Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Setelah 1998, gerakan mahasiswa libur panjang.
Gerakan Mahasiswa 2019 boleh dibilang adalah gerakan mahasiswa yang paling liberal sepanjang sejarah politik Indonesia pasca-Orde baru.
Para filsuf nyaris tidak pernah memberi tempat dalam pikiran dan teori-teori mereka tentang mahasiswa.
DALAM sejarah modern Indonesia, mahasiswa adalah sebuah kategori politik. Di mana pun kampus mereka, apa pun jurusan dan fakultasnya, begitu menjadi mahasiswa, mereka menyandang identitas dari suatu kelompok sosial yang secara otomatis terpolitisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahasiswa adalah subyek politik. Politisasi dan transformasi mahasiswa ke dalam subyek politik itu secara monumental terjadi dan dimulai dalam pembentukan Orde Baru pada 1965. Dalam pergolakan politik tahun itu, mahasiswa--terutama yang berasal dari kampus-kampus elite, seperti Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung, yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia--merupakan garda depan dalam penjatuhan rezim Sukarno dan pembubaran Partai Komunis Indonesia. Sejak saat itulah mahasiswa sebagai diskursus politik dan ideologis tampil dan menguat hingga akhirnya menggantikan diskursus politik pemuda yang lebih sering dipakai sebelumnya (Aspinall, 2012).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jatuhnya kekuasaan Sukarno dan munculnya kekuasaan Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari aliansi antara militer dan gerakan mahasiswa. Setelah jatuhnya Sukarno, aliansi antara mahasiswa dan militer berlanjut dalam kerja sama menyediakan fondasi doktrin pembangunan ekonomi, sosial, dan politik untuk Orde Baru. Wujud kerja sama itu bisa dilihat salah satunya dari sebuah seminar pada 1966 bertema “Trase Baru” di Universitas Indonesia.
Bulir-bulir sejarah gerakan mahasiswa ini menjejakkan posisi bahwa dunia kampus, terutama mahasiswa, diperlukan bukan hanya dalam keperluan menyediakan suatu gerakan protes yang besar untuk menggulingkan rezim Sukarno. Lebih dari itu, keterlibatan mahasiswa juga menyediakan legitimasi ideologis agar rezim baru yang didukungnya lebih berciri teknokratis. Dari sini terbentuk kesan bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan yang lebih eksklusif dan intelek, bukan gerakan orang lapar yang marah.
Sejarah besar pemakzulan Sukarno serta hubungan manis dengan kekuasaan pada periode awal Orde Baru menghasilkan suatu citra diri akan peran hebat mahasiswa sebagai gerakan moral dan agen perubahan sosial dalam masyarakat. Agen perubahan dan gerakan moral adalah diskursus politik dan ideologi yang disematkan dan secara simultan direproduksi terus-menerus untuk membentuk identitas mahasiswa. Dengan itu, identitas mahasiswa dikonstruksi sebagai suatu kategori sosial-politik yang khas dan khusus. Kekhasannya ditentukan oleh statusnya sebagai anak kampus dan kekhususannya ditentukan oleh watak moral perjuangannya.
Dengan memposisikan gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral intelektual, Orde Baru sebenarnya bermaksud mendomestikasi gerakan ini hanya dan oleh kalangan kampus sehingga dengan itu ia tidak bercampur dengan gerakan sosial lain di masyarakat. Dengan menyebut sebagai gerakan moral, Orde Baru memberikan ruang lingkup politik yang terbatas sekaligus kontradiktif bahwa gerakan mahasiswa bukan gerakan--dengan maksud, tujuan, kepentingan--politik, melainkan moral.
Ed Aspinall (2005) menyebutkan istilah gerakan moral berimplikasi pada pemisahan antara universitas dan masyarakat: mahasiswa dan kehidupan kampus dialienasi dari masalah-masalah masyarakat. Di titik ini, sifat-sifat paradoksal dari diskursus politik mahasiswa menjadi tak tertahankan. Sterilisasi gerakan mahasiswa sebagai gerakan kampus dan gerakan moral menjadi tidak pernah mungkin seiring dengan kenyataan bahwa sifat gerakan moral mahasiswa senantiasa juga dibasiskan atas klaim keberpihakan mereka kepada nasib rakyat yang lebih besar.
Konstruksi politik Orde Baru atas gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral yang steril ini kemudian terbukti gagal dengan kemunculan gerakan mahasiswa pada 1980-an, yang memulai tradisi aliansi antara mahasiswa dan kelompok-kelompok masyarakat yang lebih luas, termasuk dengan buruh, petani, lembaga swadaya masyarakat, dan kaum intelektual di luar kampus. Pada 1998, seiring dengan gempuran krisis ekonomi, gerakan mahasiswa tampil kembali menjatuhkan rezim Soeharto yang dianggap sudah terlampau sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dengan ini, semua proyek ideologi dan politik Orde Baru yang dimaksudkan untuk menormalisasi dan menaklukkan kampus-kampus terpatahkan. Pemutusan gerakan mahasiswa 1998 dengan Orde Baru itu secara simbolis terjadi di Universitas Indonesia saat sekelompok mahasiswa menutup sebuah plang lama bertulisan “Kampus Perjuangan Orde Baru” dan menggantinya dengan tulisan “Kampus Perjuangan Rakyat”.
Setelah 1998, gerakan mahasiswa libur panjang. Mahasiswa kembali ke kampus berkutat dengan kuliah. Kampus-kampus mulai mengetatkan aneka aturan, dari busana, sikap, sampai pemberlakuan jam malam, yang membatasi aktivitas mahasiswa. Di sejumlah kampus, tempat kelompok-kelompok mahasiswa progresif kuat sebelumnya, mereka justru makin konservatif. Protes mahasiswa masih sesekali terjadi di banyak kota dan di kampus-kampus, tapi kecil dan tidak menarik minat publik. Pada tahun-tahun terakhir sebelum September 2019, demonstrasi mahasiswa juga sulit membesar karena selalu dicaplok oleh pembelahan politik elektoral. Di portal-portal, berita terakhir mengenai kampus didominasi kasus perundungan terhadap mahasiswa dan aktivitas politik organisasi-organisasi alumnus.
Karena itu, demonstrasi ribuan mahasiswa dan masyarakat yang dimulai dari “Gejayan Memanggil” di Daerah Istimewa Yogyakarta pada 23 September 2019, yang dilanjutkan di Jakarta dan kota-kota lain pada bulan tersebut, mengejutkan semua pihak.
Menurut Eve Warburton (New Mandala, Oktober 2019), daya tarik dan keistimewaan gerakan mahasiswa 2019 terletak pada: pertama, gerakan ini melampaui dan mematahkan stagnasi politik dan ideologi akibat pengkubuan politik elektoral dalam dua pemilihan presiden 2014 dan 2019. Mereka membuktikan, di luar pilihan elektoral yang membelah masyarakat secara brutal, masih ada politik lain yang reformis. Di hadapan Gerakan Mahasiswa 2019, semua klaim politik elektoral menjadi lawas dan purba.
Kedua, meski berlangsung dalam periode gerakan yang singkat, dari segi tuntutan, Gerakan Mahasiswa 2019 boleh dibilang adalah gerakan mahasiswa yang paling liberal sepanjang sejarah politik Indonesia pasca-Orde baru. Hal ini bisa dilihat dari konstruksi tuntutannya yang sangat menekankan pentingnya pemberantasan korupsi, penghargaan hak-hak asasi, kebebasan sipil, dan negara hukum yang demokratis. Sementara itu, dalam aksentuasi gerakannya, Gerakan Mahasiswa 2019 menyuarakan secara keras pentingnya penghargaan akan martabat dan hak-hak pribadi.
Ketiga, Gerakan Mahasiswa 2019 menguak problem representasi dalam politik elektoral di Indonesia. Selama ini, dari satu pemilihan umum ke pemilihan umum lain, rakyat diharapkan berpartisipasi saja dalam pelembagaan politik yang ada, yakni lewat partai politik. Kehadiran Gerakan Mahasiswa 2019 membuka kelemahan dalam politik representasi yang rutin ini sejak era reformasi. Ia memberi guncangan terhadap kelembagaan politik yang ada.
Hal lain yang juga penting dari Gerakan Mahasiswa 2019 adalah ia membuktikan dan mengkonfirmasi kembali eksistensi politik mahasiswa sebagai unsur permanen yang terus mendeterminasi perubahan sosial-politik penting di Indonesia. Sebagai dosen dari generasi yang tumbuh dalam gerakan 1998, jauh sebelum hari-hari hebat di ujung September 2019 itu, setiap memandang mahasiswa di kelas, saya selalu merasa kecut. Di ruang kelas yang panas, di hadapan antusiasme yang tak bisa dipastikan antara peduli dan pura-pura, dari wajah-wajah yang kini lebih banyak menunduk menghadapi gawai ketimbang menghadapi presentasi dosen, saya selalu jatuh iba.
Saya, yang berasal dari gejolak 1998, merasa memiliki pengalaman generasional, yang secara bodoh sering saya simpan dan banggakan sebagai sejarah singular yang eksklusif. Dalam kebodohan, saya sering berkata kepada mereka, “Persoalan mahasiswa masa kini lebih berat karena kamu hidup tanpa misi dan agenda sejarah yang besar. Itu sebabnya kamu sering terjebak pada pencarian identitas yang remeh.”
Sekarang, setelah September 2019, saya menghadapi mahasiswa dengan pikiran dan perasaan yang sama sekali berbeda. Di hadapan mereka, melalui jendela-jendela kaca yang memantulkan bayang-bayang kami, saya melihat diri sebagai masa lalu yang lapuk, sementara mereka di depan saya yang terus sibuk dengan gawainya membawa keceriaan masa depan yang melegakan. Hari-hari di ujung September 2019 telah mengubah mereka: dari individu-individu “kosong” yang seakan-akan tanpa sejarah menjadi subyek politik yang muda dan terhormat.
Para filsuf nyaris tidak pernah memberi tempat dalam pikiran dan teori-teori mereka tentang mahasiswa. Teoretikus Marxis klasik ragu terhadap basis ekonomi-politik mahasiswa sebagai kelas, yang tak memungkinkan mereka memiliki alasan untuk progresif dan revolusioner. Para filsuf masa kini lebih suka memancang “subject positions” dari aneka aktor sosial, seperti gerakan buruh, gender, dan prekariat, sebagai agen emansipasi masyarakat dan terus melupakan gerakan mahasiswa.
Setelah September 2019, gerakan mahasiswa membuktikan bahwa dalam konteks Indonesia pasca-1965, merekalah satu-satunya subyek historis yang terbukti terus aktif dan hadir dalam tiap pergolakan serta perubahan sejarah politik dan sosial. Kapan datangnya tak bisa diduga-duga. Tapi, di saat negara dalam kondisi parah dan jalan keluar politik buntu, mereka selalu ada. Pada September lalu, meski hadir dalam periode yang pendek, Gerakan Mahasiswa 2019 mengingatkan kita untuk kembali memaknai politik sebagai “P” besar. Politik sebagai disensus dan jalan emansipasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo