Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGGUGAT sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bukan hal terlarang. Kalaupun gugatan disalurkan melalui lembaga sepenting Mahkamah Konstitusi, itu juga tidak haram.
Catatan perlu diberikan kepada gugatan yang dilayangkan Mulyana W. Kusumah dan Nazaruddin Sjamsuddin, pada Juli dan Agustus lalu, terhadap dua ujung tombak pemberantasan korupsi itu. Kedua tokoh merupakan pihak yang dirugikan dalam pemberantasan korupsi di Komisi Pemilihan Umum dan kini mendekam di dalam penjara. Kendati begitu, keduanya memang tidak kehilangan hak konstitusionalnya untuk mengajukan gugatan.
Mulyana W. Kusumah menggugat berbagai kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), termasuk penyadapan, yang dianggapnya melanggar hukum dan kebebasan warga. Satu setengah bulan kemudian, Nazaruddin Sjamsuddin, sejawat Mulyana, meminta Mahkamah Konstitusi melakukan uji materi terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK karena dianggap menabrak UUD 1945. Jika dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, pasal-pasal itu bisa beku dan KPK bakal terancam.
Tidak perlu gusar dengan gugatan ini. Tidak perlu juga gemetar dan menganggap para koruptor akan mematikan ujung tombak pemberantasan korupsi itu. Apa pun keputusan Mahkamah Konstitusi nanti, tidak ada alasan menganggap pemberantasan korupsi di negeri ini sudah tamat riwayatnya.
Mahkamah Konstitusi mengkaji materi UU Nomor 30/2002 hanya dari sisi hukum an sich. Mahkamah ini tidak memiliki kewenangan mengoreksi undang-undang, tapi hanya menyatakan undang-undang itu bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Berbeda dengan Mahkamah Agung, yang mempertimbangkan asas keadilan, Mahkamah Konstitusi bekerja untuk memastikan asas kepastian hukum.
Kita tahu bahwa UU Nomor 30/2002 lahir dari pergulatan politik yang alot setelah Orde Baru tumbang. Pihak yang menang, yang kita sebut saja kalangan reformis, menyusun undang-undang itu secepat-cepatnya agar bisa selekasnya dipakai menjerat para koruptor. Di sana-sini ada ”bolong”, tapi undang-undang baru ini dianggap tetap lebih baik daripada Kitab Undang-Undang Hukum Pida-na. Aturan hukum yang lama ini sudah terbukti banyak meloloskan penilap uang negara.
Gugatan Mulyana dan Nazaruddin harus dilihat sebagai momentum untuk memperbaiki UU Nomor 30/2002. Landasan hukum ini justru perlu diperkuat agar menjadi tempat berpijak lebih kukuh bagi aktivitas KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Ini bukan tugas Mahka-mah Konstitusi, melainkan tugas Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah.
Revisi penting dikerjakan segera agar KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tetap eksis. Sejuta alasan bisa dikemukakan. Yang pokok, korupsi di negeri ini sudah merupakan extraordinary crime, kejahatan luar biasa yang bisa membinasakan bangsa. Kita tahu, sebelum KPK dibentuk, sudah belasan tim antikorupsi dibentuk sejak tahun 1967. Ada satu-dua koruptor yang dipenjarakan, tapi budaya korupsi malah tumbuh dengan suburnya, termasuk di sekitar Istana. Peringkat korupsi Indonesia di mata dunia juga tidak kunjung menggembirakan, malah masih memalukan.
Artinya, gerakan nasional antikorupsi perlu dipompa dua-tiga kali lebih gencar. KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi perlu lebih tegak berdiri, dengan fondasi aturan hukum yang lebih solid. Dengan begitu, tak ada alasan menganggap gugatan dari penjara itu sebagai serangan mematikan terhadap pemberantasan korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo