Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak orang Indonesia tertipu oleh praktek melipatgandakan uang dalam tempo singkat, dalam bilangan tak masuk akal. Ini sinyal bahwa kita harus waspada. Bujuk rayu bukan hanya ditebar perusahaan yang menawarkan return yang tinggi, para dukun pun ikut berlagak menjadi ”penasihat investasi” yang menjanjikan uang Anda beranak-pinak. Semua omong kosong belaka.
Sudah banyak kasus menunjukkan betapa berbahaya melayani tawaran imbal hasil gila-gilaan tanpa perhitungan risiko itu. Sekali lagi, waspada dan hitung dengan cermat, karena tawaran sangat menggoda. Sekarang ini bunga deposito bank hanya 6-7 persen setahun. Imbal hasil obligasi, reksadana, dan sertifikat Bank Indonesia paling tinggi hanya 10-12 persen setahun. Perusahaan ”perayu” itu menawarkan return—yang biasanya mereka sebut bunga, royalti, atau bagi hasil—bisa sampai 24 persen setahun.
Itu belum seberapa. Ada perusahaan yang hanya minta Anda sekali menempatkan Rp 200 ribu, dan dalam lima tahun si nasabah bakal mendapatkan Rp 10 miliar. Masuk akal? Jelas tidak. Hukum ekonomi high return high risk, makin tinggi imbalan makin tinggi pula risiko, yang biasa berlaku di pasar finansial, seperti tidak jalan dalam kasus tawaran setinggi langit tadi.
Di situlah bahayanya. Pengalaman di masa lalu bisa menyegarkan ingatan kita: banyak perusahaan yang menjanjikan imbal hasil tinggi akhirnya bangkrut. Salah satunya PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR). Perusahaan ini empat tahun lalu menarik 6.800 investor yang menyetorkan hampir setengah triliun rupiah. Investor tergiur oleh janji perusahaan yang bergerak di bidang agrobisnis ini untuk memberi imbal hasil 15-20 persen per bulan.
Bisa ditebak, perusahaan itu tak mampu membayar imbal hasil yang dijanjikan. Saat asetnya dilego, hanya terkumpul Rp 40 miliar, delapan persen dari uang seluruh nasabah. Pemilik QSAR masuk penjara, tapi uang investor sudah melayang. Kasus PT Add Farm tiga tahun lalu, yang meraup Rp 600 miliar dari 9.000 nasabah, juga serupa.
Tapi sulit benar kita belajar. Belum lama ini, lebih dari 2.500 nasabah PT Interbanking Bisnis Terencana (Ibist) di Bandung, yang menempatkan uangnya senilai Rp 56 miliar, gagal mendapatkan royalti. Begitu juga 400 nasabah Ibist di Semarang yang menanamkan Rp 21 miliar. Pemilik perusahaan itu tak jelas di mana.
Sekian kasus pemilik uang menempuh jalan pintas ini barangkali lantaran lesunya kondisi ekonomi. Tak mudah membuka usaha. Kalaupun usaha bisa dibangun, hasilnya belum tentu menguntungkan. Sementara itu, bank tidak lagi menawarkan suku bunga simpanan yang tinggi. Perusahaan-perusahaan pengganda uang itu sebagian memakai alamat di luar negeri, akhirnya punya lahan garapan luas.
Mestinya tak sulit mengenali perusahaan yang perlu dihindari. Biasanya izin mereka bukan sebagai lembaga ke-uangan karena perizinan dan prosedurnya memang tidak mudah. Perusahaan yang baik biasanya juga menawarkan sesuatu dengan prospektus, seperti dilakukan perusahaan yang hendak go public atau menerbitkan obligasi. Ada hitung-hitungannya dan bisa diperbandingkan satu sama lain.
Para pemilik uang bisa pula bertanya pada konsultan keuangan untuk menilai kewajaran suatu penawaran investasi. Kini juga sudah banyak media massa yang membuka rubrik konsultasi keuangan. Ada pula internet yang bisa dijadikan sarana untuk melacak track record sebuah perusahaan, terutama yang mengaku dari luar negeri. Pendek kata, lebih baik mengeluarkan sedikit uang untuk mencari keterangan ketimbang harus kehilangan uang selumbung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo