dan Ketua Tim Pelaksana Djapiten Nainggolan.

31 Januari KPK mengeluarkan surat nomor R.200/KPK/I/2005 tentang permohonan perlindungan saksi dan pelapor. Surat itu meminta polisi mendahulukan kasus dugaan korupsi di lingkungan KPU.

Februari

  • Tim BPK bertemu dengan personel KPU di ruang rapat utama BPK membahas rencana BPK mengaudit lima proyek utama logistik pemilu.
  • Hasil pertemuan itu disampaikan Mulyana kepada Ketua KPU.
  • Tim audit BPK mulai meneliti dokumen proyek.
  • Tim BPK menggelar pertemuan dengan KPU. Mereka meminta penjelasan, dari soal prakualifikasi, proses penentuan harga, sampai biaya distribusi.

3 Maret BPK telah menyelesaikan hasil audit investigasi sementara.

10 Maret Mulyana W. Kusumah, pejabat Sekjen KPU Sussongko Suhardjo, dan Mubari bertemu dengan Khairiansyah di restoran Jepang, Miyama, Hotel Borobudur. Pertemuan membahas soal audit investigasi BPK. Muncul komitmen Rp 300 juta sebagai imbalan jika laporan audit investigasi BPK tidak merugikan KPU.

30 Maret Anwar Nasution bertemu Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin di BPK. Anwar menjelaskan bahwa BPK telah merampungkan hasil auditnya dan meminta Ketua KPU segera membahas tanggapan tertulisnya.

3 April Mulyana bertemu dengan auditor BPK di kamar 609 Hotel Ibis, Jakarta Barat.

5 April Pertemuan audit BPK dengan KPU di kantor KPU. Dibahas soal perlunya tanggapan akhir dalam laporan BPK. Tenggat laporan yang ditetapkan BPK, Selasa, 19 April.

8 April Mulyana bertemu dengan auditor BPK. Ia ditangkap dengan sangkaan menyuap pegawai pemerintahan.

11 April BPK menggelar sidang. Sidang berpendapat bahwa apa yang dilakukan Hasan Bisri dan Khairiansyah bukanlah mandat dan wewenang BPK.

19 April Hari yang ditetapkan BPK sebagai batas akhir bagi KPU untuk memberikan tanggapannya sebagai pihak yang diaudit.

21 April BPK menyerahkan laporan hasil audit investigasi atas lima proyek pengadaan logistik Pemilu 2004 kepada DPR. Dalam auditnya, BPK menemukan sejumlah indikasi penyimpangan yang membuat negara dirugikan hingga Rp 90 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus