ARSIP

Tempo, 6 Februari 2005

Pada 28 Januari 2005, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memasuki hari ke-100. Banyak hal telah berubah, tapi tak sedikit pula yang menimbulkan kerisauan. Apalagi posisi Wakil Presiden Jusuf Kalla mulai tampak dominan. Lalu, sudahkah mereka memenuhi semua janjinya?

"Jika saya terpilih sebagai presiden, kondisi negara Indonesia lima tahun mendatang harus lebih baik. Indonesia lebih aman, adil, damai, demokratis, dan sejahtera," katanya dalam debat calon presiden. Di rumahnya di Cikeas, Bogor, beberapa hari setelah terpilih, ia mengatakan tema 100 hari pemerintahannya adalah konsolidasi, konsiliasi, dan aksi.

SBY memerintahkan para menteri menyiapkan program 100 hari. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin memeriksa penjara para koruptor dan mengirim sebagian (kecil) dari mereka ke Nusakambangan. Menteri Keuangan Jusuf Anwar membuat kontrak lisan dengan pejabat Bea dan Cukai agar penyelundup digasak habis.

Bukan tak ada hasilnya. Barang selundupan berkurang. Koruptor gemetar, terutama setelah dibentuknya peraturan antikorupsi yang memungkinkan penyeleweng uang negara diperlakukan bak teroris.

Tapi yang buruk juga banyak. Misalnya, ada delapan kementerian yang belum bisa bekerja karena belum dilengkapi keputusan presiden. Lalu muncul kekhawatiran mekanisme kontrol tidak jalan setelah Kalla menjadi Ketua Golkar-partai terkuat di DPR. Pekan lalu, sejumlah tokoh politik kembali melontarkan kritik ke Presiden, bahkan meminta mandat SBY-JK dicabut.