Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terdakwa kasus penghinaan presiden, Eggi Sudjana, terancam hukuman kurungan. Jaksa penuntut umum S. Luthfi menuntutnya empat bulan penjara dengan masa percobaan delapan bulan. "Terdakwa terbukti bersalah melanggar pasal tentang penghinaan presiden," kata Luthfi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu pekan lalu.
Perbuatan Eggi, kata jaksa, terbukti secara sengaja menghina Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan banyak orang. Penghinaan itu dilakukan pada Selasa 3 Januari 2006 di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jaksa menyodorkan bukti berupa kaset rekaman. Isinya, keterangan pers Eggi yang menyebut sejumlah pejabat istana kepresidenan menerima sogokan mobil Jaguar dari sejumlah pengusaha.
Eggi terlihat tenang di sidang. Ia meminta pembelaan lisan kepada majelis hakim. Dalam pembelaannya, dia mengatakan substansi kasusnya sudah selesai karena presiden sudah memberi maaf. Apalagi, kata Eggi, kedatangannya ke KPK cuma menanyakan rumor Jaquar yang diberikan kepada pejabat Istana. "Bertanya tidak sama dengan menghina," katanya.
Pidato Presiden Batal Lagi
Jadwal pidato awal tahun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berlarut-larut. Semula, direncanakan pada 10 Januari, tapi ditunda. Alasan resminya, karena Presiden sibuk dengan urusan kecelakaan yang cukup marak. Pidato lantas diundur ke 18 Januari. Para wartawan menunggu-nunggu. Seorang staf kepresidenan menginformasikan presiden bakal berpidato pukul tujuh malam.
Ditunggu-tunggu, eh... malah batal lagi. "Yang pasti tidak malam ini," begitu penjelasan Dino Patti Djalal, juru bicara Presiden. Lalu kapan? "Secepatnya," kata Andi Mallarangeng, yang juga juru bicara Presiden. Menurut Andi, penundaan itu dilakukan karena menunggu waktu yang tepat saja.
Bisa jadi begitu. Tapi sumber yang dekat dengan Istana menuturkan, penundaan itu dilakukan karena Presiden masih ragu dengan materi pidato, terutama yang menyangkut angka-angka perkembangan ekonomi. Tampaknya Presiden tidak mau pengalaman pidato Nota Keuangan 16 Agustus 2006 terulang. Kala itu banyak kalangan yang menuduh pemerintah mengelabui data kemiskinan yang meningkat.
Adam Diduga Terbenam Lumpur
Ini kabar terbaru soal Adam Air yang hilang di langit Sulawesi pada 1 Januari lalu. Pesawat nahas itu diduga terbenam di lumpur pada kedalaman 1.700 meter di dasar laut. Dugaan itu berdasarkan pancaran sinyal logam yang ditangkap kapal Angkatan Laut Amerika Serikat Mary Sears, KRI Pulau Rapat dan KRI Nala.
Sinyal itu menyala dari jarak 21 mil di sebelah barat daya Majene, Sulawesi Selatan. "Tapi kedalaman lumpurnya belum diketahui," kata ketua tim pencari pesawat Adam Air, Marsekal Pertama Eddy Suyanto, di Makassar pekan lalu. Tim pencari juga belum bisa memastikan hingga kapan pendeteksian logam dilakukan.
Selain menemukan sinyal logam, tim pencari juga terus mengumpulkan serpihan pesawat. Hingga akhir pekan lalu, Komisi Nasional Keselamatan Transportasi memastikan sudah 147 serpihan pesawat yang terkumpul, antara lain 48 potongan meja makan, 15 busa kursi, 56 bagian badan pesawat, 15 logam, satu stabilizer, satu elevator, satu blackboard, satu majalah Adam Air, 4 lembar karet hitam, satu gulung plastik panjang.
Isu Mark Up dari Istana
Kabar tak sedap ini muncul sesudah Presiden pulang dari Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Cebu, Filipina, dua pekan lalu. Seorang pejabat Sekretariat Negara dituduh menyuap manajer hotel tempat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginap. Uang suap itu diberikan agar si manajer membantu menggelembungkan biaya sewa kamar hotel. Berita ini ramai dilansir sejumlah media pekan lalu.
Walau masih sebatas rumor, kritik sudah muncul dari sejumlah kalangan. Zulkieflimansyah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Keadilan Sejahtera, menilai perilaku semacam itu membuat citra birokrasi di Indonesia buruk. Dia mendesak Presiden segera mengklarifikasi isu suap ini.
Kepala Rumah Tangga Istana Presiden, Ahmad Rusdi, membantah soal penyuapan. Yang terjadi, katanya, pihak hotel memasang tarif lebih tinggi dari biasanya. Alasannya? Ya, karena hajatan besar para petinggi negara-negara ASEAN. Jadi, " Alasannya peak season," kata Ahmad.
Kisruh PBR Kian Menjadi-jadi
Perseteruan Zaenal Ma'arif dengan kubu Partai Bintang Reformasi (PBR) pimpinan Bursah Zarnubi kian panas. Sidang keabsahan partai di bawah pimpinan Bursah digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu pekan lalu. Sidang perdana ini adalah buntut gugatan dari Tim Penegak Konstitusi partai itu yang ikut muktamar islah Dewan Pimpinan Pusat hasil islah di Bali 22 -25 April 2006. Zaenal mendukung langkah hukum dalam penyelesaian sengketa. "Jika tidak lewat jalur hukum, siapa pun (nantinya) dapat dijatuhkan tanpa proses hukum," katanya.
Tekad memproses hukum sengketa partai disambut kubu Zaenal pada hari yang sama. Mereka melaporkan Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat PBR Yusuf Lakaseng ke Markas Besar Polri. "Dia melakukan tindak pidana penodaan terhadap agama karena mencopot Zaenal dengan alasan poligami," ujar salah seorang pelapor, Yanni Rusmanto dari Ormas Hizbullah pendukung Zaenal.
Bursah tak gentar menghadapi berbagai proses hukum yang mendera kubunya. Ia justru menegaskan, kadernya tidak luruh menegakkan sosialisme religius, yang sesuai dengan asas Islam PBR.
Lidya Pratiwi Divonis 14 Tahun
Lidya Pratiwi menangis sesenggukan ketika Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonisnya 14 tahun penjara pada Kamis pekan lalu. Para hakim menilai, dara ayu ini terbukti melanggar Pasal 365 KUHP, melakukan tindak pencurian dengan kekerasan terhadap Naek Gonggom Hutagalung, teman Lidya yang berprofesi sebagai model.
Kasus itu terjadi pada 27 April 2006. Naek ditemukan tewas di Putri Duyung Cottage Villa Tongkol 56 Ancol, Jakarta Utara. Polisi yang mengusut kasus ini menuduh Tony Yusuf, paman Lidya, yang membunuh Naek. Lidya diduga terlibat. Vonis hakim lebih ringan dari dakwaan jaksa yang menuntut hukuman mati terhadap artis sinetron itu.
Karel Tuppu, hakim ketua dalam kasus ini menyebutkan, salah satu bukti keterlibatan Lidya adalah pembobolan rekening milik Naek di anjungan tunai mandiri (ATM) sebuah bank swasta. Main bobol itu dilakukan Lidya bersama ibunya. Uang Rp 7,5 juta milik Naek ludes dikuras.
Lidya memprotes vonis itu. "Hakim kok menyamakan vonisku dengan orang yang terlibat pembunuhan, padahal aku sama sekali tidak terlibat," katanya. Kuasa hukum Lidya, Firman Jaya, menuduh putusan hakim cuma berdasar analogi, bukan fakta.
Hak Pilih TNI-Polri Ditolak
Mahkamah Konstitusi menolak uji materi terhadap Undang-Undang Hak Pilih TNI dan Polri pada Kamis pekan lalu. Pemohon hak uji materi itu adalah Komisaris Besar Polisi (Purn.) Sofwat Hadi, yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Kalimantan Selatan.
Sofwat menilai Undang-Undang Pemilihan Presiden, Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat, serta Dewan Perwakilan Daerah, Undang-Undang Kepolisian, dan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia telah merugikan hak-haknya sebagai warga negara. Alasannya? saat mencalonkan diri sebagai anggota DPD, dia diharuskan mundur dari kepolisian.
Mahkamah Konstitusi menilai Sofwat tidak dapat mewakili anggota TNI dan Polri yang masih aktif. Si pemohon memang telah pensiun. Jadi, kata Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi, "Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum." Sofwat sendiri tetap bersemangat "45". "Saya akan mencari mandat dari anggota polisi atau TNI yang masih aktif. Kami usahakan sebelum pemilu 2009 bisa mengajukan uji materi lagi," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo