Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Keuangan perusahaan digital memburuk karena masih mengandalkan strategi bakar uang.
Tech winter mulai terjadi sejak akhir 2022.
Penurunan The Fed rate akan membuat investor asing kembali melirik industri digital.
Nailul Huda
Ekonom dan Direktur Ekonomi Digital Celios
PADA AWAL 2023, pemberitaan global dihiasi oleh kabar pemutusan hubungan kerja hingga penutupan operasional di ekosistem digital. Dari perusahaan rintisan alias startup digital perdagangan daring, perbankan digital, hingga penyedia jasa perangkat keras teknologi mengalami terpaan hebat. Kondisi ini kita kenal dengan sebutan tech winter.
Kondisi tersebut sebenarnya mulai terjadi pada pengujung 2022. Ketika itu, penulis sudah menyampaikan ke publik bahwa ekonomi digital Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Salah satu indikatornya adalah data dari Dealroom.co tentang penurunan investasi di sektor digital dari Rp 144 triliun pada 2021 menjadi sekitar Rp 60 triliun pada 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dampaknya terasa luas, yang berpangkal dari pemangkasan jumlah tenaga kerja di banyak startup dan perusahaan teknologi sebagai upaya untuk memangkas biaya operasional. Keputusan investasi para investor yang semakin konservatif memberikan tekanan tambahan, menyebabkan perlambatan signifikan dalam pendanaan baru bagi perusahaan rintisan dan teknologi. Akibatnya, perusahaan-perusahaan ini dipaksa mengalihkan fokus mereka dari ekspansi agresif ke strategi yang lebih berkelanjutan dan efisien.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah tekanan ini, perusahaan harus berinovasi dan beradaptasi untuk bertahan. Mereka menerapkan diversifikasi produk, meningkatkan efisiensi operasional, dan menjelajahi pasar baru sebagai strategi bertahan. Adaptasi pun dilakukan oleh para pelaku ekonomi yang mengandalkan ekonomi digital, termasuk pelaku usaha perdagangan daring. Salah satu hasil adaptasi ini adalah munculnya fenomena social commerce sejak 2022 hingga pertengahan 2023. Contoh pemain social commerce adalah TikTok, Facebook, Instagram, dan Twitter. Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjajal berbagai platform untuk berjualan, dari e-commerce hingga social commerce.
Pertengahan 2023 pun tampaknya masih terasa berat bagi ekonomi digital kita, dengan masih (atau bahkan semakin) banyaknya perusahaan teknologi yang angkat koper. Perusahaan e-commerce JD.ID tidak mampu bersaing dengan e-commerce lainnya sehingga memutuskan tutup per April 2023. Yang terbaru, perusahaan online travel agent (OTA) Pegipegi juga kalah bersaing dengan OTA lainnya. Padahal kedua perusahaan tersebut sudah beroperasi lama dan berbisnis di Indonesia.
Nilai Ekonomi Digital Menurun
Banyaknya kasus penutupan perusahaan digital ini membuat proyeksi terhadap ekonomi digital Indonesia semakin menurun. Google, Temasek, dan Bain bahkan menurunkan ekspektasi mereka terhadap ukuran ekonomi digital Indonesia pada 2025 dalam dua edisi laporan mereka. Pada edisi 2021, mereka menyebutkan proyeksi ekonomi digital Indonesia pada 2025 menembus angka US$ 146 miliar. Kemudian mereka menurunkan ekspektasinya dalam laporan 2022 menjadi US$ 130 miliar. Terakhir, proyeksi ekonomi digital Indonesia turun kembali menjadi US$ 109 miliar dalam laporan teranyar Google, Temasek, dan Bain.
Penurunan proyeksi ini menjadi alarm karena ekosistem ekonomi digital Indonesia bertumbuh tidak sebesar harapan pada 2020 ataupun 2021. Dengan berbagai penyesuaian kondisi serta berkurangnya pendanaan yang masuk, ekonomi digital Indonesia diprediksi kembali ke kondisi normal sebelum masa pandemi Covid-19. Bahkan, jika tidak dikelola dengan tepat, size ekonomi digital Indonesia pada 2025 hanya berada di angka US$ 100 miliar.
Untuk bertahan dalam persaingan industri digital dalam negeri, pendanaan merupakan elemen penting. Bak aliran darah, pendanaan merupakan darah yang mengalir ke seluruh tubuh organisasi. Karakteristik startup yang masih merugi pada awal pendirian menyebabkan arus kas atau keuntungan bukan sesuatu yang dikejar untuk bertahan, melainkan pendanaan.
Beberapa tahapan pendanaan, dari pre-seed hingga saham seri A atau seri F, merupakan rangkaian pendanaan yang dilakukan oleh startup digital. Harapannya, perusahaan teknologi hingga venture capital ditarik membiayai bisnis mereka. Salah satu indikator yang dikejar adalah valuasi perusahaan.
Dengan bisnis yang sangat mengandalkan nilai valuasi, startup digital berfokus pada usaha-usaha untuk meningkatkan valuasi demi meraih pendanaan. Nilai valuasi dilihat dari berbagai aspek, dari jumlah pengguna aktif, volume transaksi, hingga pendanaan yang didapatkan. Karena itu, nilai valuasi dari suatu entitas bisnis digital bisa tinggi meskipun secara keuangan buruk.
Karakteristik Ekosistem Digital
Keuangan yang buruk sering disebabkan oleh strategi "bakar uang" yang masih menjadi andalan. Strategi bakar uang ini tidak lepas dari karakteristik ekosistem digital. Karakteristik pertama adalah konsumen yang masih “price oriented consumer”. Di pasar daring Indonesia, karakter konsumen cenderung berorientasi pada harga—sebuah fenomena yang sangat umum di kalangan masyarakat dengan pendapatan terbatas.
Konsumen ini cenderung rasional dalam hal harga, memilih produk termurah untuk barang yang sama (merek dan jenis yang identik). Ini merupakan refleksi umum dari kebiasaan belanja sebagian besar masyarakat Indonesia. Di tengah keterbukaan informasi, masyarakat juga mudah membandingkan harga dari toko satu dengan toko lainnya, dari platform satu dengan platform lainnya. Bahkan ada platform yang menyediakan fitur perbandingan harga antar-platform.
Karakteristik lainnya dari platform atau perusahaan teknologi digital, terutama di negara berkembang, biasanya masih bergantung pada pendanaan melalui penjualan saham berseri-seri. Tujuannya untuk memperkuat modal dan bersaing dengan platform lainnya. Kemampuan perusahaan digital ini sering diukur berdasarkan nilai valuasi yang didapat dari berbagai indikator, seperti gross merchandise value (GMV), lalu lintas situs atau aplikasi, jumlah pelanggan aktif, dan jumlah penjual atau mitra.
Untuk meningkatkan valuasi, platform harus menarik lebih banyak pelanggan untuk bertransaksi. Dalam pasar yang berorientasi dua sisi, pembeli sering diberikan harga lebih rendah untuk menarik mereka bertransaksi, sering kali melalui diskon produk atau pengiriman. Namun strategi ini dapat merusak karakteristik unik platform jika tidak dikelola dengan baik. Beberapa perusahaan digital di Indonesia bahkan mencari pendanaan tambahan melalui initial public offering (IPO) untuk memperkuat pendanaan guna bersaing dengan kompetitor.
Titik Balik?
Dengan karakteristik dan kondisi pendanaan yang tengah seret, bukan tidak mungkin kondisi tech winter masih terjadi di dalam negeri. Sebagai gambaran, pada awal tahun ini saja sudah ada dua kejadian yang berhubungan dengan fenomena tech winter. Pertama, pengurangan pegawai di salah satu e-commerce raksasa ASEAN, Lazada.
Persaingan yang begitu ketat di pasar e-commerce Indonesia membuat platform berlomba-lomba memberikan diskon dan promo, baik untuk barang maupun ongkos kirim. Terlebih ketika TikTok secara resmi bergabung dengan ekosistem Tokopedia yang semakin membuat persaingan hanya mengarah ke dua platform, Shopee dan Tokopedia-Tiktok. Sulit bagi platform lainnya untuk bisa bersaing dengan dua platform tersebut. Walhasil, untuk mengurangi beban operasional dan bersaing dengan kompetitor, efisiensi pekerja menjadi jamak dilakukan.
Baca juga:
Kedua, Zenius yang dikabarkan menutup operasi perusahaan secara keseluruhan. Padahal, pada 2021 dan awal 2022, Zenius memperoleh pendanaan jumbo. Zenius pun kala itu memperbesar layanan dengan mengakuisisi bimbel luring, Primagama. Namun biaya operasional semakin membesar dan apesnya adalah pendanaan pada 2022-2023 sangat seret. Mulai normalnya pembelajaran secara tatap muka di sekolah memperburuk peluang ekspansi pasar Zenius.
Terlepas dari dua kejadian pada awal 2024, banyak analisis mengungkapkan peluang penurunan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat atau The Fed rate pada tahun ini. Peluang tersebut muncul ketika kondisi dalam negeri di Amerika Serikat cukup stabil. Penurunan The Fed rate memberikan harapan bagi penurunan biaya dana atau cost of fund. Investor kemungkinan besar akan melirik kembali industri digital sebagai salah satu investasi utama mereka.
Ketergantungan terhadap The Fed rate lantaran porsi investor asing dalam pendanaan ekosistem digital di Indonesia mencapai 80-85 persen. Investor dalam negeri, baik perusahaan maupun modal ventura, hanya 15-20 persen. Ketimpangan ini menimbulkan kerentanan ekosistem digital Indonesia terhadap perekonomian global. Ketika keuangan global bergejolak, sudah pasti investasi sektor digital di Indonesia akan turun.
Harapan penulis adalah semakin banyak investor dalam negeri yang melirik startup digital, baik dari swasta maupun pelat merah. Adanya Indonesia Investment Authority bisa membuat angin segar bagi startup digital dalam negeri. Begitu juga dengan program Merah Putih Fund. Namun investor diharapkan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian investasi. Salah satu aspek yang harus dilihat adalah exit strategy untuk berhenti bakar uang. ***
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo