Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Saling-Silang Mencari Tersangka

KPK mengincar peserta saweran duit sogok Mulyana. Mereka calon kuat menjadi tersangka berikutnya.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini jadi tempat menyebalkan bagi banyak pejabat Komisi Pemilihan Umum. Sudah dua pekan terakhir para staf dan pejabat KPU, mungkin nantinya juga anggota KPU, hilir-mudik ke gedung itu. Selama beberapa jam mereka harus duduk di kursi pesakitan, dicecar pelbagai pertanyaan oleh tim penyidik KPK dalam perkara yang menimpa anggota KPU Mul-yana W. Kusumah.

Mulyana kena perkara hukum karena tertangkap tangan saat menyuap Khairiansyah Salman, auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), di Hotel Ibis, Jakarta Barat, Jumat tiga pekan silam. Khairiansyah, yang sebelumnya telah melaporkan upaya penyogokan itu ke KPK, bertugas mengaudit investigasi laporan keuangan pengadaan kotak suara, kegiatan yang menjadi tanggung jawab Mulyana selaku anggota KPU.

KPK menanggapi laporan itu dengan memasang perangkap. Begitu uang suap diberikan Mulyana, ia dicokok dan langsung digiring ke gedung KPK. Setelah diperiksa secara maraton, mantan Direktur Eksekutif YLBHI itu langsung ditetapkan sebagai tersangka penyuapan dan ditahan di penjara Salemba. Ia dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancamannya, satu hingga lima tahun penjara atau denda Rp 50 juta hingga Rp 250 juta.

KPK bekerja cepat. Dua hari setelah Mulyana ditangkap, ruang kerja Mulyana dan para pejabat KPU lainnya, termasuk Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin, mulai disisir. Setumpuk berkas dokumen disita. Meski begitu, tetap saja KPK belum bisa menemukan tersangka baru dalam kasus penyuapan itu, selain Mulyana.

Menurut Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, para penyidik masih perlu memeriksa sejumlah pejabat KPU lain. Selain pelaksana harian Sekjen Sussongko Suhardjo dan stafnya, Mubari, berturut-turut KPK memanggil Kepala Biro Keuangan Hamdani Amien, Kepala Biro Logistik KPU R.M. Purba, Kepala Biro Pengawasan KPU Suharso, Wakil Kepala Biro Keuangan Much. Dentjik, hingga Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin serta Safder A. Yussac, bekas Sekjen KPU yang kini pensiun.

Menurut Tumpak, pemanggilan itu dilakukan terutama untuk melacak sumber dana penyuapan. Namun pengakuan Mulyana dan keterangan para saksi lain mengenai soal ini ternyata berlawanan. "Kami ini seperti mengumpulkan serpihan," ujarnya. Dari berbagai serpihan itulah diharapkan asal dana dapat ditemukan.

Dana yang dibawa Mulyana untuk Khairiansyah Salman itu bernilai total Rp 300 juta. Uang itu tak diserahkan sekaligus, melainkan bertahap. Tahap pertama, uang kontan Rp 150 juta diserahkan Mulyana saat mereka bertemu di kamar 709 Hotel Ibis, Jakarta Barat, Ahad malam 3 April silam. Rp 150 juta sisanya dibawa Mulyana dalam pertemuan lima hari kemudian, yang berakhir dengan penangkapannya. Sogokan itu berupa uang kontan Rp 50 juta dan 4 travelers cheque masing-masing bernilai Rp 25 juta.

Saat diperiksa penyidik, Mulyana mengaku bahwa dana Rp 150 juta yang diserahkan pertama kali berasal dari tabungan pribadinya Rp 50 juta dan Rp 100 juta sisanya berasal dari Mubari. Kata Mulyana, dana itu hasil "saweran". Siapa saja yang ikut patungan? Mulyana dikabarkan menolak menyebut nama.

Lalu, dalam penyerahan kedua, masih menurut Mulyana, uang tunai Rp 50 juta berasal dari staf sekretariat KPU. Adapun yang Rp 100 juta, dalam bentuk travelers cheque, menurut perkiraan Mulyana, berasal dari Biro Keuangan kantor KPU dan diketahui Sussongko. Seluruh proses kejadian ini dan pengambilan keputusan di dalamnya, menurut Mulyana, sudah disepakati secara kolektif di lingkungan KPU. "Sudah pasti, ini bukan keputusan individual," kata Mulyana kepada Tempo, pekan silam.

Sussongko Suhardjo dan Mubari, misalnya, bahkan ikut hadir dalam pertemuan awal Mulyana dengan auditor BPK, Khairiansyah. Dalam berita acara pemeriksaan dirinya, Mulyana mengaku kerap berbicara dengan Sussongko tentang audit investigasi BPK terhadap proyek pengadaan kotak suara yang dinilainya bakal menyudutkan KPU. Mubari, Sussongko dan Mulyana kemudian bertemu dengan Khairiansyah sebagai ketua sub-tim audit BPK di Hotel Borobudur, tiga pekan sebelum kejadian penangkapan itu. Mubari diajak ikut serta karena dianggap tahu banyak soal tender pengadaan kotak suara dan dianggap piawai bernegosiasi. Mubari pula, kata Mulyana, yang seharusnya menyerahkan uang Rp 150 juta ke Khairiansyah pada 8 April, namun batal karena cuti.

Adapun Sussongko adalah pelaksana harian Sekjen KPU, pengganti Safder Yussac yang pensiun sejak Desember silam. Dalam hal pengadaan logistik pemilu, Sussongko bertugas meneken kontrak kerja antara KPU dan rekanan, serta mengeluarkan surat perintah mulai kerja. Tugas itu dipercayakan Yussac sejak tahun 2003.

Baik Sussongko maupun Mubari sudah diperiksa KPK. Selain soal asal-usul dana, keduanya ditanya soal peran mereka dalam pertemuan. Keduanya memilih bungkam. Satu-satunya kesaksian yang kemudian memicu kontroversi muncul dari Hamdani Amien, Kepala Biro Keuangan KPU. Seusai diperiksa KPK, dua pekan silam, Hamdani menegaskan bahwa dana Rp 300 juta itu dihimpun Mulyana dan pribadi lainnya. Selain itu, juga diambilkan dari dana taktis KPU. Berapa besar dana taktis yang dikeluarkan? Hamdani enggan menjelaskan.

Wakil Hamdani di Biro Keuangan, Muchamad Dentjik, ikut bersaksi mengukuhkan bosnya. Menurut Dentjik, pengeluaran sebagian dana-dana taktis yang digunakan Mulyana itu untuk menyuap auditor BPK itu setahu atasan. "Kami selalu bekerja sesuai dengan sistem dan setahu atasan," ujarnya.

Namun keterangan Dentjik maupun Hamdani ini dibantah mantan bosnya, Safder Yussac. Menurut Yussac, KPU tidak mengenal adanya dana taktis karena seluruh dana operasionalnya berasal dari APBN dan sudah ada posnya. "Di nomenklatur kami tak ada dana taktis. Dana itu kemungkinan berasal dari pribadi," kata mantan Sekjen KPU ini.

Menurut Yussac, seluruh anggaran KPU itu dibahas sekecil-kecilnya di DPR. Kalau ada dana cadangan atau dana taktis, itu tidak ada kasnya, artinya kosong. Selama ini, yang ada adalah dana non-alokasi. Tapi itu pun biasanya belum tentu mendapat persetujuan. Karena itu ia berkeyakinan, dana Rp 300 juta itu bukan dari dana taktis, melainkan saweran.

Berbeda dengan Yussac, Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin mengaku bahwa lembaganya memiliki dana taktis, layaknya lembaga lain. Meski begitu, ia mengaku tak tahu-menahu dari mana sumber dana taktis itu. Karena itu ia membantah jika penggunaan dana taktis itu menjadi tanggung jawabnya. Menurut dia, pengelolaan dana taktis itu merupakan tanggung jawab Sekjen. Begitupun dengan masalah pengawasannya.

Kepala Biro Pengawasan KPU Soeharso Setyodarmodjo menyangkal bahwa penggunaan dana taktis itu tanpa setahu atasan. "Biasanya dana itu diambil atas dasar kebijakan pimpinan," ujarnya. Dana itu, menurut dia, berada di luar dana APBN dan berasal dari masyarakat. "Tidak ada yang mengawasi penggunaannya," ujarnya.

Sudah menjadi rahasia umum, pos dana yang populer dengan "dana taktis" itu selalu ada di sejumlah lembaga. Masalahnya, dari manakah pos dana taktis di KPU itu berasal. Menurut salah satu pejabat eselon II di KPU, dana itu merupakan kumpulan hasil fee dari sejumlah pemenang tender pengadaan barang dalam Pemilu 2004 ataupun pengadaan barang kesekretariatan. Bentuk fee itu beragam, mulai dari uang kontan yang digelontorkan rekanan KPU hingga berbentuk travelers cheque.

Status dana itu, yang diistilahkannya "sumbangan sukarela", kerap digunakan untuk membayar keperluan yang tidak bisa dibayar dengan menggunakan APBN. "Dari urusan sumbangan kematian sampai uang lobi," ujarnya. Dari pundi-pundi ini pula, sebagian dana lobi untuk Khairiansyah, kata sang pejabat, disumbangkan. Dan Khairiansyah, kata sang pejabat, bukan satu-satunya nama dalam daftar KPU.

Sejumlah catatan tulisan tangan sempat disodorkan pejabat sekretariat itu kepada Tempo. Selain nama-nama rekanan yang memberikan fee, juga sejumlah nama tokoh dan politisi seperti sejumlah anggota Komisi II DPR periode 1999-2004. Lalu juga nama-nama aparat birokrasi pemerintahan. Plus sejumlah catatan keuangan untuk menjamu setiap kali rapat kerja dengan DPR atau pertemuan dengan auditor BPK. Sang pejabat ini mengaku sudah siap "menyanyikan" nama-nama itu jika gerbong pejabat di lingkungan Sekretariat Jenderal KPU dijadikan tersangka oleh KPK.

Agaknya sang pejabat ini masih harus menunggu sebelum mendapat giliran "menyanyi". Soalnya, KPK masih dipusingkan dengan sejumlah kesaksian yang berlawanan. Karena itu, sejak Selasa lalu, tim penyidik KPK mulai mengkonfrontir keterangan yang dianggap berlawanan. Salah satu yang dikonfrontir penyidik adalah kesaksian Mubari dengan Ketua Biro Logistik R.M. Purba dan pelaksana harian Sekjen Sussongko.

Dari hasil konfrontasi itu muncul informasi adanya pertemuan di Hotel Oasis Emir di Senen, Jakarta Pusat, beberapa hari sebelum pertemuan 3 April di Hotel Ibis. Menurut salah satu sumber, yang hadir dalam pertemuan itu antara lain Mubari dan R.M. Purba, Ketua Divisi Logistik yang juga sekretaris panitia tender kotak suara. Mulyana W. Kusumah datang belakangan. "Pertemuan itu membahas pembagian sumbangan yang Rp 150 juta," ujarnya. Sussongko, atasan Mubari, tak hadir dalam pertemuan itu. "Malah Pak Sussongko baru tahu setelah pemeriksaan konfrontasi itu," ujarnya.

Erik S. Paat, pengacara Mubari dan Sussongko, mengakui salah satu poin yang dikonfrontir dalam pemeriksaan kliennya, Selasa silam, adalah pertemuan itu. Namun, menurut dia, hingga pemeriksaan usai, ketiga orang itu masih memiliki pengakuan yang beragam. "Jawabannya masih berbeda-beda," ujarnya.

Menurut Tumpak, selain menyidik kasus penyuapan, KPK telah memulai penyelidikan kasus dugaan korupsi logistik di KPU. Beberapa rekanan KPU yang terlibat dalam hal pengadaan dan distribusi surat suara, yaitu PT Pos dan PT Royal Standard, sudah diperiksa KPK, pekan silam. Rencananya, pemeriksaan juga akan dilanjutkan pekan ini pada rekanan KPU lainnya. "Kami sudah menemukan sejumlah korupsi baru," ujarnya. Apalagi laporan audit investigasi BPK juga sudah menemukan sejumlah penyimpangan yang bisa dijadikan pintu masuk.

Siapa saja yang akan dijadikan tersangka setelah KPK masuk melalui pintu itu masih belum jelas. Yang agaknya dapat dipastikan adalah jumlahnya akan cukup banyak. Paling tidak, mereka yang ikut saweran dana penyuapan kemungkinan besar akan segera turut menemani Mulyana di rumah tahanan Salemba.

Widiarsi Agustina, Edy Can, Ibnu Rusydi (TNR)


Lima Proyek Sorotan

Ada lima proyek sorotan masyarakat yang diaudit oleh BPK secara investigatif. Audit ini dilakukan setelah BPK, dalam laporan audit umum atas biaya operasional Pemilu 2004, menemukan sejumlah penyimpangan anggaran. Terutama dalam soal pengadaan barang-barang logistik pemilu dan adanya praktek pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1973 tentang BPK, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Berikut ini temuannya.

Kotak Suara

Kepanitiaan Tender

Ketua : Mulyana W. Kusumah Wakil Ketua : Daan Dimara Sekretaris : R.M. Purba (Kepala Biro Perlengkapan) Kebutuhan logistik : 2.491.453 unit kotak Harga per unit kotak : Rp 141, 9 miliar Rencana anggaran : Rp 448.8 miliar Realisasi proyek : Rp 355, 5 miliar

Fakta dan Kejadian Pemenang tender, PT Survindo Indah Prestasi (PT SIP), tak bisa melaksanakan pekerjaan tepat waktu sehingga pekerjaan dialihkan sebagian ke PT Tjakrindo Mas (TM) dan CV Almas (PT A). PT SIP akhirnya hanya mengerjakan 440.526 kotak dengan nilai Rp 62,5 miliar, dan PT TM 1.623.121 kotak dengan nilai Rp 232,4 miliar, serta PT Almas 427.806 kotak dengan nilai Rp 60,7 miliar.

Temuan BPK

  • Ditemukan indikasi rekayasa pemenangan tender ke PT SIP.
  • Ditemukan ketidakwajaran dalam penyusunan harga perkiraan barang.
  • Ditemukan manipulasi data prakualifikasi oleh PT SIP.
  • Ditemukan praktek subkontrak pekerjaan kepada pihak ketiga.
  • Ditemukan praktek mark-up kondisi barang.
  • Ditemukan komitmen fee untuk oknum KPU.
  • Akibat praktek-praktek itu, negara mengalami kerugian Rp 66,061 miliar.

Tinta Pemilu

Kepanitiaan Tender

Ketua : Rusadi Kantaprawira Wakil Ketua : Valina Singka Subekti Sekretaris : A. Royadi (Kepala Bagian Rencana dan Perlengkapan Logistik) Kebutuhan Logistik : 1.240.961 botol Anggaran : Rp 33,2 miliar Realisasi : Rp 36,1 miliar dengan rincian Rp 33,2 miliar tinta impor dan Rp 2,9 miliar tinta lokal

Fakta dan Kejadian

Perencanaan kebutuhan lemah. Misalnya, penetapan jumlah kebutuhan tinta per TPS sebanyak dua botol berubah-ubah sehingga mempengaruhi proses penetapan jumlah. Selain harga yang digunakan tidak disusun berdasarkan penelitian. Tetapi rata-rata penawaran para peserta diajukan setelah dilakukan negosiasi. Selain itu, juga soal kebijakan dari Ketua KPU dan panitia untuk memberikan bea masuk impor tinta, oleh rekanan pengadaan tinta impor, menyimpang dari ketentuan undang-undang. Dan terlebih lagi, itu ditunjang dengan lemahnya proses prakualifikasi terhadap konsorsium pengadaan tinta impor karena ada beberapa perusahaan yang tidak memiliki data untuk kualifikasi perusahaan.

Temuan BPK

  • Ditemukan penyimpangan penetapan harga kontrak pengadaan tinta dengan memakai rata-rata harga penawaran setiap zona dan tidak memakai harga penawaran terendah.
  • Ditemukan penyimpangan penetapan harga satuan kontrak tinta lokal yang disamakan dengan harga satuan kontrak tinta impor
  • Pemalsuan dokumen invoice dengan tujuan menggelapkan bea masuk dan pajak.
  • Permintaan bebas bea masuk oleh Ketua KPU dan rekomendasi dari Biro Logistik dan Distribusi KPU dinilai semakin merugikan negara.
  • Akibat praktek-praktek itu, negara dirugikan Rp 3,4 miliar.

Cetak Surat Suara

Kepanitiaan Tender

Ketua : Mulyana W. Kusumah Wakil Ketua : Daan Dimara Sekretaris : Sugiyanto (Wakil Kepala Biro Logistik) Kebutuhan Logistik : 677.968.379 lembar Harga : Rp 260-Rp 287 per lembar, tergantung ukuran Anggaran : Rp 189,2 miliar Realisasi :

  • Dalam Kontrak : Rp 188.2 miliar
  • Pembayaran : Rp 188.9 miliar

Fakta dan Kejadian Ada kelemahan mendasar dalam sistem perencanaan kebutuhan hingga proses pengadaan cetak surat suara, terutama pengendalian dan pengawasan, hingga mekanisme pekerjaan jauh lebih terkontrol. Misalnya, soal jumlah pemilih yang terus berubah sehingga jumlah kebutuhan surat suara plus cadangan 2,5% yang akan dicetak juga berubah-ubah. Belum lagi soal keterlambatan validasi film yang menyebabkan waktu cetak amatlah mepet sehingga harga cetak pun terpaksa dinaikkan 10% - 15%, padahal sebelum kontrak ditandatangani telah disepakati harga berdasarkan hasil negosiasi antara calon rekanan dan panitia pengadaan.

Awalnya, pencetakan surat suara dilakukan oleh 17 konsorsium yang mengikuti prakualifikasi. Namun, dalam pelaksanaannya, ternyata KPU menunjuk lagi 9 perusahaan percetakan lainnya yang tidak tergabung dalam konsorsium untuk mengatasi kekurangan dan/atau kelambatan cetak surat suara. Penunjukan langsung kepada konsorsium seharusnya memperhatikan kapasitas yang dimiliki anggota konsorsium.

Temuan BPK Akibat kenaikan harga cetak surat suara dan meningkatnya jumlah surat suara tak sesuai dengan kontrak yang disepakati, negara rugi Rp 12,6 miliar.

Sampul Surat Suara

Kepanitiaan Tender

Ketua : Daan Dimara Wakil Ketua : Rusadi Kantaprawira Sekretaris : Bakri Asnuri (Kepala Bagian Dokumentasi dan Informasi Hukum) Kebutuhan Logistik : 16. 671.656 lembar Anggaran : Rp 4,2 miliar Realisasi : Rp 18,8 miliar

Fakta dan Kejadian Proses prakualifikasi pada rekanan proyek pencetakan sampul surat dan pemotongan kertas tidak dilakukan dengan benar. Selain itu, mekanisme pengawasan terhadap kinerja rekanan tidak dilakukan efektif. Akibatnya, banyak rekanan mensubkontrakkan pekerjaan memotong, mencetak, dan mendistribusikan sampul surat suara, dan banyak sisa bahan baku sampul yang tak jelas. Banyak juga rekanan yang tidak mengirimkan sampul surat suara sesuai dengan jumlah yang tertera dalam kontrak. Selain itu, terdapat percetakan dan distribusi sampul yang melewati batas waktu pengiriman yang tidak dapat digunakan.

Temuan BPK Akibat praktek-praktek itu, negara dirugikan Rp 7 miliar.

Teknologi Informasi

Kepanitiaan Tender

Ketua : Chusnul Mariyah Wakil Ketua : Rusadi Kantaprawira Sekretaris : Dalail Anggaran : Rp 202,7 miliar Realisasi : Rp 225,6 miliar dengan rincian:

  • PT Integrasi Teknologi Rp 154,4 miliar
  • PT Telkom Rp 20,2 miliar
  • PT PSN Rp 26,9 miliar
  • Operator data entry Rp 23,9 miliar

Fakta dan Kejadian Rekanan KPU, PT Integrasi Teknologi, ditetapkan sebagai pemenang oleh panitia lelang setelah melakukan tender ulang. Nilai kontrak yang ditawarkan PT Integrasi tergolong paling rendah dibandingkan dengan PT Asaba dan PT Berca, dua rekanan lainnya. Namun, dalam pelaksanaannya, PT Integrasi menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan yang ditawarkan dalam kontrak. Di samping itu, pekerjaan DRC set up service khususnya untuk raised floor installation tidak diperlukan lagi karena raised floor DRC telah tersedia atau dalam hal ini disediakan vendor DRC. Dengan demikian, ada kelebihan pembayaran sebesar nilai pekerjaan yang belum dilakukannya.

Temuan BPK Akibat ada pekerjaan yang kurang dilaksanakan PT Integrasi, negara dirugikan Rp 154 juta. Yakni ketidaksesuaian penyerahan barang berupa firewall server untuk DC dan DRC sebesar Rp 28 juta dan tidak dilaksanakan pekerjaan raised floor pada unit DRC sebesar Rp 126 juta.

Sumber: diolah dari hasil audit BPK terhadap operasional Pemilu 2004 dan audit investigasi BPK atas proyek logistik KPU.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus