Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah musikus berjejaring menggelar
Hasil kolaborasi seniman dan kelompok sipil pegiat demokrasi.
Membidik kesadaran politik generasi muda.
HARI menjelang petang ketika Bagus Dwi Danto membuka sesi diskusi dalam acara “Mendesak Tapi Santuy” di kedai Roti Baper, Backyard 52C, Setiabudi, Jakarta Selatan, 9 Oktober lalu. Rabu sore itu, membelakangi spanduk hitam bertulisan “#ReformasiDikorupsi”, musikus dengan nama panggung “Sisir Tanah” tersebut menceritakan kembali rangkaian demonstrasi sebulan sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang 16-30 September lalu, masyarakat sipil di berbagai daerah bergerak turun ke jalan. Mereka melontarkan mosi tidak percaya kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang ngotot membahas sejumlah rancangan undang-undang kontroversial, dari revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hingga revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Bagi Danto, sejumlah rancangan undang-undang baru tersebut mencederai demokrasi. “Ini kegelisahan banyak orang,” ujarnya kepada Tempo, Selasa, 24 Desember lalu. “Benang merahnya adalah pengabaian terhadap amanat reformasi.”
Panggung “Mendesak Tapi Santuy” menjadi arena para musikus untuk menggugah kesadaran publik tentang demokrasi di Indonesia yang makin terancam oleh tingkah elite politik. Diskusi hanya salah satu agenda malam itu. Selebihnya, lagu-lagu penuh sindiran untuk menyentil penguasa bergantian dilantunkan sejumlah musikus, seperti Cholil Mahmud, Muhammad Iksan “Iksan Skuter”, Jason Ranti, Fajar Merah, Rara Sekar, dan Melanie Subono.
Cholil, vokalis sekaligus gitaris band Efek Rumah Kaca, malam itu menyinggung kerja legislasi yang tak pro-rakyat. Beberapa rancangan undang-undang yang penting bagi publik tak tergarap. “Tapi kalau undang-undang yang besar, yang penting bagi hajat hidup koruptor, bahkan ketika dia enggak ada di Prolegnas saja bisa langsung syuut,” ucap Cholil. “Sebelas hari, dua belas hari, jadi.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, musikus sebenarnya punya kekuatan untuk mendesak dan menyuarakan pendapat. “Kita harus berjuang bersama sebagai manusia,” kata Cholil.
Aksi di panggung Mendesak Tapi Santuy pada 9 Oktober lalu mengawali rangkaian agenda serupa di lokasi dan medium yang berbeda sepanjang bulan itu. Perlawanan lewat diskusi dan konser mini dilanjutkan sepekan kemudian dalam “Tangsel Memanggil, Mendesak tapi Santuy” di kampus Universitas Islam Negeri Jakarta, Ciputat. Lalu digelar pula “Mendesak Tapi Santuy Volume Digital” dan “Mendesak Tapi Santuy Volume Indonesia Memanggil” pada 23 dan 26 Oktober 2019.
Istilah “mendesak” muncul sebagai wujud penolakan masyarakat sipil dan seniman terhadap revisi Undang-Undang KPK dan tujuh tuntutan lain. Adapun “santuy”-istilah kekinian berarti santai-dipilih untuk meredakan ketegangan di masyarakat yang masih terpengaruh perkubuan selama pemilihan presiden 2019.
Irma Hidayana, pegiat antikorupsi yang ikut merumuskan ajang tersebut, mengatakan “Mendesak Tapi Santuy” dirancang untuk menjaga semangat perlawanan di banyak kalangan, seperti musikus, sastrawan, akademikus, dan jurnalis. “Ini upaya merawat nyala api dengan bahasa mereka,” ujar Irma, yang juga istri Cholil.
Ajang ini memang disiapkan sejumlah seniman dan kelompok masyarakat sipil, di antaranya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum, dan Indonesia Corruption Watch. Tanpa memungut biaya, panitia menerima sedikitnya 1.600 calon penonton setelah mengumumkan pendaftaran secara online sehari sebelum panggung digelar. Namun, karena terbatasnya area acara, hanya 350 orang yang dapat masuk secara bergantian.
Menurut Melanie Subono, zaman telah berubah. Kampanye menyuarakan isu penting kini perlu cara yang lebih santai. Dia hakulyakin menguatnya kesadaran politik hingga memicu gerakan mahasiswa pada September 2019 juga disumbang oleh hadirnya musikus-musikus kritis yang merambah generasi muda. “Walaupun musikusnya itu-itu doang, anak muda lebih kena,” ucapnya.
Penyanyi dan presenter Melanie Subono di Jakarta, 14 Desember 2019. TEMPO / Hilman Fathurrahman W.
Pada tiga pergelaran terakhir, musikus yang bergabung makin banyak. Mereka antara lain Ananda Badudu, gitaris blues Adrian Adioetomo, Bangkutaman, dan Tashoora. Sebanyak 15 musikus juga bergabung dalam “Mendesak Tapi Santuy Volume Digital”, yang diinisiasi Aliansi Masyarakat untuk Keadilan dan Demokrasi. Berbeda dengan tiga agenda lain, pergelaran kali ini dilakukan secara online memanfaatkan media sosial. Setiap musikus tampil sekitar 30 menit dari lokasi berbeda, kemudian disiarkan langsung melalui Instagram.
Iksan Skuter berkeyakinan bahwa fungsi musik bukan melulu soal rating, hiburan, tontonan, dan estetika. Seni musik, kata dia, semestinya bisa menjadi medium untuk merefleksikan kondisi sosial dan politik. Itu sebabnya, dia tak hanya tertarik mendukung perlawanan dari atas panggung. “Kalimatnya bukanlah ketertarikan, melainkan kewajiban musikus sebagai makhluk sosial,” tutur Iksan.
Dia menilai kondisi di seputar isu kemanusiaan, hukum, politik, ekonomi, hingga perlindungan sumber daya alam tak bergerak ke arah yang lebih baik setelah dua dekade reformasi. “Mandek! Banyak pemain lama yang masih menguasai permainan,” kata Iksan. “Walhasil, policy yang dihasilkan enggak jauh berbeda dengan 20 tahun lalu.”
Iksan Skuter. (foto: twitter.com / @iksanskuter)
Bagus Dwi Danto tak mau muluk-muluk berharap panggung solidaritas yang dimainkannya bersama sejumlah musikus bakal berdampak langsung mempengaruhi kebijakan. Baginya, suara musikus setidaknya bisa turut meresonansi kegelisahan publik saat ini. “Makin banyak yang bersuara, kita makin tahu bahwa kita tidak sendiri untuk mengoreksi apa yang perlu dikoreksi, mengubah apa yang perlu diubah,” ujarnya.
Dengan alasan yang sama, Danto sebelumnya melantunkan Lagu Hidup, salah satu gubahannya, dari atas mobil komando aksi “Gejayan Memanggil” pada 23 September 2019. Massa yang memenuhi perempatan Jalan Affandi, Daerah Istimewa Yogyakarta, lamat-lamat turut bersenandung.
Dan harus berani, harus berani
Jika orang-orang serakah datang
Harus dihadang….
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo