Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Efek Semu Subsidi Langsung

Perubahan skema subsidi menjadi seperti pemberian bantuan langsung tunai menjadi salah satu opsi kompensasi kenaikan tarif listrik. Mengapa skema ini dinilai tak menyelesaikan masalah?

16 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga penerima dan uang tunai Rp 500.000 saat pencairan bantuan subsidi minyak goreng dan bantuan sembako di Kantor Pos Asia Afrika, Bandung, Jawa Barat, 15 April 2022. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Selain kenaikan tarif listrik, pemerintah berencana mengubah skema subsidi menjadi bantuan langsung.

  • Subsidi listrik akan digantikan voucer atau bantuan dana tunai untuk masyarakat miskin.

  • Kebijakan bantuan langsung tunai dianggap masih menyisakan banyak masalah.

JAKARTA – Wacana kenaikan tarif listrik kembali mencuat dalam rapat Komisi Energi DPR dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Rabu lalu. Sebelumnya, pada Januari 2022, wacana serupa diungkapkan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi, Rida Mulyana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Waktu itu, Rida mengumumkan, sembari mengkaji ulang tarif listrik, pemerintah juga mempertimbangkan mengubah skema subsidi listrik untuk masyarakat menjadi subsidi langsung. “Ke depan, setelah menata data penerima subsidi, meski subsidi masih disalurkan ke PLN, ujungnya kita akan mengarah ke subsidi langsung,” ujar Rida. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Subsidi langsung tersebut, ia melanjutkan, akan dikucurkan kepada pelanggan PLN dalam bentuk voucer atau uang tunai yang hanya bisa digunakan untuk membayar listrik. Penerimanya adalah masyarakat yang terdaftar dalam data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) Kementerian Sosial.

Dalam rapat bersama DPR, rencana perubahan skema subsidi energi kembali disinggung Arifin Tasrif. Ia menjelaskan, perubahan skema ini merupakan strategi jangka menengah dan panjang di sektor ketenagalistrikan. Pemerintah, kata dia, akan melakukan pemadanan dan pemilahan data pelanggan penerima manfaat berdasarkan DTKS untuk subsidi langsung. 

Belakangan, kebijakan pemberian subsidi langsung, seperti bantuan langsung tunai (BLT), dipilih pemerintah untuk mengkompensasi kenaikan harga sejumlah komoditas. Kebijakan terbaru adalah penyaluran BLT sebagai bantalan penghapusan harga eceran tertinggi minyak goreng kemasan. Pada 31 Maret lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan BLT tersebut untuk meringankan beban masyarakat. Pilihan kompensasi diambil saat harga minyak goreng sedang tinggi akibat lonjakan harga minyak sawit di pasar internasional.

Pada awal April lalu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, juga menyatakan tak tertutup adanya kemungkinan program seperti BLT minyak goreng diterapkan pada komoditas lainnya, seperti sektor energi (bahan bakar minyak dan listrik). Pemerintah menilai justru penyaluran subsidi komoditas cenderung tak mencapai target penerima dan  menguntungkan golongan menengah ke atas.

Warga menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) subsidi minyak goreng di Kantor Pos Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 13 April 2022. ANTARA/Bayu Pratama S

"Program perlindungan sosial seharusnya ditujukan untuk melindungi masyarakat yang rentan sehingga seharusnya kemiskinan dan ketimpangan turun. Kalau tidak berdampak signifikan, kita harus memperbaiki cara subsidi kita," ujar Febrio dalam pertemuan virtual dengan wartawan.

Namun Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menilai skema subsidi komoditas untuk menahan harga masih lebih efektif dibanding menebar dana yang belum tentu juga tepat sasaran. “Masalah klasik BLT adalah jangkauan yang kadang-kadang tak sampai ke masyarakat area terpencil serta data yang bolong-bolong,” kata dia kepada Tempo, kemarin.  

Menurut Faisal, urgensi kebijakan seperti BLT bergantung pada masalah masing-masing komoditas. Untuk urusan minyak goreng, dana bantuan menjadi langkah terakhir pemerintah yang gagal mengontrol harga di pasar. Dia menganggap swasta terlalu dominan dalam produksi dan distribusi minyak goreng.

Adapun untuk BBM, dia meneruskan, pemerintah masih bisa menyokong subsidi lewat kas negara. Alih-alih menjadi BLT, pemerintah bisa menambah dana subsidi PT Pertamina (Persero). “Tambahan APBN karena kenaikan harga komoditas kan bisa dipakai untuk subsidi listrik 900 watt ataupun BBM dan gas.”

Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, pun mengkritik skema bantuan tunai minyak goreng yang menggambarkan kelemahan pemerintah. “Dengan BLT, secara tidak langsung pemerintah mensubsidi kartel penguasa industri sawit dan minyak goreng sehingga harga jual tinggi dapat dijangkau masyarakat.”

Adapun Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menyebutkan tak ada pilihan selain pemberian subsidi lewat BLT karena skema subsidi komoditas di Indonesia rawan penyelewengan. “Setiap ada penetapan kuota, pasti akan jebol,” katanya. “Tapi durasi BLT juga tetap tergantung kondisi keuangan negara serta perlu pengawasan data.”

YOHANES PASKALIS | CAESAR AKBAR

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus