Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah seniman dan arsitek membangun rumah serta studio mereka di perdesaan di Kulon Progo.
Seniman Eko Prawoto menyebut studionya di Kulon Progo sebagai laboratorium desa.
Arsitek Yoshi Fajar Kresno Murti bereksperimen dengan alam dan desa melalui studionya.
PEPOHONAN jati menembus atap genting rumah sekaligus studio kerja seniman yang juga arsitek Eko Prawoto. Hampir semua dinding rumah itu terbuat dari kayu dan batu bata. Eko membiarkan beraneka macam tanaman di sekitar rumahnya tumbuh. Tak ada yang ia pangkas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah Eko terasa kuno dan berada di tengah hutan, hening, menenangkan. Terletak di Desa Banjararum, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, rumah Eko berbasis arsitektur lokal lengkap dengan museum mini berisi sabit, cangkul, dan kalender pranata mangsa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia mengumpulkan peralatan pertanian dan pertukangan supaya ingatan kolektif akan desa tidak hilang. Eko prihatin lantaran budaya desa dan agraris makin ditinggalkan. “Museum untuk menghimpun pengetahuan di desa,” kata Eko, Kamis, 2 Juni lalu.
Ada pula limasan yang bisa digunakan untuk mengobrol. Eko membangun rumah seluas 2.000 meter persegi itu delapan tahun lalu. Dia bersama istrinya memutuskan pindah dari rumahnya di Tegalrejo, Kota Yogyakarta, yang ia huni selama 30 tahun, ke Kulon Progo.
Eko mengaku pindah ke desa karena ingin lebih dekat dengan alam dan budaya desa. Ia ingin banyak bertemu dengan orang desa dan mendatangi pasar tradisional terdekat. Ia juga ingin mengalami langsung, mendalami, dan tidak berjarak dengan arsitektur yang memanfaatkan bahan lokal perdesaan.
Eko memindahkan kayu jati, glugu, dan sengon dari Jawa Timur. Ada juga bangunan yang menggunakan atap kampung dari Kokap, Kulon Progo; limasan dari Wonosari, Gunungkidul; serta lumbung dari Bawean, Jawa Timur.
Eko menyebut studionya itu laboratorium desa. Orang bisa belajar, bereksperimen, dan bekerja dengan materi lokal menggunakan teknologi perdesaan. Eko melibatkan tukang dari masyarakat setempat.
Biaya pembangunan rumah sekaligus studio itu ia dapatkan dari uang pensiun dari mengajar di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Yogyakarta. Rektor kampus tersebut kemudian menjadikan rumah Eko kelas alternatif untuk mahasiswa UKDW. Mahasiswa tak sekadar dapat mempelajari materi kuliah, tapi juga bisa berdiskusi dan melihat langsung ruang di desa serta arsitektur yang menggunakan bahan lokal di sana.
Hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari rumah itu, murid arsitek Yusuf Bilyarta Mangunwijaya alias Romo Mangun tersebut juga membangun restoran Pari Klegung dengan arsitektur yang sama. Restoran itu memiliki ruang terbuka dengan pohon dan sungai. Bangunan yang berdiri di lahan seluas 1.950 meter persegi itu lebih banyak menggunakan bahan dari alam, yakni kayu dan bambu.
Studio Yoshi Fajar Kresno Murti di Desa Ngargosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Dok. Yoshi Fajar
Eksperimen dengan alam dan desa juga dilakukan arsitek Yoshi Fajar Kresno Murti melalui studio dan rumahnya. Yoshi juga membangun perpustakaan di perbukitan Menoreh, Kulon Progo.
Perpustakaan berukuran 3 x 8 meter itu menyediakan buku-buku tentang pertanian dan tanaman. Ada tiga ruangan bertingkat di perpustakaan. Ruangan terbawah menjadi taman bacaan anak-anak dan pos ronda tempat berkumpul warga, lantai dua merupakan perpustakaan pertanian, sementara lantai tiga adalah kamar. Adapun rumah utamanya berukuran 4 x 6 meter yang terdiri atas dapur, ruang kerja, tempat tidur, dan perpustakaan.
Yoshi mulai mencari tanah untuk dibangun rumah di Desa Ngargosari, Kecamatan Samigaluh, Kulon Progo, pada 2020. Setahun kemudian, dia mulai membangun rumah panggung berbahan kayu dan bambu yang dikitari rimbunnya pepohonan. Lumut, pakis, pisang, jati, lompong, dan mahoni tumbuh subur di sana. Yoshi sama sekali tak menebang pohon, semua ia biarkan seperti aslinya.
Sebelum pindah ke Kulon Progo, Yoshi punya pengalaman tinggal di sejumlah tempat di Kota Yogyakarta, dari perkampungan padat penduduk di kawasan Kali Code, hunian kelas menengah, hingga perumahan kelas mewah. “Kali ini bereksperimen, mencari tempat yang jadi akar untuk terlibat dalam kehidupan,” ujar Yoshi.
Dia prihatin terhadap maraknya investor yang datang ke Kulon Progo untuk membangun tempat wisata yang merusak alam. Pengelola tempat wisata itu menghancurkan alam sekitar karena menebangi pohon dan memapras tebing. Selain itu, bandar udara di Kulon Progo yang mengandalkan sumber air dari perbukitan Menoreh bisa menimbulkan kerusakan alam.
Seperti Eko Prawoto, keprihatinan itu juga membuat Yoshi ingin lebih dekat dengan penduduk setempat dan merasakan dampak yang mereka alami. “Kami mau bergerak dari sini karena ini rumah dan tanah yang harus dijaga,” tutur Yoshi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo