Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jauh-jauh hari sebelum hiruk-pikuk penyambutan Presiden Amerika Serikat George W. Bush melanda Indonesia, sebuah telepon berdering di ruang penerima tamu Hotel Salak, Bogor. Datang dari Washington, telepon itu memesankan satu kamar untuk Sudjadnan Parnohadiningrat. Resepsionis hotel mencatat pesanan. Bereslah. Beberapa waktu lewat. Sudjadnan bersiap terbang ke Indonesia. Sekretarisnya bergegas memastikan kamar yang telah tercatat.
Si sekretaris terperanjat bukan main ketika petugas Hotel Salak menjelaskan pesanan atas nama Tuan Sudjadnan telah dibatalkan. Hah? Kok bisa? ”Katanya sudah dikasih ke Kedutaan Amerika Serikat,” Sudjadnan menirukan ucapan sekretarisnya kepada Tempo pekan lalu. Beranglah Sudjadnan. Tangannya mencekau telepon. Diputarnya nomor Departemen Luar Negeri Amerika Serikat lalu dengan kesal memprotes perihal kamar di Bogor itu.
Oh ya, si pemesan memang bukan sembarang tamu. Dia diplomat senior sekaligus Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat di Washington, DC. Kepada pihak Departemen Luar Negeri AS, Mister Ambassador dengan tegas menyatakan tak sudi diperlakukan seenaknya. Lebih-lebih di negaranya sendiri. ”Saya ini kan duta besar untuk Amerika Serikat,” ujarnya.
Singkat ceritera, setelah saling ngotot, Departemen Luar Negeri AS melepaskan satu kamar—yang sejatinya sudah menjadi hak Sudjadnan awal. Sisanya—119 kamar—diborong oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Jadilah Sudjadnan minoritas tamu Melayu di tengah ”kaum kulit putih” yang berseliweran di Hotel Salak. Suasana sepekan terakhir di hotel berbintang empat itu bagai membalikkan nostalgia satu setengah abad silam.
Berdiri pada 1856 dengan nama Binnenhof Hotel, inilah tempat tetirah kalangan kelas atas kulit putih pada masa itu. Umumnya, mereka bangsawan Kerajaan Belanda yang melawat ke Batavia, ibu kota Hindia Belanda. Juga para saudagar, hartawan, serta staf pemerintahan—tentu saja, semuanya orang Belanda. Di kamar-kamar Binnenhof yang nyaman mereka beristirahat sembari menyesap panorama Gunung Salak nan permai di kejauhan.
Tamu-tamu kulit putih kali ini juga tak kalah menariknya. Tubuh mereka tegap-tegap, rambut cepak, gaya jalan sigap dengan sepasang mata selalu mengedar seolah tengah menyergap sasaran. Tempo mendapat informasi, mereka adalah anggota satuan pengamanan kepresidenan Amerika Serikat, Secret Service. Hingga usai kunjungan Bush nanti, Hotel Salak menjadi markas komando para pengawal elite itu.
Dan Bogor, masya Allah, tiba-tiba mirip kaleng sarden yang sesak oleh tambahan mendadak penduduk sementara: 11.500 lebih tentara dan polisi Indonesia, belum terhitung tentara Amerika serta tamu-tamu lain. Ada pula kuda-kuda kavaleri, anjing pelacak, deretan truk bermuatan kawat berduri. Kanon air yang bakal menghadang demonstran parkir di beberapa sudut jalan.
Pendek kata, semuanya bersiap menanti tamu dari jauh pada hari ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menjamu George W. Bush dalam pertemuan enam jam di Bogor. Bermula pada pukul 16.00, kunjungan dijadwalkan usai pada pukul 22.00.
Selamat Datang, Presiden Bush.
George Walker Bush mampir ke Indonesia seusai menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi APEC di Hanoi, Vietnam, pekan lalu. Inilah kunjungan keduanya ke Indonesia sebagai presiden dan boleh jadi yang terakhir. Dia hampir mengakhiri masa jabatan keduanya—pemilu presiden Amerika jatuh pada 4 November 2008. Seturut dengan Konstitusi Amerika, Bush, sebagai presiden yang telah melewati dua masa jabatan, tak mungkin dipilih kembali.
Kunjungan pertama Bush ke Indonesia dilakukan pada Oktober 2003. Dalam waktu tiga tahun dia dua kali mampir ke Indonesia. Padahal Indonesia tidak masuk ”daftar cepat” kunjungan pimpinan negeri adidaya itu. Mantan presiden Bill Clinton, misalnya, melawat pada November 1994—saat sidang APEC di Bogor. George Bush senior, ayah George W. Bush, malah tak pernah mampir saat masih berkuasa—dia datang setelah pensiun.
Jauh sebelumnya, mantan presiden Ronald Reagan beranjangsana pada April 1986. Agenda pembicaraan Bush dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dikabarkan tidak akan memasuki wilayah ”keras” macam keamanan, militer, dan terorisme. Dua pemimpin itu disebut-sebut hanya akan membahas bidang soft power. Perdagangan, pendidikan, kesehatan. Dan, investasi.
Kita tahu, Indonesia adalah lahan subur bagi investasi sejumlah besar raksasa industri Amerika. Negara itu, di luar Jepang, menjadi mitra dagang terbesar negeri kita selama lebih dari tiga dekade terakhir. Freeport dan Exxon sekadar dua contoh tentang jutaan dolar Amerika yang ditanamkan di sektor pertambangan untuk mengeduk emas, minyak, dan gas.
Toh, agenda resmi dua presiden tenggelam oleh isu lain yang menyedot perhatian seluruh negeri. Yakni, pengamanan superketat, superheboh, yang melumpuhkan separuh Bogor. Di beberapa bagian kota, listrik dimatikan, telepon apalagi. Air, alhamdulillah, masih dibiarkan mengalir walau di tengah kegelapan.
Maka pecahlah gelombang aksi unjuk. Di beberapa titik di Kota Hujan, kelompok pro dan kontra kunjungan Bush hampir baku hantam. Sekitar 200 mahasiswa Universitas Pakuan Bogor sedang berorasi di Tugu Kujang pada Rabu pekan lalu, ketika seratusan massa dari Lembaga Swadaya Masyarakat H’ry Centre muncul sembari mengacungkan bendera AS dan Indonesia. Sehelai spanduk bertulisan Selamat Datang Mr. Bush dibentangkan.
Umpatan pun menjalar. ”Pengkhianat bangsa,” pekik kubu mahasiswa.
Pendukung Bush tidak terima dikatai begitu. Mereka merangsek. Untunglah, polisi sigap melompat pada saat-saat kritis. Aksi sweeping sempat muncul. Dua puluh pemuda berlabel Pemuda Bulan Bintang mencoba menyisir orang asing yang lewat.
Konyolnya, yang hendak mereka sweeping adalah Hotel Salak, hotel yang menjadi pusat komando sementara Secret Service. Dari sini pula, Departemen Pertahanan AS Pentagon bisa memantau seluruh Bogor. Kepala Polres Bogor Ajun Komisaris Nurwindiyanto pun naik pitam. ”Siapa yang coba-coba melakukan sweeping terhadap orang asing akan saya tangkap,” ujarnya.
Selain Istana Bogor dan Kebun Raya yang telah dipasang puluhan kamera pengintai, Hotel Salak adalah salah satu obyek. Dua pintu masuk hotel dipangkas menjadi satu. Setiap mobil yang masuk dihadang dua kali dan diperiksa secara detail oleh tiga polisi.
Mobil Tempo, yang berhasil melewati pemeriksaan tahap satu, dibuka kapnya pada tahap kedua.
+ ”Ini kabel apa? Tolong, matikan mesinnya,” ujar salah seorang polisi.
- ”Ini kabel klakson, Pak,” sahut sopir. Setelah yakin itu kabel klakson, mobil diizinkan masuk ke area parkir.
Giliran masuk ke lobi juga tak kalah repot. Detektor logam sensitif terpacak di sana. Bila muncul bunyi nyaring, seorang polisi akan menggeledah memeriksa seluruh isi kantong. Kotak rokok pun ditelisik. ”Demi keamanan penghuni hotel,” ujar Rini Sumartini, juru bicara Hotel Salak.
Kesibukan pengamanan di hotel ini mencolok sejak pekan lalu. Persisnya saat empat mobil boks putih milik pemerintah Amerika Serikat parkir di sana. Di dalam mobil boks, terdapat seperangkat alat komunikasi, pengacak sinyal dan radar. Sejumlah wartawan televisi yang mencoba mengambil gambar dekat-dekat merasakan efeknya. ”Waktu saya ambil gambar, layar di kamera saya mendadak hilang. Setelah menjauh, baru normal lagi,” tutur seorang reporter televisi.
Dipilihnya Bogor menjadi tempat pertemuan Bush-SBY bukan tanpa alasan. Awalnya ada empat kota yang masuk daftar. Jakarta, Denpasar, Yogyakarta, dan Bogor. Denpasar sudah pernah pada 2003. Jakarta tidak mungkin dipilih, ”Karena skenario pengamanan di Ibu Kota jauh lebih rumit,” kata Sudjadnan.
Pilihan sempat jatuh ke Yogyakarta. Setelah disurvei lebih jauh, pengamanan jauh lebih menyulitkan. Terutama karena jauh dari Jakarta, tempat Air Force One, pesawat kepresidenan Amerika Serikat, mendarat. Maka Bogor pun terpilih.
Harus diakui, keamanan adalah faktor kunci dalam setiap kunjungan Presiden Amerika Serikat. Apalagi negeri mereka menjadi incaran teroris. ”Jadi, banyak maunya,” kata Indrawadi Tamin, mantan Deputi Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden. Indrawadi, yang sempat mengurus kedatangan Bush tiga tahun lalu di Bali, mengaku negosiasi menentukan skenario pengamanan pasti berlangsung alot.
Menurut Indrawadi, setiap rapat koordinasi, ketegangan pasti terjadi. Pihak Amerika kerap memaksakan kehendak. Mereka juga sering mengancam, bila keamanan presidennya tidak terjamin maka mereka berhak membatalkan kunjungan. ”Dan ini diatur oleh undang-undang mereka,” kata Tamin.
Nah, agar nyawa Bush tak terancam kali ini, pihak keamanan membagi tiga ring pengamanan. Ring satu, melingkupi Istana Bogor dan Kebun Raya, akan dijaga 250 Secret Service plus 450 tentara Amerika. Ring dua adalah sekeliling Istana dan Kebun Raya dengan radius 1 kilometer. Sedangkan ring tiga radiusnya 2 kilometer dari Istana. Sebelas ribu lebih tentara dan polisi bersiaga di ring dua dan tiga. ”Mereka akan ditempatkan di setiap mulut jalan yang mengelilingi wilayah Istana dan Kebun Raya,” ujar Komandan Kodim 0606 Kota Bogor, Letnan Kolonel (Inf.) Abdul Karim.
Di ring dua dan tiga inilah Bogor diperkirakan akan lumpuh. Tidak ada satu pun angkutan kota yang boleh melintas. Terminal bus Baranangsiang yang masuk di ring dua ditutup sejak pukul 6 pagi hingga 10 malam. Puluhan toko, rumah makan, dan sekolah di sekeliling radius ring dua turut diliburkan.
Agar semua berjalan lancar, gladi bersih digelar pada Jumat dan Sabtu pekan lalu. Helikopter jenis Chinook dan Black Hawk milik Amerika Serikat menguji coba pendaratan di landasan Kebun Raya Bogor dan Stadion Padjadjaran. Helikopter diterbangkan langsung dari Kapal Induk USS Essex yang diberangkatkan dari Armada Tujuh Amerika Serikat di Sasebo, Jepang.
Kepada Tempo, Komandan Gugus Tempur Laut Armada Barat Laksamana Pertama Dadik Surarto menjelaskan, kapal induk USS Essex AS sudah memasuki perairan Indonesia sejak pekan lalu. Dua kapal berbendera Indonesia, KRI Tjoet Nja Dien dan KRI Memed Sastrawirya, mengawal Essex sejak kapal induk itu melintasi teritorial Indonesia.
Selama Bush berada di Indonesia, USS Essex yang memiliki berat 40 ribu ton dan mampu mengangkut 2.000 pasukan, akan berjaga di sekitar Pulau Damar. Jaraknya sekitar 64 kilometer dari Tanjung Priok.
Bandar Udara Halim Perdanakusuma, tempat Air Force One mendarat, juga tak luput disterilkan.
Menurut Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo, sekitar 500 tentara bersiaga penuh di sana. Katanya, ”Jaga-jaga, siapa tahu ada yang usil.”
Poernomo Gontha Ridho dan HYK, Oktamandjaya Wiguna (Jakarta), Deffan Purnama (Bogor)
Satu Tamu, Aneka Sikap
Bush datang, lalu pecahlah kontroversi. Ada yang menyambut dan merasa kunjungan ini mendatangkan manfaat, ada yang merasa sebaiknya ditolak saja karena lawatan tersebut dipandang tak ada gunanya. Ada pula yang netral-netral saja. Tempo merekam sejumlah pendapat, antara lain:
Pro
Jusuf Kalla
Abdurrahman Wahid
Lynn Pascoe
Netral
Inspektur Jenderal Adang Firman
Sutiyoso
Kontra
Din Syamsuddin
Hidayat Nurwahid
Hasyim Muzadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo