SUDAH lewat empat tahun dan saya tetap di sini. Rasanya bagai sebuah kemenangan sekaligus kekalahan. Mengapa kemenangan? Ketika pada 14 Februari 1989 saya mendengar kabar dari Teheran, pikir saya, mampuslah aku. Polisi mendatangi saya dan katanya, ''Jangan pergi kemana pun, rencana tengah dibuat.'' Perwira polisi mengawasi saya malam itu dalam patrolinya. Saya berbaring, tapi tak bisa tidur, dan saya mendengar suara malaikat kematian. Salah satu film kesukaan saya dari dulu sampai sekarang ialah Exterminating Angel, tentang orang-orang yang tidak bisa keluar dari sebuah ruangan. Keesokan siangnya, ketika televisi meneriakkan kebencian dan pertumpahan darah, saya ditawari perlindungan Agen Khusus. Petugas keamanan yang datang mengatakan bahwa saya harus pergi ke suatu tempat untuk beberapa hari, sementara para politisi akan menyelesaikan masalahnya. Empat tahun yang lalu kita semua berpikir bahwa krisis ini bisa diselesaikan dalam beberapa hari. Benar-benar gila, pada akhir abad ke-20 ada seorang laki-laki yang diancam dengan hukuman mati hanya karena menulis sebuah buku. Begitu jauh kami pergi, bukan ke salah satu rumah aman yang sangat rahasia, tapi ke sebuah hotel di pinggiran kota. Di sebelah kamar saya, seorang reporter Daily Mirror kebetulan menginap dengan seorang cewek yang bukan istrinya. Saya menghindar dari dia. Dan malam itu, ketika semua wartawan mencari-cari di mana saya, wartawan di kamar sebelah kehilangan sumber eksklusifnya. Saya pikir, saya harus bersembunyi hanya dalam beberapa hari. Kini, empat tahun kemudian, saya masih harus tetap bersembunyi. Belum ada kemajuan. Dan saya diberi tahu bahwa segala ancaman terhadap hidup saya belum habis sama sekali. Saya diberi tahu, belum pernah seorang pun yang dilindungi Agen Khusus berada dalam posisi yang lebih berbahaya daripada saya. Tapi saya masih hidup ini sebuah kemenangan. Dulu seorang ''teman'' menggambarkan saya sebagai orang mampus yang bernyawa. Namun ini juga kekalahan, karena saya tetap berada di dalam penjara ini. ''Bukan dinding-dinding batu yang berlaku sebagai sebuah penjara, bukan pula jeruji-jeruji besi.'' Penjara ini mengikuti saya ke mana pun saya melangkah. Tak ada dinding, tak beratap, tanpa belenggu, namun saya tak menemukan satu pun jalan keluar dalam empat tahun ini. Ketika menjadi lebih jelas bahwa penyelesaian masalah ini akan jauh lebih lama daripada yang kami perkirakan, saya menyelam lebih dalam ke dasar dunia yang kini saya diami, yang bisa terus dimanfaatkan sepanjang tetap dirahasiakan tempatnya. Saya berada di bawah tekanan politik. Saya pikir, pada umumnya orang tak tahu bagaimana beratnya tekanan ini. Kisah seorang sandera berkebangsaan Inggris dilibatkan. Saya diminta membuat semacam permintaan maaf, atau sesuatu akan terjadi pada si sandera itu, dan itu karena saya. Pernyataan yang saya setujui bukan dari saya, tapi ditulis oleh mendiang John Lyttle, orang dari keuskupan Canterbury yang mengurusi kasus penyanderaan itu, dan oleh beberapa orang yang pantas dan ternama lainnya. Saya mengubah dua kata, dan untuk itu saya harus berdebat agak keras. Itu tak baik buat siapa pun. Tapi itu saya lakukan untuk menolong para sandera kegagalannya digambarkan sebagai kegagalan pertama saya untuk menyelamatkan leher sialku ini. Khomeini mengulang kembali fatwanya. Hadiah jutaan dolar ditawarkan. Kini ada tekanan resmi terhadapku untuk menghilang. Alasannya, saya telah cukup membuat masalah. Kata mereka, saya tak seharusnya lantang berbicara tentang kasus itu, saya tak seharusnya mempertahankan diri sendiri. Cukup banyak masalah menyangkut ketertiban umum. Dan karena penguasa telah melakukan banyak hal untuk melindungi saya, saya seharusnya tak membuat mereka menghadapi lebih banyak kesulitan. Pergilah entah ke mana, jangan temui seorang pun, jangan bicara apa pun. Jadilah orang kebanyakan, dan berterima kasihlah karena masih tetap hidup. Dengar saja fitnahan-fitnahan itu, kesalahtafsiran itu, pidato-pidato yang keji, dan tutup mulut. ''Bukan dinding-dinding batu yang berlaku sebagai penjara ....'' Hampir satu setengah tahun saya tak punya kontak dengan salah satu anggota pemerintah Inggris atau satu pun pegawai negeri, baik di departemen dalam negeri maupun luar negeri. Saya orang telantar. Saya diberi tahu bahwa departemen dalam negeri menjatuhkan veto setiap pertemuan dengan saya, karena pertemuan itu akan mengakibatkan hubungan antar-ras menjadi buruk. Pada akhirnya saya menelepon William Waldegrave -- ketika itu menteri luar negeri -- dan menanyakan apakah bukan suatu ide yang baik bila kami bertemu. Ia tidak bersedia -- tidak diizinkan, saya kira -- untuk menemui saya. Tapi akhirnya saya bertemu dengan seorang diplomat dari departemen luar negeri dan, dalam suatu kesempatan, dengan Menteri Luar Negeri Douglas Hurd sendiri. Pertemuan itu dilakukan dengan sangat rahasia ''agar para sandera tidak menderita''. Secara kebetulan saya tak mencoba mempersoalkan, benarkah Teheran atau penyandera di Libanon menghubungkan kedua kasus ini. Tapi mungkin saya keliru tentang hal ini. Jika saya mengungkapkan rincian ini sekarang, itu karena sekarang aman untuk melakukannya. Sampai hari ketika Terry Waite, sandera berkebangsaan Inggris, itu dibebaskan, saya sebenarnya sandera dari para sandera itu. Saya setuju, kasus-kasus mereka harus dipecahkan dulu. Lebih jauh lagi, saya menerima hak-hak saya dikesampingkan untuk kepentingan mereka. Saya berharap, begitu mereka bebas, selanjutnya giliran saya. Saya berharap, pemerintah Inggris dan masyarakat dunia pun akan mencari penyelesaian krisis ini. Saya telah menunggu demikian lama, dan banyak hal-hal ganjil kualami. Sebuah film Pakistan menggambarkan saya bagai seorang penganiaya, pembunuh, dan pemabuk, yang mengenakan bermacam pakaian safari warna menor. Film ini ditolak masuk ke Inggris. Saya sempat menonton film videonya -- sangat menyedihkan. Cerita berakhir dengan ''pembantaian''-ku oleh kekuatan Tuhan. Keburukan citra itu merasuk dalam diriku beberapa saat. Saya menulis ke Dewan Klasifikasi Film Inggris. Kukatakan, saya berjanji tidak akan memperkarakan mereka atau film itu dan meminta mereka untuk meloloskan film itu. Saya mengatakan kepada mereka, saya tidak ingin perlindungan sensor yang meragukan. Film itu tidak dilarang, namun segera hilang dari peredaran. Ketika film itu diputar di Bradford, kursi-kursi kosong. Itu adalah contoh sempurna tentang hak kebebasan berbicara: orang-orang boleh mengambil keputusan sendiri. Tapi tetap saja aneh rasanya melihat beredarnya film yang topiknya tentang kematianku. Kadang-kadang saya tinggal di rumah yang menyenangkan. Pada saat yang lain, permukimanku tak lebih dari ruang sempit -- saya tak bisa meraih jendela agar terlihat dari luar. Beberapa kali saya bisa menyelinap ke luar, sebentar. Di lain kesempatan, ulahku itu menjadi masalah. Saya pernah mencoba mengunjungi Amerika Serikat dan Perancis, tapi pemerintah kedua negeri itu membuatku tak mungkin berkunjung. Suatu kali saya pergi ke rumah sakit untuk mencabut geraham bungsuku. Cara polisi mengatur ''acara'' darurat ini menakjubkan. Aku dibius total dan dikeluarkan dari tempat persembunyian dalam kantong mayat dengan mobil jenazah. Lama-kelamaan saya bersahabat dengan tim pengawalku dan belajar banyak tentang kerja intern Agen Khusus itu. Saya belajar bagaimana mengetahui bahwa kamu sedang dikuntit. Saya menjadi terbiasa pada perabotan pengamanan di sekitar saya, dan saya belajar istilah-istilah prokem dalam kepolisian. Yang bertugas sebagai sopir, misalnya, disebut sebagai OFDs, sopir kurang kerjaan. Polisi yang bertugas berkeliling dengan sepeda motor disebut tikus-tikus hitam. Dan mereka tak pernah menyebut nama asliku. Saya belajar menjawab dengan nama lain. Saya seorang ''kepala sekolah''. Saya menjadi akrab dengan hal-hal aneh selama empat tahun ini, tapi tak pernah terbiasa dengan hal-hal itu. Sejak awal saya tahu bahwa terbiasa dengan itu artinya menyerah. Apa yang kualami adalah suatu hal yang luar biasa. Ini suatu kejahatan. Saya tak akan pernah setuju bahwa itu akan menjadi hidupku sehari-hari. Saya menerima surat-surat, dan kadang-kadang saya menerima surat yang menganjurkan agar saya menyerah, mengubah nama, melakukan operasi plastik, atau memulai suatu kehidupan baru. Itu satu-satunya cara menyelamatkan diri yang tak pernah kupertimbangkan. Itu terasa lebih buruk daripada kematian. Saya tak ingin menjadi orang lain. Aku mau menjadi diriku sendiri. Petugas-petugas yang melindungiku telah memperlihatkan pengertian mereka yang besar dan membantuku melewati masa-masa sulit. Saya akan selalu berterima kasih kepada mereka. Mereka adalah orang yang berani. Mereka mempertaruhkan hidup untukku. Tak pernah seorang pun melakukan hal itu untukku sebelumnya. Ini adalah soal yang perlu diceritakan. Saya menduga, karena saya belum dibunuh, banyak orang berpikir bahwa tak seorang pun mencoba membunuh saya. Barangkali akan dikatakan ini agak teoretis. Tapi sebetulnya tidak. Pada awal bulan-bulan pertama, seorang teroris Arab meledakkan dirinya sendiri di Hotel Paddington. Setelah kejadian itu, saya diberi tahu oleh seorang wartawan yang telah mengunjungi benteng pejuang Hisbullah di lembah Beka'a di Libanon. Di sana ia melihat foto lelaki yang tewas di hotel itu di sebuah ''dinding para martir'', dengan tulisan di bawahnya yang menyatakan bahwa targetnya adalah saya. Pada waktu Perang Teluk, saya mendengar pemerintah Iran mengeluarkan uang untuk suatu kontrak pembunuhan. Beberapa bulan setelah peringatan keras itu, saya diberi tahu bahwa para pembunuh bayaran itu merasa ''frustrasi''. Saya pikir, yang paling baik adalah tidak menyelidiki sebab-sebab frustrasi mereka. Pada tahun 1992 tiga orang Iran dipaksa keluar dari Inggris. Dua di antara mereka bekerja dalam misi Iran di London yang ketiga seorang ''pelajar''. Saya diberi tahu oleh departemen luar negeri bahwa ketiganya adalah mata-mata dan tak diragukan lagi mereka masuk Inggris sehubungan dengan fatwa. Penerjemah novel saya, Ayat-Ayat Setan, ke dalam bahasa Italia nyaris dibunuh. Dan penerjemah berbangsa Jepang tewas. Tahun lalu polisi Jepang mengumumkan hasil penyelidikannya selama 12 bulan. Mereka berpendapat, pembunuh penerjemah itu adalah teroris-teroris Timur Tengah profesional yang masuk dari Cina. Sementara itu, regu penembak tepat Iran membunuh bekas perdana menteri Iran, Shapour Bakhtiar, di Paris. Mereka memancung lehernya. Regu lainnya membunuh seorang penyanyi pembangkang Iran di Jerman. Mereka mencincangnya dan menyimpan potongan- potongan tubuhnya dalam sebuah tas. Tidak ada yang terlalu teoretis tentang hal itu. Inggris adalah sebuah negara kecil yang penuh orang, dan kebanyakan dari mereka adalah orang yang sangat ingin tahu. Ini bukan sebuah negeri yang mudah untuk dijadikan tempat bersembunyi. Suatu ketika saya berada di sebuah gedung. Ketika saya akan meninggalkan gedung itu, kebetulan tukang pipa yang dipanggil untuk membetulkan kebocoran pipa pemanas di lobi datang. Seorang petugas polisi mengalihkan perhatian tukang pipa itu agar saya dapat menyelinap di depannya sementara kepalanya menoleh ke arah lain. Nyaris. Suatu ketika saya berada di satu dapur, ketika seorang tetangga tak disangka-sangka muncul. Saya berjongkok di balik lemari dapur dan tetap di sana, meringkuk, sampai ia pergi. Nyaris. Lain waktu saya terjebak dalam kemacetan lalu lintas di muka Mesjid Regent Park, persis ketika orang-orang baru bubar salat Idul Fitri. Saya tenggelam di bangku belakang Jaguar lapis baja dengan hidung menempel ke koran Daily Telegraph. Para pengawalku bergurau. Katanya, inilah pertama kalinya ia melihat saya begitu tertarik pada The Telegraph. Hidup seperti ini adalah hidup untuk merasakan kehilangan arti setiap harinya, untuk merasakan benang-benang penghinaan tertenun di sekitar hatimu. Hidup seperti ini adalah membiarkan orang-orang, termasuk istrimu sendiri, menyebutmu sebagai seorang pengecut di halaman depan koran-koran. Orang-orang seperti itu, tak diragukan lagi, siap berbicara yang baik-baik tentang saya di pemakamanku. Tapi untuk tetap hidup, untuk mengindari pembunuhan, adalah kemenangan yang lebih besar daripada siap untuk mati. Saya berusia 45 tahun dan saya tidak bisa meninggalkan tempat tinggalku tanpa izin. Saya tidak membawa kunci pintu depan. Kadang-kadang ada ''saat-saat buruk''. Selama satu ''saat buruk'' -- saya tak dapat menjelaskan seperti apa itu -- saya tidur di 13 tempat tidur berlainan dalam 20 malam. Pada saat- saat seperti itu, sebuah suara gemerincing yang liar dan dahsyat mengisi tubuhmu. Pada saat-saat seperti itu kamu mulai lepas dari dirimu sendiri. Saya telah belajar membiarkan segala sesuatu lewat. Biarkan amarah berlalu, juga kepahitan. Itu akan datang lagi, saya tahu, pada saat segalanya membaik. Saya akan menghadapinya, kemudian. Sampai kini kemenanganku bergantung pada ketiadaan rasa binasa, pada ketiadaan rasa hilang diri. Itu bergantung pada kelanjutan kerja. Tidak ada sandera lagi. Untuk pertama kali selama bertahun-tahun, saya dapat bertarung dalam kesendirianku tanpa dituduh menghancurkan kepentingan siapa pun. Saya bertarung sekuat kemampuan. **** Seperti orang lain, saya gembira atas berakhirnya siksaan berat sandera Libanon. Ada desas-desus, pemerintah Inggris diambang menormalisasi hubungan dengan Iran dan melupakan seluruh ''Kasus Rushdie''. Apa yang harus kulakukan? Tutup mulut dan membiarkan ''diplomasi diam'' berjalan, atau berteriak? Dalam pandangan saya, tidak ada pilihan. Pembebasan para sandera setidaknya membuat lidahku bebas. Dan akan menjadi absurd: berperang bagi kebebasan berbicara dengan tetap bungkam. Kami setuju untuk melakukan kampanye seribut mungkin, untuk menunjukkan kepada pemerintah Inggris bahwa tak mungkin mengabaikan kasus itu, dan mencoba mengobarkan kembali dukungan internasional yang memperlihatkan kepada Iran bahwa fatwa itu telah menghancurkan kepentingan mereka sendiri, seperti juga kepentingan saya. Pada Desember 1991, beberapa hari setelah pembebasan sandera terakhir berkebangsaan Amerika, Terry Anderson, saya akhirnya diizinkan berkunjung ke Amerika Serikat, untuk berbicara pada Perayaan 200 Tahun Undang-Undang Hak-Hak Asasi Manusia di Universitas Kolumbia. Rencana perjalanan adalah sebuah mimpi buruk. Saya tidak tahu sampai 24 jam sebelum pergi bahwa saya diperbolehkan pergi. Saya pergi dengan pesawat udara militer -- kemurahan yang luar biasa, dan untuk itu saya sangat berterima kasih. Saat tinggal landas benar-benar tak terkatakan. Itulah pertama kalinya saya keluar dari Inggris dalam hampir tiga tahun. Untuk pertama kalinya kandangku tampak sedikit lebih besar. Kemudian di New York saya diantar sebelas kendaraan yang beriringan, lengkap dengan motor-motor bersirene di depan. Saya ditumpangkan dalam sebuah limusin putih yang menerjang Manhattan dengan kecepatan penuh. ''Kami melakukan hal yang sama ketika membawa Arafat,'' kata komandan operasi menjelaskan. Saya bertanya dengan ragu-ragu, ''Bagaimana dengan presiden?'' Untuk presiden, mereka lebih banyak menutup pinggir-pinggir jalan. ''Tapi, dalam kasusmu, kami pikir cara seperti itu agak menarik perhatian.'' Bagian Kepolisian New York sangat teliti, namun tak punya banyak rasa humor. Saya menghabiskan hari di suite di lantai 14 dengan sedikitnya 20 orang bersenjata. Jendela-jendela diblokade dengan selimut- selimut antipeluru. Di luar pintu, ada lebih banyak lagi petugas berotot mirip Arnold Schwarzenegger, yang dipersenjatai. Di kamar mewah ini saya mengadakan sejumlah pertemuan yang harus tetap dirahasiakan, kecuali barangkali untuk satu orang. Saya dimungkinkan bertemu dengan penyair Allen Ginsberg selama 20 menit. Ketika tiba, ia menarik bantal-bantal dari sofa dan mengaturnya di lantai. ''Lepas sepatumu dan duduklah,'' katanya. ''Saya akan mengajarimu latihan-latihan meditasi sederhana. Itu dapat membantumu mengatasi keadaan yang sangat buruk.'' Agen sastra kami berdua, Andrew Wylie, ada di situ. Dan saya mengajaknya. Walaupun dengan agak mengomel, dia akhirnya melakukan juga. Kami mulai melatih napas. Dan saya bergumam, betapa istimewanya bagi seorang kelahiran India diajari ajaran Budha oleh seorang penyair Amerika di sebuah ruangan yang penuh laki-laki bersenjata. Malam itu arak-arakan panjang membawa saya ke Kolombia, dan saya bisa ikut ambil bagian dalam peringatan itu. Kebebasan berbicara adalah kehidupan itu sendiri, kataku malam itu. Hari berikutnya pers Amerika menanggapi dengan sangat simpatik dan positif. Sangat jelas bahwa orang-orang Amerika memperhatikan isu tersebut, seperti saya: kebebasan yang diterima sebagaimana adanya menjadi urusan hidup atau mati. Pulang ke rumah adalah soal yang lain. Saya kembali ke Inggris dan melihat sebuah headline: ''Rushdie membakar kemarahan muslim lagi'' -- karena saya diminta untuk mempublikasikan edisi murah Ayat-Ayat Setan. **** Edisi murah Ayat-ayat Setan diterbitkan pada musim semi 1992, bukan oleh Penguin, yang menolak melakukannya, tapi oleh suatu konsorsium. Saya berada di Washington pada peluncuran perdananya. Dalam kesempatan konperensi kebebasan berbicara yang lain, saya memperlihatan buku cetakan pertama. Dan emosi tiba-tiba menyerang saya. Saya berusaha sekuat tenaga menahan air mata. Saya datang ke Washington terutama untuk berpidato di muka anggota Kongres. Namun, malam sebelum pertemuan, saya diberi tahu oleh Menteri Luar Negeri James Baker bahwa ia telah melakukan kontak pribadi dengan dua pemimpin badan legislatif itu dan mengatakan bahwa ia tidak menginginkan pertemuan itu diselenggarakan. Pemerintah Bush membuat isyarat-isyarat menolak kehadiranku. Marlin Fitzwater, juru bicara Gedung Putih, menjelaskan kepada pemerintahnya bahwa aku ''cuma pengarang yang tengah berwisata mempromosikan bukunya''. Tapi akhirnya saya dapat mengatur pertemuan dengan satu kelompok senator ternama, yang dipimpin oleh Daniel Patrick Moynihan, asal New York, dan Richard Leahy dari Vermont, yang mengundangku makan siang di Gedung Capitol dan, yang mengherankan, membawa sejumlah kopi buku saya untuk kutanda tangani. Setelah makan siang, kami membuat konperensi pers. Moynihan dan yang lainnya berbicara dengan bersemangat untuk kepentingan saya. **** Pada musim panas 1992, terbuka kemungkinan bagi saya pergi ke Denmark. Sekali lagi, keamanannya berat. Bahkan, saya diberi tahu, ada sebuah kapal meriam kecil di pelabuhan Kopenhagen yang merupakan salah satu ''perlengkapan kita''. Maka, dalam sejumlah kelakar, orang berkata bahwa kapal itu untuk melawan serangan armada Iran di Baltik atau barangkali pasukan katak fundamentalis. Selama di Denmark, pemerintah menyingkirkan saya -- meskipun, dengan membolehkan kunjungan saya dan menyediakan keamanan itu, jelas memperlihatkan adanya dukungan tertentu. Risiko embargo ekspor keju Denmark ke Iran disebut sebagai suatu alasan sikap bungkamnya pemerintah. Tapi saya memperoleh dukungan antusias dari politisi semua partai, terutama Anker Jorgensen dari Partai Buruh, yang pernah dan barangkali akan kembali menjadi perdana menteri. Dengan dia, saya bergabung mengadakan konperensi pers di luar kapal. Jorgensen berjanji mengadakan diskusi dengan partai berkuasa untuk mencari dukungan bagi kasus saya. Itu agak jauh dari yang saya harapkan, tapi sudah merupakan satu langkah menuju harapan. Saya melakukan kunjungan singkat ke Spanyol. (Saya mengomentari banyaknya kesulitan dalam melakukan perjalanan. Tapi, percayalah, memang tak satu pun perjalanan itu mudah.) Di sini saya membuat tawaran pada Gustavo Villapalos, rektor Universitas Complutense Madrid, orang yang sangat dekat dengan pemerintah Spanyol dan juga punya hubungan sangat baik dengan Iran, agar menjadi penengah. Ia segera mengatakan kepada saya bahwa ia telah menerima isyarat-isyarat adanya dukungan dari petingi-petinggi di Iran. Ini waktu yang sempurna untuk menyelesaikan persoalan, karena ia telah diberi tahu bahwa Iran tahu kasus ini adalah satu-satunya ganjalan terbesar bagi strategi ekonomi mereka. Namun, beberapa pekan kemudian, koran-koran Eropa mengutip Villapalos bahwa saya setuju untuk merevisi beberapa bagian Ayat-Ayat Setan. Saya berkata, tidak ada perjanjian itu. Villapalos mengatakan kepada saya, ia telah salah dikutip dan minta bertemu dengan saya di London. Saya setuju. Sejak itu tak ada kabar lagi dari dia. Terobosan datang pada akhir musim panas, di Norwegia. Tuan rumahnya adalah organisasi pengarang internasional PEN dan penerbitku yang berani, Aschehoug. Sekali lagi media massa dan masyarakat di negeri itu menampakkan sambutan dan dukungan yang fantastik. Dan kali ini saya melakukan beberapa kali pertemuan dengan menteri pendidikan dan kebudayaan, yang membawa pesan persahabatan dari Perdana Menteri Gro Harlem Brundtland pribadi. Pada bulan Oktober saya diundang berpidato di Konperensi Dewan Nordic di Helsinki. Ini suatu kehormatan besar dan suatu kesempatan untuk mendorong sebuah prakarsa bersama Nordic. Hanya ada satu ganjalan: duta besar Inggris menolak hadir. Saya diberi tahu penyelenggara bahwa mereka terguncang oleh kekasaran penolakannya. Sekembali saya ke Inggris, saya menelepon kontak saya di departemen luar negeri, yang selalu meyakinkan saya bahwa perjalanan-perjalanan saya memperoleh ''restu'' pemerintah. Saya bertanya kepada dia, atas nama apa saya bisa berharap negeri lain percaya bahwa pemerintah Inggris mendukung saya sedangkan duta besarnya tidak. Sejak acara di Helsinki itu, duta besar Inggris akhirnya memberi dukungan besar kepada saya di mana pun saya berada. Dalam kenyataannya, posisi pemerintah Inggris dalam kasus ini makin kuat. Ada saat yang membingungkan selama kampanye pemilihan umum di Inggris. Saya tiba-tiba dikabari oleh inspektur kepala polisi (yang sangat jelas sangat memalukan) bahwa perlindungan terhadap diriku akan segera selesai, meskipun tidak ada alasan untuk percaya bahwa keadaannya sudah lebih aman. ''Kebanyakan orang hidup dalam bahaya sepanjang hidupnya di Inggris,'' begitu saya diberi tahu, ''dan sebagian dari mereka mati.'' (Tapi rencana ini dibatalkan setelah kantor perdana menteri menyatakan bahwa perlindungan akan dilanjutkan selama ancaman masih berlangsung.) Keputusan itu rupanya diperkuat oleh masalah hubungan dengan Iran. Pemerintah Iran telah diberi tahu bahwa tidak akan ada normalisasi hubungan dengan Inggris sampai fatwa Khomeini atas diri saya ditarik. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih untuk perlindungan itu dan untuk sikap pemerintah Inggris yang kukuh. Tapi saya tahu, diperlukan kekuatan menekan yang lebih besar agar Iran mengubah sikapnya. Dan kunjungan saya ke banyak negara adalah untuk mencoba dan menciptakan kekuatan itu. Pada 25 Oktober saya pergi ke Bonn, ibu kota Jerman. Jerman adalah mitra dagang nomor satu Iran. Saya telah diberi tahu, mungkin saya tak akan mendapatkan apa-apa dari Jerman. Namun yang terjadi di Jerman terasa seperti sebuah keajaiban kecil. Kunjunganku diatur oleh suatu keajaiban kecil dari seorang wanita, anggota SPD di Bundestag, yang disebut Thea Bock. Bahasa Inggris-nya sama parahnya dengan bahasa Jerman-ku. Tapi kami kerap berbicara dengan bahasa isyarat, dan kami cepat akrab. Dengan mencampur bujukan, taktik tangan besi, serta tipuan telak, dan dengan bantuan anggota lain, terutama Norbert Gansel, ia mengatur pertemuan untukku dengan sejumlah orang di jantung negeri Jerman: juru bicara kondang dan berpengaruh dari Bundestag, Rita Sussmuth pejabat-pejabat peringkat atas di departemen luar negeri anggota-anggota penting komite urusan luar negeri dan ketua SPD-nya, Bjorn Engholm. Nama terakhir itu membuat saya terkejut karena ia tampil di sebelah saya di televisi dan menyebut saya sebagai ''saudara dalam semangat''. Katanya, SPD sepenuhnya mendukung saya dan karena itu berupaya tanpa kenal lelah untuk kepentingan saya. Orang yang berada di puncak pimpinan Jerman menjanjikan dukungan kepada saya. Dan sejak itu pertolongannya diberikan secara nyata. ''Kami akan menjaga Tuan Rushdie,'' begitu pengumuman pemerintah Jerman. Bundestag telah meloloskan resolusi dari semua partai yang menegaskan bahwa Jerman berpendapat Iran-lah yang bertanggung jawab secara legal atas keamananku. Apabila kecelakaan terjadi padaku, Iran akan dihadapkan pada konsekuensi di bidang ekonomi dan politik. (Parlemen-parlemen Swedia dan Kanada tengah mempertimbangkan resolusi serupa.) Sejumlah perjanjian budaya Jerman-Iran juga ditangguhkan. Menteri Luar Negeri Dr. Klaus Kinkel mengatakan bahwa itu akan tetap di dalam laci sampai fatwa dibatalkan. Keinginan Jerman untuk menggunakan pengaruh ekonomi dan kultural bagi kepentinganku inilah yang membakar Iran menyatakan kembali fatwa itu dan menambah tawaran hadiah. Ini adalah sebuah langkah yang bodoh itu hanya memperkuat keputusan sejumlah pemerintah yang bersimpati. Setelah Jerman, Swedia. Pemerintah Swedia dan PEN Swedia bersama-sama mengulurkan penghargaan bergengsi Hadiah Kurt Tucholsky kepada saya. Hadiah itu secara tradisional diberikan kepada pengarang yang hak-hak asasinya disalahgunakan. Wakil Perdana Menteri Swedia, Bengt Westerberg, memberikan penghargaan itu dan mengucapkan pidato yang bersemangat: menjanjikan dukungan pemerintah secara komplet. Seorang diplomat yang lebih berpengalaman dengan cara-cara Timur Tengah kemudian mengatakan kepada saya, ''Rahasia diplomasi adalah berdirilah di stasiun ketika kereta api tiba. Kalau kamu tidak berada di stasiun, jangan mengeluh bila ketinggalan kereta. Masalahnya adalah kereta api bisa tiba di banyak stasiun, jadi pastikan kamu berada di semua tempat.'' Pada bulan November, Ketua Pengadilan Iran Morteza Moqtadaei mengatakan bahwa semua orang Islam berkewajiban membunuh saya. Ini membuktikan kebohongan Iran bahwa fatwa itu tidak berkaitan dengan pemerintah Iran. Ayatollah Sanei, orang di balik penawaran hadiah, mengatakan bahwa sukarelawan penembak tepat harus dicari. Pada awal Desember, saya menyeberang Atlantik kembali, ke Kanada, sebagai tamu PEN Kanada. (Adakah pengarang lain yang mendapat bantuan lebih besar dari kolega-koleganya? Jika dapat keluar dari masalah ini, saya seumur hidup akan mencoba dan membalas kembali sedikit bantuan serta semangat dan kasih sayang yang telah diberikan kepada saya.) Pada malam amal yang diselenggarakan PEN di Toronto, sangat banyak penulis berbicara atas nama saya, sehingga seseorang membisiki saya, ''Kamu seperti sedang melalui upacara inisiasi.'' Perdana menteri Ontario, Bob Rae, melompat ke panggung dan memeluk saya. Dialah kepala pemerintahan pertama yang berdiri di dekat saya di depan umum. (Di balik panggung, sebelum acara, ia benar-benar mencium saya untuk difoto. Secara spontan saya menciumnya kembali). Hari berikutnya di Ottawa saya berjumpa, antara lain, dengan Menteri Luar Negeri Barbara MacDougall dan pemimpin oposisi Jean Chretien. Saya juga memberi kesaksian pada subkomite bidang hak asasi manusia di parlemen. Pengaruh dari semua itu menggemparkan. Dalam 48 jam, resolusi yang meminta agar pemerintah Kanada membawa masalah ini ke PBB dan meneruskannya ke Pengadilan Internasional lolos dari parlemen Kanada dengan dukungan semua partai. Dan pemerintah setuju bertindak atas nama mereka. **** Saya selalu tahu bahwa ini akan menjadi perjuangan panjang, tapi paling sedikit sekarang ada langkah nyata. Di Norwegia, sebuah proyek minyak yang bekerja sama dengan Iran diblokade oleh para politisi yang bersimpati pada kampanye antifatwa. Kanada menunda pemberian pinjaman US$ 1 miliar kepada Iran. Saya juga tahu -- dan saya mengatakannya kemana pun saya pergi -- bahwa perjuangan ini bukanlah semata-mata karena saya. Nasib saya bukan yang pertama. Isu besar di sini adalah kebebasan berbicara dan kedaulatan nasional. Kasus Ayat-Ayat Setan muncul karena dibandingkan dengan kasus-kasus penulis dan intelektual lainnya. Kelompok progresif dan pembangkang diganggu, dipenjarakan, dilarang, dan dibunuhi. Kaum artis dan intelektual tahu ini. Itu sebabnya mereka dengan sangat bersemangat dan terus-menerus membuat pernyataan yang memberi dukungan total kepadaku. Para cendekiawan di dunia Islam -- penyair Adonis, novelis Tahar Ben Jalloun, dan sejumlah lainnya -- dipanggili untuk mengakhiri ancaman Iran, tidak hanya karena mereka peduli tentang saya, tapi karena mereka tahu bahwa ini juga perjuangan mereka. Memenangkan pertarungan ini adalah memenangkan pertempuran kecil dalam suatu perang besar. Kekalahan bukan hanya akan menjadi suatu konsekuensi yang tidak menyenangkan bagi saya, tapi juga akan menjadi sebuah kekalahan dalam konflik yang lebih besar. Kami tidak bisa menanggung kekalahan. Karena itu kami harus menang. Begitu sederhana. Kamu tidak membunuh orang karena orang itu menulis buku. Terus terangnya begitu. Ketika ini muncul ke pers, ada berita bahwa Yasser Arafat mencela fatwa itu sebagai sesuatu yang menentang Islam. Sedangkan di sini, di Inggris, seorang penghasut dengan reputasi buruk, Dr. Kalim Siddiqui, dari kelompok Islam garis keras, percaya bahwa kinilah saatnya bagi ''kedua belah pihak saling memaafkan dan melupakan''. BSU
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini