Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Buku Nikki Usher yang menyoal lokasi dalam pemberitaan.
Buku ini menunjukkan banyak media di Amerika terpengaruh bias kelas.
Banyak juga media yang bias dalam melihat lokasi tertentu dalam pemberitaannya.
MASIH ingat kematian wartawan Al Jazeera asal Palestina, Shireen Abu Akleh, Mei lalu? Koran The New York Times awalnya menyebut jurnalis 51 tahun itu tewas karena berada di tengah pertempuran pasukan Israel dan Palestina. Belakangan, New York Times meralat berita itu dan menyebut Palestina menuding tentara Israel berada di balik penembakan jurnalis tersebut. Berita New York Times yang bias terhadap Palestina adalah suatu bukti tesis yang ditunjukkan Nikki Usher dalam buku terakhirnya ini, bahwa banyak media di Amerika Serikat terpengaruh bias kelas dan bersikap bias dalam melihat lokasi tertentu pada pemberitaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nikki Usher menilik kondisi pers di Amerika Serikat dengan cara yang berbeda. Ia berfokus pada bagaimana masalah “di mana” (where) menjadi suatu hal yang penting untuk dianalisis, dan ia melihat pergeseran dalam pemberitaan pers di Amerika yang menjadi makin elitis (Rich dan White), menyingkirkan bagaimana agenda dilihat oleh kelas menengah dan bawah (Blue), terfokus kepada mereka yang memiliki kekuasaan, dan perlahan-lahan makin renggang dengan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku ini adalah buku ketiga Usher setelah ia menulis Making News at The New York Times (2014) dan Interactive Journalism: Hackers, Data, and Code (2018). Buku ini baru saja mendapat dua penghargaan bergengsi dari pertemuan para ahli komunikasi sedunia, International Communication Association, akhir Mei lalu, di Prancis. Bukunya juga diberi penghargaan sebagai buku terbaik dalam kategori Journalism Studies Division Book Award. Sebelumnya, The International Journal of Press/ Politics dari Harvard University, Amerika Serikat, juga mengganjar buku ini dengan Hazel Gaudet-Erskine Best Book Award.
Ihwal lokasi (place) dalam pemberitaan menjadi penting ketika dikaitkan dengan masalah kekuasaan dan ketidakadilan di Amerika. Usher bernubuat, ketidakadilan secara geospasial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di Amerika juga merasuk ke dalam jurnalisme dan mengakibatkan banyak anggota masyarakat merasa jurnalisme tercerabut dari kehidupan mereka. Itu juga berarti jurnalisme meredup perlahan-lahan. Jurnalisme yang baik akan memberi lebih banyak kesempatan kepada masyarakat dari komunitas yang beragam, yang berasal dari kota-kota pinggiran, untuk tetap masuk pemberitaan.
Usher mengkritik praktik jurnalistik yang terlalu mendekatkan diri kepada para elite (ekonomi ataupun politik) sehingga menghilangkan ketajaman para jurnalis dalam mengendus berita dari kalangan nonelite. Kejadian seperti ini menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada media, karena media terlalu berpihak kepada mereka yang kaya, berkuasa, serta tersohor, dan di sini jurnalisme sudah gagal memotret apa yang terjadi dalam masyarakat.
Pengajar di University of Illinois ini mencatat, setelah hasil pemilihan umum 2016 di Amerika Serikat diumumkan, Direktur Eksekutif The New York Times Dean Baquet meminta maaf kepada para jurnalisnya lantaran jurnalisme New York Times gagal menangkap sentimen masyarakat yang berpihak kepada kandidat Republikan, Donald Trump. Sesudahnya kita semua tahu bahwa Trump adalah presiden terburuk dalam sejarah Amerika, dan koran yang berusia lebih dari 150 tahun ini pun menjadi oposisi setia Trump. Dalam banyak kesempatan, Trump menuduh New York Times sebagai penyebar hoaks.
Usher mengajak pers di Amerika menoleh pada kehidupan masyarakat biasa dengan segala aspirasi mereka. Ia mencontohkan dua peristiwa yang terdengar seperti ironi. Ketika koran Miami Herald memindahkan kantornya dari luar kota ke gedung perkantoran dekat Miami International Airport, para jurnalisnya sempat khawatir, jika tim basket Miami Heat menang dalam kejuaraan basket nasional, mereka tak lagi sempat menjadikan berita itu sebagai headline ataupun menyusulkan lembaran tambahan untuk mengabarkan kemenangan tersebut. Tapi nyatanya Miami Herald tetap bisa menyisipkan berita tambahan tentang kemenangan itu pada koran keesokan harinya, padahal pertandingan baru berakhir seusai tenggat normal. Masyarakat Miami pun bergembira.
Hal yang sebaliknya terjadi pada koran The Tennessean di Nashville yang tak mengeluarkan tambahan berita untuk menyambut kemenangan Vanderbilt University dalam pertandingan basket tingkat kampus sedunia. Koran The Tennessean juga tak memuat berita apa pun tentang kemenangan itu karena tenggat koran tersebut adalah pukul 19.00, sementara pertandingan baru selesai pada pukul 21.15. Berita kemenangan tersebut baru termuat dalam terbitan lusa atau 36 jam setelah pertandingan berakhir, dan itu sama dengan tak ada berita penting yang menyambut kemenangan bagi warga setempat.
Basket untuk banyak orang di Amerika Serikat adalah simbol budaya. Jurnalisme juga adalah simbol budaya, dan di sinilah arti penting suatu lokasi dalam konteks pembicaraan kekuasaan dan kebudayaan. Usher di sini mengembangkan konsep geografi yang telah dikemukakan oleh David Harvey dan Henri Lefebvre. Konsep tersebut dipergunakan dalam konteks jurnalisme di Amerika. Dalam pandangan Harvey dan Lefebvre, tempat atau lokasi (place) adalah lokasi material, sebentuk titik di peta, suatu tempat yang ditinggali manusia, suatu setting atau konteks untuk relasi sosial yang ada, dan untuk itu tempat pun menjadi simbolis, dibayangkan, dan juga dikonstruksikan.
Dalam konteks Indonesia, kita bisa mengilustrasikannya begini: dengan berkembangnya media online, Internet, dan teknologi komunikasi, semua wilayah di Indonesia menjadi terkoneksi. Banyak media online juga muncul di luar Jakarta. Tapi jika kemudian masyarakat dari berbagai wilayah itu mengkonsumsi berita online dari Jakarta untuk membaca kabar tentang perkembangan di kotanya, hal ini menjadi problematis, karena lalu mengabaikan perkembangan dan konteks yang diberikan oleh media online di daerah tersebut. Atau, contoh lain, media-media di luar Jakarta justru memenuhi situs berita mereka dengan kabar dari Jakarta alih-alih tentang daerah sendiri.
Menutup buku ini, Nikki Usher menawarkan sejumlah usul alternatif agar perkembangan jurnalisme tetap terjaga: menerima kondisi menghilangnya surat kabar dan munculnya media jurnalisme yang lain; memfokuskan tujuan jurnalisme pada hal yang paling pokok dan menyilakan media komunitas mengisi tujuan lain; jurnalisme berfokus pada peristiwa yang autentik, mengandung keberagaman, dan keterbukaan (inclusivity); ketika ada media yang partisan, hal ini harus dilihat sebagai suatu fenomena, bukan keburukan, terutama jika ia menawarkan pandangan alternatif; serta memahami pandangan audiens bahwa mereka akan memilih konten jurnalistik sejauh relevan dan memenuhi kebutuhan mereka yang spesifik secara geografis.
Buku Nikki Usher ini mengingatkan kita bahwa lokasi menjadi salah satu problem krusial untuk melihat keberimbangan dalam pemberitaan. Di Indonesia kita pun bisa melihat arus informasi tak seimbang (asymmetrical information) terjadi antara Jakarta dan luar Jakarta, atau Jawa dan luar Jawa. Belakangan ini muncul istilah “hyperlocalism” yang merujuk pada pemberitaan yang berfokus pada suatu wilayah tertentu dengan segala dinamikanya. Konsep ini bisa dikembangkan untuk mengatasi asymmetrical information tersebut dan dapat menghasilkan media lokal yang lebih kontekstual untuk pembacanya di lokasi masing-masing.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo