Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cara Lama Mengembangkan Vaksin

Eijkman memilih platform protein rekombinan karena sudah menguasai teknologinya dan industri yang akan digandeng siap memproduksi secara massal. Uji praklinis calon vaksin akan dimulai pada bulan ini hingga November mendatang.

16 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Peneliti beraktivitas di ruang riset vaksin Merah Putih di kantor Bio Farma, Bandung, 12 Agustus 2020. ANTARA/Dhemas Reviyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Eijkman memilih platform protein rekombinan karena sudah menguasai teknologinya.

  • Tim riset melakukan beberapa penyesuaian agar vaksin lebih efisien saat menjalani produksi massal.

  • Eijkman akan memulai uji praklinis vaksin Merah Putih pada bulan ini.

JAKARTA – Amin Subandrio bergegas mengumpulkan timnya di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman begitu institusi itu mendapat tugas dari pemerintah untuk mengembangkan vaksin Covid-19 pada Maret tahun lalu. Eijkman merupakan satu dari sejumlah lembaga dan kampus yang dipercaya membuat penangkal virus Covid-19 dalam negeri yang disebut vaksin Merah Putih

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peneliti di bagian Stem Cell Unit Lembaga Eijkman itu lantas memilih anggota tim di lembaganya yang sudah berpengalaman dalam urusan riset vaksin. Setelah memilih anggota tim yang solid, Amin mendiskusikan platform pembuatan vaksin Covid-19 yang dipilih. "Kami bersepakat untuk mengembangkan vaksin dari protein rekombinan," kata Amin kepada Tempo, kemarin. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Amin menjelaskan timnya sengaja memilih platform pengembangan vaksin dari protein rekombinan karena Eijkman sudah menguasai teknologinya. Pertimbangan lain, industri yang akan digandeng juga sudah menguasai teknologi ini. Eijkman, kata dia, berharap industri siap memproduksi secara massal vaksin yang telah dikembangkan oleh lembaga tersebut. 

Di samping platform protein rekombinan, ada beberapa metode lain dalam pengembangan vaksin. Misalnya, lewat virus yang dimatikan, mRNA, dan DNA. Amin mengaku lembaganya akan kesulitan mengembangkan vaksin dengan metode lain di luar metode protein rekombinan.

Ia membenarkan bahwa metode protein rekombinan bukan hal baru dalam riset vaksin, tapi bukan berarti platform tersebut termasuk teknologi kuno. "Percuma kami menciptakan teknologi di laboratorium kalau tidak ada industri yang bisa melakukan hilirisasi," katanya. 

Eijkman menggandeng PT Bio Farma (Persero) dalam urusan riset vaksin Merah Putih. Pertimbangannya, Eijkman sudah menguasai teknologi pengembangan vaksin itu, sementara Bio Farma sudah siap memproduksinya. “Jadi kami jalan," kata Amin. 

Aktivitas peneliti di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, 14 April 2021.Dok brin.go.id

Menurut dia, pembuatan vaksin dari protein rekombinan membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding virus yang dimatikan. Sebab, gen protein dari virus harus diisolasi lebih dulu. Lalu gen disisipkan ke plasmid—molekul asam deoksiribonukleat (DNA) yang mampu bereplikasi sendiri—sebelum dimasukkan ke virus vektor. Selanjutnya, virus vektor yang telah memiliki gen itu dimasukkan ke dalam sel mamalia, yang nantinya memproduksi antigen. 

Eijkman baru mendapatkan bibit vaksin Covid-19 setelah sepuluh bulan melakukan riset. Pada Januari lalu, Eijkman melakukan proses transisi bibit vaksin ke industri untuk disiapkan dalam skala besar. Tapi proses transisi ini menemui kendala. Tim Eijkman terpaksa melakukan banyak penyesuaian, sehingga riset mereka belum berlanjut ke tahap uji praklinis.  

Amin menjelaskan ada tiga hal yang harus dilakukan oleh tim selama penyesuaian itu, yaitu peningkatan skala, optimalisasi, dan meningkatkan produktivitas benih vaksin. Tiga syarat ini perlu dilakukan agar vaksin bisa dibuat lebih efisien. 

"Kultur sel, kultur virus itu tidak selalu linier. Misalnya, ketika di 100 mililiter sudah bagus, sementara untuk skala industri ukurannya bisa sampai ribuan liter. Untuk membuatnya, tidak bisa dikalikan begitu saja karena kondisinya harus sesuai," ujar Amin. 

Setelah berbagai penyesuaian tersebut, Amin menargetkan peneliti Eijkman akan memulai uji praklinis pada Agustus ini hingga November mendatang. Ia berharap pengembangan vaksin sudah memasuki tahap uji klinis fase pertama pada akhir tahun ini atau paling lambat awal 2022. Adapun proses uji klinis nantinya membutuhkan waktu selama delapan bulan. 

"Mudah-mudahan kalau semua bagus, sebelum uji klinis fase ketiga selesai, bisa keluar emergency use authorization (izin penggunaan darurat) dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)," ucapnya. 

Direktur Utama PT Bio Farma, Honesti Basyir, di Bandung, 2 Agustus 2021. TEMPO/Prima Mulia

Sebelumnya, Direktur Utama PT Bio Farma (Persero), Honesti Basyir, mengatakan Eijkman sebenarnya sudah menyerahkan bibit vaksin Covid-19 ke Bio Farma pada April lalu. Tapi hasil tes Bio Farma menunjukkan bibit vaksin itu masih perlu dioptimalkan. "Kalau yield rendah, saat kami produksi, biayanya akan sangat besar. Makanya kami melanjutkan proses dengan optimalisasi bibit vaksin dari Eijkman," kata Honesti.  

MAYA AYU PUSPITASARI | SHINTA MAHARANI  
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus