Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pelukis Nasirun menyimpan ribuan karya seni kenamaan di galeri mewahnya.
Pelukis I Nyoman Masriadi membuat sebuah lukisan selama masa pandemi dengan tulisan “kamu gak kerja”.
Sindhunata membangun Omah Petroek dari berbagai sumbangan material bangunan, patung, candi, dan interior.
RATUSAN lukisan dan karya instalasi berukuran besar memadati Nasirun Studio di Perum Bayeman Permai, Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa di antaranya berupa citraan wayang kulit dan kaligrafi. Karya-karya beraliran realisme magis kaya warna tersebut nyaris tak menyisakan area kosong pada dinding dan ruang bangunan bergaya modern tropis itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Studio itu adalah satu dari tiga blok bangunan yang berdiri di lahan seluas 2.000 meter persegi di kawasan tersebut. Satu bangunan lain adalah galeri ribuan koleksi karya pelukis kenamaan, seperti Sudjojono, Hendra Gunawan, Sudibyo, Affandi, dan Fadjar Sidik. Keduanya terhubung langsung dengan tempat tinggal pribadi pemiliknya, seniman kelahiran Adipala, Cilacap, Jawa Tengah, Nasirun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelukis yang sempat menyandang gelar “seniman gorengan” ini mengumpulkan karya seni seperti lukisan, sketsa, notes, dan surat sejak 1985. Pada awalnya, dia membeli semua koleksi tersebut dari uang hasil berjualan batik.
Studio seni dan rumah perupa Nasirun di Perumahan Bayeman, Jalan Wates, Ngestiharjo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, 27 Mei 2022. TEMPO/Shinta Maharani
Toh, dia membantah jika koleksinya itu disebut sarana investasi untuk dijual dengan harga lebih tinggi di kemudian hari. Nasirun saat ini telah menyimpan dan merawat lebih dari seribu karya seni yang bisa dinikmati secara terbuka oleh pelajar, mahasiswa, seniman, kolektor, dan teman-temannya dari dalam dan luar negeri. “Untuk mengenang para pejuang kebudayaan,” kata Nasirun kepada Tempo, Jumat, 27 Mei lalu.
Dia pun mengklaim tak pernah membayangkan akan menjadi seniman yang memiliki kekayaan besar. Pria kelahiran 1 Oktober 1965 ini anak nomor enam dari tujuh bersaudara. Ayahnya meninggal saat ia kecil. Ibunya hanya buruh tani di Cilacap. Pada 1983, saat meninggalkan rumah, ia membawa daun pintu rumahnya untuk dijual bekal ongkos ke Yogyakarta. Nasirun pernah menjadi buruh tani terung ungu dan daun cincau untuk membiayai hidup dan pendidikannya di Sekolah Seni Republik Indonesia, Yogyakarta. Selama periode itu, dia tinggal dan tidur di musala.
Sebelum memiliki rumah dan galeri mewah, Nasirun menghabiskan masa awal hidup bersama istri dan anaknya di sebuah rumah berukuran 50 meter persegi. Lokasi tempat tinggalnya tersebut berdekatan dengan sebuah kompleks permakaman.
Halaman parkir Omah Petroek, Hargobinangun, Sleman, 30 Mei 2022. TEMPO/Pito Agustin
Karier Nasirun moncer sejak karya lukisnya menarik minat banyak kolektor pada 1997. Dia pun mendapatkan tanah dan rumah mewahnya dengan menjual karya seni. Pemilik rumah sebelumnya—seorang pengusaha—sepakat menukar asetnya tersebut dengan enam lukisan Nasirun yang bertema wayang pada 2000.
Perupa kontemporer lain yang memiliki properti mewah adalah I Nyoman Masriadi. Seniman asal Gianyar, Bali, itu memiliki tempat tinggal di lahan seluas 1 hektare di Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Rumah dengan pagar pembatas tinggi dan petugas keamanan itu memiliki sejumlah fasilitas, seperti kolam renang, joglo, lapangan tenis, dan pura. Taman dan halaman berumput yang tertata rapi pun menjadi habitat kelinci peliharaannya. “Rumah ini dibangun secara bertahap sejak 2007,” ucap Masriadi.
Sebelumnya, dia dan istrinya harus mengontrak dan berpindah-pindah rumah. Mereka kemudian membeli sebuah bangunan di lahan seluas 1.500 meter persegi dengan harga Rp 300 juta. Seiring dengan larisnya karya lukisnya, mereka mulai menambah luas lahan dan membangun hunian tersebut.
Bangunan Langgar Tombo Ati di Omah Petroek, Hargobinangun, Sleman, 30 Mei 2022. TEMPO/Pito Agustin
Lukisan Masriadi memang merajai pasar di sejumlah balai lelang karya seni. Salah satunya lukisan berjudul The Man from Bantul yang laku Rp 10 miliar di Hong Kong pada 2008. Nilai nominal yang sama diberikan pada karyanya yang berjudul Fatman di Shanghai, Cina, pada 2013. Di dalam negeri, lukisannya yang bertajuk Shangri-La laku hingga Rp 4,5 miliar di ArtJog 2015 di Yogyakarta.
Seperti Nasirun, Masriadi mengatakan tidak pernah mengira akan memiliki kekayaan melimpah dari karya lukisnya. Dia merasa hanya menjalankan kegemarannya menggambar sejak kecil. Seniman ini pun memiliki gaya lukis yang jauh dari pakem perupa asal Bali. Dia lebih banyak mengeksplorasi kehidupan masyarakat urban melalui sindiran atau parodi. Beberapa di antaranya bahkan terinspirasi komik dan video game.
Hal ini juga yang membuat pelukis soliter tersebut lebih banyak menghabiskan waktu bermain game selama masa pandemi Covid-19. Masriadi mengaku tidak memiliki banyak semangat dalam dua tahun terakhir. Satu karya terbaru yang terlihat di studio seninya adalah lukisan yang menggambarkan seorang laki-laki berwajah hitam menggunakan headset sedang serius bermain game pada gawainya. Pada bagian latar, terdapat tulisan ‘kamu gak kerja’. “Saya enggak takut, enggak peduli, dan lebih ngawur,” ujar Masriadi.
Candi dari batu sungai di Omah Petroek, Hargobinangun, Sleman, 30 Mei 2022. TEMPO/Pito Agustin
Masriadi mengirim dua anaknya kuliah di Singapura. Satu anaknya kuliah di jurusan manajemen dan satu lainnya mengambil jurusan seni rupa. Anak perempuan bungsunya—berumur sekitar lima tahun—menggemari game seperti ayahnya.
Perupa moncer lain yang karyanya laku dengan harga mahal adalah Jumaldi Alfi. Anggota Perupa Jendela ini menjual lukisannya yang berjudul Night Walker Series di kanvas berukuran 4 x 6 meter dengan harga hampir Rp 1 miliar kepada seorang kolektor asal Sydney, Australia, pada 2015.
Hasil penjualan karya lukis ini kemudian menjadi modal pembangunan bertahap dua galeri megahnya yang bernama SaRanG Building I dan II di Kasihan, Bantul. Nama studio dan galeri ini terinspirasi fungsi sarang burung sebagai tempat proses bertelur, mengerami, dan berkembangnya piyik. “Sama halnya dengan seni, sebagai tempat inkubasi dan tukar ide antarseniman,” tutur perupa asal Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, itu.
Pendiri dan pemilik Galeri Sangkring Art Space, Putu Sutawijaya. TEMPO/Pito Agustin
Bangunan SaRanG Building I adalah studio seni berukuran 7 x 11 meter. Sebelumnya, bangunan ini adalah tempat sejumlah pekerja membuat batu bata. Lokasinya berdekatan dengan kawasan permakaman yang beberapa lubangnya dipenuhi sampah. Alfi mengaku membeli tanah dan bangunan tersebut senilai Rp 140 ribu per meter persegi pada 2007.
Setelah menjual beberapa karya lukis, Alfi berhasil membangun sebuah galeri seni dengan dinding batu bata dan kaca di lahan seluas 2.000 meter persegi pada 2011. Dia menyewa seorang arsitek asal Malaysia. Selain menggelar pameran seni, galeri SaRanG II menjadi tempat workshop dan residensi seniman dari luar negeri.
Galeri yang dibangun dengan biaya lebih dari Rp 10 miliar itu juga menjadi lokasi Jendela Institute, ruang pameran, dan homeschooling. “Semua dari hasil jual lukisan. Pembangunannya bertahap,” kata Alfi.
Tak jauh dari SaRanG Building, perupa Putu Sutawijaya juga berhasil membangun studio dan galeri megah Sangkring Art II di lahan seluas 2.500 meter persegi pada 2008-2009. Bangunan bergaya modern ini memiliki tiga blok atau ruang pamer yang masing-masing terdiri atas dua lantai. Putu menyebutkan membiayai pembangunan galeri berstandar internasional itu dari penjualan karya lukisnya.
Ruang pamer 3, Bale Banjar, di Sangkring Art Space, Nitiprayan, Bantul, Yogyakarta, 31 Mei 2022. TEMPO/Pito Agustin
Ruang pamer pertama diberi nama Sangkring Art Space yang menjadi tempat pameran koleksi karya para seniman. Pameran karya seni di sana menggunakan sistem konsinyasi dengan kurun waktu tiga bulan. Hal ini memungkinkan masyarakat dan kolektor tetap bisa menikmati karya seni meski tak ada acara yang tengah berlangsung. Meski begitu, semua karya tersebut tetap melalui proses kuratorial dari in-house curator Sangkring Art. “Sebelum masa pandemi kami bisa 18 kali menggelar pameran dalam setahun,” ucap Putu.
Ruang pamer kedua adalah Sangkring Art Project yang menjadi tempat menggelar berbagai kegiatan yang dirancang manajemen. Beberapa di antaranya Yogya Annual Art dan Biennale. Menurut Putu, ruang pamer ini kerap menjadi sarana bagi seniman-seniman muda, terpinggirkan, atau yang telah meninggal yang tak masuk radar penyelenggara acara seni besar.
Ruang pamer ketiga adalah Bale Banjar. Penamaan ini mengadaptasi istilah dalam budaya Bali yang merujuk pada ruang publik. Bale Banjar menjadi tempat para perupa dari berbagai aliran dan latar belakang menggelar pameran bersama. Sangkring Art II pun memiliki sejumlah ruang terbuka, ruang interaksi, perpustakaan, dan kafe. “Galeri menjadi ruang pameran seni sekaligus ruang publik,” ujarnya.
Sebelumnya, Putu membangun Sangkring Art I, yang awalnya berfungsi sebagai galeri seni dan tempat tinggal, selama 2004-2007. Putu harus mencicil pembayaran tanah dan pembelian material bangunan. Dia bahkan membeli langsung semua bata merah material bangunan dari perajin lokal. Dia juga mengawasi langsung semua pekerjaan tukang karena belum mampu menyewa jasa arsitek ataupun kontraktor. “Melukis sambil mengawasi tukang,” tutur Putu.
Ruang pamer 1 di Sangkring Art Space, Nitiprayan, Bantul, Yogyakarta, 31 Mei 2022. TEMPO/Pito Agustin
Setelah bangunan berdiri, Putu justru mendapat protes karena Sangkring Art I yang menyatu dengan tempat tinggal keluarga kerap mendapat kunjungan tamu hingga malam hari. Hal ini yang kemudian membuat dia merintis pembangunan Sangkring Art II. Sedangkan galeri pertamanya menjadi studio seni bernama Putu Sutawijaya Studio.
Omah Petroek milik Yayasan Basis pun masuk daftar studio dan galeri seni mewah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Meski bukan milik perorangan, rumah budaya yang berada 10 kilometer dari Gunung Merapi ini terbentang seluas hampir 2 hektare. Kawasan ini juga menjadi tempat tinggal dan berkarya sastrawan Gabriel Possenti Sindhunata.
Awalnya, Sindhunata hanya memiliki lahan sekitar 7.000 meter persegi yang digunakan sebagai tempat menyepi dan mencari inspirasi dalam menulis. Dia kemudian secara perlahan membeli lahan di sekitar lokasi tersebut dari warga setempat dengan harga Rp 23-150 juta. Dalam pembangunan, dia mengaku sengaja menjaga kelestarian kebun dan hutan, antara lain dengan meminimalkan penebangan pohon.
Lantai bawah di Sangkring Art Space, Nitiprayan, Bantul, Yogyakarta, 31 Mei 2022. TEMPO/Pito Agustin
Secara bertahap luas lahan Omah Petroek bertambah. Demikian pula bangunannya. Saat ini kawasan tersebut memiliki enam kelompok bangunan yang dibedakan berdasarkan fungsinya. Kelompok bangunan pertama adalah Pondok Penulis yang kerap digunakan dosen atau mahasiswa untuk menyelesaikan karya tulis.
Kelompok kedua adalah tempat ibadah dari lima agama dan kepercayaan. Meski berukuran kecil, tempat ibadah di tepi Kali Boyong ini menyajikan suasana khusyuk dan magis. Salah satu yang cukup terkenal adalah langgar Tombo Ati. Pada bagian depan terdapat patung Abdurrahman Wahid alias Gus Dur tengah duduk mengenakan peci dan sarung. Bangunan dari kayu ini menyimpan sajadah Presiden Indonesia keempat tersebut dari istrinya, Sinta Nuriyah.
Kategori bangunan ketiga adalah Komplek Kapujanggan yang terdiri atas Ruang Basis dan Ruang Insulinde. Ruang Basis menyajikan perjalanan majalah Basis sejak terbit pertama kali pada 1951. Sedangkan Ruang Insulinde berisi perihal keberpihakan majalah Basis terhadap rakyat jelata sebagai anak Bajang yang diwakili atribut becak.
Pendiri Rumah Budaya Omah Petroek, Gabriel Possenti Sindhunata. TEMPO/Pito Agustin
Keempat, Bangunan Literasi yang berisi buku kumpulan karya jurnalistik Sindhunata. Di antaranya Cikar Bobrok, Kasan Wikrama Tunut, Mimi Dewi, dan Dari Pulau Buru ke Venezia—kisah sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Dia juga membangun Omah Yakopan yang didedikasikan bagi pendiri koran Kompas, Jakob Oetama. Di area ini, dia membangun patung dan sumur yang diberi nama sesuai dengan tokoh jurnalistik yang meninggal pada 9 September 2020 itu.
Studio seni milik perupa Jumaldi Alfi di Perumahan Bayeman, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, 1 Juni 2022. TEMPO/Shinta Maharani
Kompleks bangunan kelima adalah rumah panggung yang menjadi tempat penginapan para seniman dan masyarakat umum. Penginapan ini juga memiliki fasilitas kolam renang dan sendang. Biayanya dipatok Rp 150-250 ribu per orang per malam. Keenam, Kafe Kopi Petroek Nusantara yang menjual beragam kopi single origin, makanan, dan camilan dengan harga mulai Rp 10 ribu.
Sindhunata mengatakan beberapa bangunan, patung, candi, dan interior di kompleks itu berasal dari sumbangan para kolega. Hal ini membuat Omah Petroek tak memiliki konsep desain kawasan atau bangunan yang jelas. Beberapa material juga bisa dipindahkan sesuai dengan prinsip kecocokan semata.
Studio seni dan rumah milik perupa I Nyoman Masriadi di Jalan Umbul Kulon No M5 Sinduharjo, Ngaglik, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, 27 Mei 2022. TEMPO/Shinta Maharani
Menurut dia, saat ini Omah Petroek lebih dikenal sebagai tempat budaya dan seni. Beberapa kali sejumlah seniman menggelar pameran dan pentas di sana, seperti pelukis Nasirun dan penari Bambang Paningron. Tempat ini juga masih menjadi rujukan lokasi pelatihan jurnalistik dan penulisan serta bedah buku.
SHINTA MAHARANI, PITO AGUSTIN RUDIANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo