Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Episode Kedua Operasi Nduga

Kabupaten Nduga menjadi wilayah berdarah sejak pertengahan tahun lalu. Kelompok Egianus Kogeya berkali-kali melancarkan serangan. Ribuan pengungsi keluar dari wilayah termiskin di seluruh Papua itu. Tentara dituduh melanggar hak asasi manusia.

30 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Prajurit TNI bersiap menaiki helikopter menuju Nduga di Wamena, Papua, 5 Desember 2018./ Antara/Iwan Adisaputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA personel Brigade Mobil berseragam hijau pucat berjaga di landasan pesawat di Distrik Kenyam, ibu kota Kabupaten Nduga, Papua, pada Senin, 25 Maret lalu. Dua di antaranya berdiri di tengah semak lebat yang menghadap ke Kampung Alguru. Mata mereka menyapu ke segala penjuru. Jari telunjuk mengait pelatuk senjata laras panjang.

Dari angkasa, helikopter polisi berwarna putih-biru mendarat. Sejumlah personel Brimob mendekat dan mengambil logistik seperti beras dan kardus mi instan dari dalam helikopter. Tak sampai lima menit, capung besi kembali meng-udara. Tiga personel yang berjaga pun kembali ke pos mereka di dekat landasan.

Sejak pertengahan tahun lalu, penjagaan di Bandar Udara Kenyam diperketat. Kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB dua kali menyerang pesawat yang mendarat di landasan tanpa menara pengawas tersebut. Lima hari sebelum pemilihan Gubernur Papua, 27 Juni 2018, milisi yang dipimpin Egianus Kogeya menembak pesawat Dimonim Air. Tiga hari kemudian, tembakan melukai pilot pesawat Trigana Air yang mengangkut logistik pemilihan kepala daerah. Prajurit Tentara Nasional Indonesia dan polisi baku tembak dengan gerombolan itu.

Personel TNI bersiap masuk ke daerah konflik di Kabupaten Nduga, 30 Maret 2019./ Tempo/Stefanus Teguh Pramono

Dirundung pertikaian bersenjata, Kenyam—sering juga disebut Keneyam—di-tinggalkan sebagian penduduknya. “Kota sepi sekali. Hanya ada suara tembakan,” ujar Yale Telenggen, 38 tahun, penduduk yang tinggal di sekitar bandara, Sabtu, 23 Maret lalu. Sekitar dua pekan setelah serangan di landasan udara, polisi dan TNI menyerbu Kampung Alguru, yang diya-kini dihuni kelompok Egianus. Dua anggota TPNPB tewas.

Kini, semua penumpang dan barang yang masuk ke distrik itu diperiksa polisi. Penjagaan di pos-pos tentara dan polisi juga diperketat. Karung-karung pasir setinggi lebih dari satu meter membentengi pintu utama kantor Kepolisian Sektor Kenyam. “Kami harus waspada karena ada informasi mereka meminta bantuan dari daerah lain,” kata Kepala Kepolisian Resor Jayawijaya Ajun Komisaris Tonny Ananda Swadaya, Rabu, 27 Maret lalu. Tak ada kepolisian resor di Nduga, kepolisian sektor di sana menginduk ke Polres Jayawijaya di kabupaten sebelahnya.

Begitu pula pos TNI di kawasan proyek jalan Trans Papua, yang terletak di kawasan hutan di selatan Kenyam. “Bisa saja mereka tiba-tiba diserang,” ujar Kepala Penerangan Komando Daerah Militer Cenderawasih Kolonel Muhammad Aidi.

Penjagaan kian ketat setelah pada Rabu, 20 Maret lalu, seorang polisi tewas dan dua terluka ditembak kelompok bersenjata di Distrik Mugi, yang berjarak sekitar 30 kilometer di selatan Kenyam. Dua pekan sebelumnya, di distrik tersebut tiga tentara tewas saat kontak senjata dengan gerombolan yang diyakini anak buah Egianus. Pada 2 Desember 2018, kelompok Egianus membantai 17 pekerja PT Istaka Karya, yang sedang menggarap jalan Trans Papua di Distrik Yigi, kira-kira 40 kilometer di utara Kenyam.

Tentara berpatroli di Kenyam, Nduga, 24 Maret 2019./ Tempo/Stefanus Teguh Pramono

Menurut Kepala Polres Jayawijaya Ajun Komisaris Besar Tonny Ananda Swadaya, sekitar 200 personel Brimob masuk ke Kenyam pada pertengahan Februari lalu. Mereka bermarkas di rumah dinas Bupati Nduga yang tidak digunakan. Adapun tentara yang masuk mencapai 600 personel. Menurut Muhammad Aidi, sepertiganya adalah personel Zeni Tempur yang bertugas mengaspal jalan Trans Papua dan membangun 21 jembatan. Sisanya bertugas mengamankan wilayah proyek.

Kadang kala polisi dan TNI berpatroli di jalan-jalan Nduga yang sebagian besar belum diaspal. Ahad siang, 24 Maret lalu, belasan tentara bersenapan berkeliling Kenyam menggunakan truk bak terbuka. “Saya juga pernah melihat mereka patroli di hutan,” kata Reny Dabo, 29 tahun, warga Kenyam.

Wakil Bupati Nduga, Wentius Tabuni, mengkritik pengerahan besar-besaran personel polisi dan tentara di distrik yang dikunjungi Presiden Joko Widodo pada akhir Desember 2015 itu. “Seperti mau perang saja,” ujarnya.

 

MEMBAWA pasukannya, Egianus Kogeya memasuki Distrik Yigi pada 31 November 2018. Rumina Kamarigi, 38 tahun, warga Desa Karunggame, Yigi, yang ditemui Tempo di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, mengatakan ada lebih dari 40 personel Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Mereka bersiap merayakan peringatan Hari Kemerdekaan Bangsa Papua sekaligus ibadah Natal Gerbang, semacam perayaan pra-Natal, yang digelar setiap 1 Desember.

Personel Brimob memeriksa barang penumpang yang turun di landasan pesawat di Kenyam, 23 Maret 2019./ Tempo/Stefanus Teguh Pramono

Laporan Tim Evakuasi Kemanusiaan Nduga yang dibentuk pemerintah setempat menyebutkan, saat perayaan itu, kelompok Egianus marah melihat Jonny Arung, pekerja PT Istaka Karya, memotret upacara bakar batu—upacara adat membakar makanan, biasanya dilengkapi babi, yang ditumpuk batu. “Padahal TPNPB sudah memperingatkan agar para pekerja keluar dari wilayah itu seminggu sebelum peringatan 1 Desember,” ucap anggota tim yang juga pegiat hak asasi manusia di Papua, Theo Hesegem.

Diburu milisi TPNPB, Jonny Arung diselamatkan para pendeta di Gereja Kemah Injil di Papua Jemaat Wuridkal. Kepada Devy Ernis dari Tempo, Direktur Utama Istaka Karya, Sigit Winarto, mengatakan Jonny Arung, yang berasal dari Sulawesi Selatan, ikut menggarap jembatan Kali Yigi-Kali Aurak. “Dia mandor dari subkontraktor kami,” kata Sigit.

Menurut Rumina Kamarigi, warga Desa Karunggame, kelompok Egianus kemudian masuk ke kamp pekerja Istaka Karya. “Penduduk bersembunyi di honai,” ujarnya. Keluar dari rumah adat Papua tersebut keesokan harinya, Rumina menyaksikan para pekerja digiring dengan tangan terikat ke arah Gunung Tabo, sekitar 4 kilometer dari rumahnya. Di sana, gerombolan itu membantai mereka. Sebelas pekerja selamat dan kabur. Tapi, menurut Kepala Penerangan Kodam Cenderawasih Muhammad Aidi, enam orang kembali ditangkap oleh kelompok Egianus. Sisanya kabur menuju pos TNI di Distrik Mbua, tapi dua orang terpisah dari rombongan.

Kelompok Egianus mengepung pos TNI tersebut, lalu menyiramnya dengan peluru dan anak panah sejak pukul enam pagi hingga sembilan malam. Seorang tentara tewas tertembak. Subuh besoknya, memanfaatkan langit gelap, tentara dan karyawan Istaka berhasil kabur. “Sebelum tengah hari, kelompok Egianus juga mundur dari wilayah itu,” kata Esther Gabriela, 38 tahun, yang menyaksikan peristiwa tersebut dari atas bukit.

Juru bicara TPNPB, Sebby Sambom, mengatakan kelompoknya membunuh para pekerja Istaka Karya karena menganggap mereka adalah personel Zeni Tempur yang menyamar. Muhammad Aidi membantahnya. “Istaka Karya bahkan tidak berkoordinasi dengan kami soal pengamanan proyek,” ujarnya. Sekretaris Perusahaan Istaka Karya, Yudi Kristanto, juga mengatakan para pekerja bukan personel militer. Tapi Yudi menyanggah jika perusahaannya disebut tak berkoordinasi dengan TNI.

Kabar penyanderaan sampai ke telinga Regina Gwijangge, 20 tahun, penduduk Yigi. Regina membantu menyelamatkan empat pekerja proyek infrastruktur lain. Tiga di antaranya bukan warga Papua. “Mereka bisa ikut dibunuh,” kata pelajar kelas IV sekolah dasar itu. Malam hari, tanggal 1 Desember, ia membawa mereka menembus hutan menuju Mbua. Dalam perjalanan, ia tergelincir dan jatuh dengan keras. Tangan kirinya patah. Regina lalu menunjukkan arah yang harus ditempuh empat pekerja. Ia kemudian kembali ke rumahnya.

Rumina Kamarigi, penduduk Desa Karunggame, mengatakan, setelah penyerangan itu, sejumlah milisi juga kembali ke Distrik Yigi. Masyarakat pun beraktivitas seperti biasa. Hingga akhirnya, dua hari setelah pembantaian, 4 Desember 2018, tentara dan polisi menggerebek Yigi. Pagi itu, untuk pertama kali Rumina melihat bukan hanya satu, tapi empat helikopter terbang di langit Yigi. Sejurus kemudian, helikopter memuntahkan peluru. Menggendong anak kelimanya yang berusia dua tahun, Rumina tunggang-langgang masuk ke dalam hutan di pinggir distrik.

Warga Desa Yigi, Marenus Gwijangge, 27 tahun, mengaku mendengar suara ledakan. “Semua penduduk berlarian,” ujarnya. Marenus mengaku sempat ditembaki. Merayap di antara rerumputan, ia berhasil masuk ke dalam hutan. Dari kejauhan, ia menyaksikan asap tebal membubung di kampungnya.

Helikopter juga berputar-putar di Distrik Mbua dan Mugi. Tokoh adat di Mbua, Yakub Tabuni, membenarkan kabar bahwa empat helikopter masuk ke kampungnya dan mengeluarkan tembakan ke berbagai penjuru. Di darat, tentara pun mengepung Mbua. “Mereka datang dengan lebih dari 30 mobil,” kata Yakub.

Komandan Batalion 756 yang berbasis di Wamena, Mayor Arif Budi Situmeang, mengatakan tentara menyerbu Gunung Tabo pada 5 Desember karena kelompok Egianus lari ke Tabo. Selama 17 jam mereka baku tembak. Sehari kemudian, tentara berhasil menguasai Tabo dan mengevakuasi sebelas jenazah. Tentara juga menemukan lima jenazah lain di kawasan itu. “Kelompok Egianus berpencar. Tapi kami juga masih ditembaki saat mengevakuasi,” ujar Arif, yang memimpin operasi di Gunung Tabo.

Suasana Kota Kenyam yang lenggang di Nduga, Papua, 27 Maret 2019./ Tempo/Stefanus Teguh Pramono

Dua perempuan asal Mbua bercerita, mereka melihat tentara dari helikopter melemparkan sesuatu yang kemudian menyala. Seorang di antaranya mengaku terkena cairan di kepalanya saat tiarap di antara bebatuan. Ia merasakan rambutnya terbakar. Setelah itu, matanya berkunang-kunang dan kepalanya pusing. Perempuan yang ditemui Tempo di Wamena ini bercerita, ia akhirnya lari ke arah tentara. “Saya diberi obat antipusing,” katanya.

Tim Evakuasi Kemanusiaan Nduga mencatat empat orang tewas dalam serangan di Mbua dan Yigi. Salah satunya Mianus Elokbere, 18 tahun, yang masih kelas III sekolah menengah atas. Juru bicara TPNPB, Sebby Sambom, menuding TNI menggunakan senjata kimia berupa bom fosfor yang membuat tubuh seperti melepuh karena panas yang ditimbulkan bom.

Menurut Komandan Komando Resor Militer 172 Kolonel Jonathan Binsar Parluhutan Sianipar, mustahil tentara menyerang penduduk. “Prosedur kami jelas, yang bawa senjata, itu yang ditembak,” ujarnya. Ia juga menyangkal tudingan penggunaan senjata kimia. “Kami tidak punya senjata kimia,” ucap Jonathan, yang juga Komandan Komando Pelaksana Operasi Wilayah Pegunungan Tengah Papua. Menurut dia, bom yang disebut mengandung fosfor hanyalah granat asap yang digunakan untuk melindungi helikopter yang akan mengevakuasi jenazah pekerja Istaka Karya dan tentara yang tewas.

Sejumlah warga Nduga bercerita, TNI tak hanya sekali memasuki wilayah itu. Mincena Nirigi, 36 tahun, warga Distrik Mapenduma, bercerita, pada 19 Desember 2018 pagi, helikopter TNI masuk ke wilayah itu dan menembak ke berbagai penjuru. Mincena saat itu lari sendirian ke dalam hutan. Ayahnya, pendeta Geyimin Nirigi, sempat ikut mengungsi menjelang subuh. Tapi Geyimin, yang berusia 83 tahun, memilih kembali ke rumahnya setelah berjalan sekitar 2 kilometer karena kakinya sakit. Geyimin sempat mendoakan keselamatan Mincena. “Bapa lalu menyerahkan noken (tas rajutan khas Papua) kepada saya,” ujarnya.

Awal Januari, Mincena yang mengungsi ke Distrik Paro kembali ke rumahnya. Mapenduma, yang terletak sekitar 15 kilometer di barat laut Kenyam, saat itu sudah dikuasai tentara. Di sana ia tak menemukan sang ayah. Tapi, di kebun di belakang rumah, Mincena menemukan sisa pembakaran. Mengais-ngais tanah, ia menemukan tulang-belulang. Kerabat Geyimin, yang tak mau disebutkan namanya, datang ke rumah itu pada Sabtu terakhir Januari. “Ada sejumlah tulang saya temukan,” katanya saat ditemui di Jayapura.

Menurut dia, sisa-sisa kerangka sudah disimpan di tempat tersembunyi. Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua yang juga anggota Tim Evakuasi Kemanusiaan Nduga, Theo Hasegem, mengatakan ada saksi mata yang bercerita bahwa asap mengepul dari belakang rumah itu selama tiga hari. “Kalau benar Bapa Pendeta dibakar, berarti ada pelanggaran hak asasi manusia,” ujar Theo.

Kolonel Jonathan Binsar Parluhutan Sianipar justru mengatakan tak ada tembak-menembak saat TNI masuk ke Mapenduma. “Daerah itu sudah kosong saat TNI tiba,” katanya. Jonathan juga membantah tudingan bahwa anak buahnya membakar pendeta Geyimin. “TNI tak punya tradisi membakar manusia. Justru orang Nduga biasa membakar mayat,” ucapnya.

Jonathan mengatakan polisi dan tentara sudah memeriksa lokasi yang disebut sebagai rumah Geyimin. Menunjukkan video pemeriksaan kawasan itu, dia mengklaim tak ada bukti pembakaran manusia. Jonathan menyilakan keluarga Geyimin melaporkan dugaan pembakaran ke kepolisian. “Biar diusut tuntas dan TNI tidak dituding macam-macam,” ujarnya.

 

JAUH sebelum menjadi daerah otonom yang lepas dari Kabupaten Jayawijaya pada 2008, Nduga sudah menjadi daerah merah atau wilayah yang menjadi basis kelompok pro-kemerdekaan Papua. Pada awal 1996, kelompok yang dipimpin Kelly Kwalik, Panglima Organisasi Papua Merdeka, menyandera sejumlah peneliti yang tergabung dalam Ekspedisi Lorentz 95. Sebagian di antaranya warga negara asing. Bersama Kwalik, ada Daniel Yudas Kogoya dan Elmin Silas Kogeya.

Tim yang dipimpin langsung Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Mayor Jenderal Prabowo Subianto membebaskan sandera—dua di antaranya tewas. Kwalik, yang saat itu berusia 41 tahun, lolos. Pertengahan Desember 2009, ia tewas diberondong peluru polisi di rumahnya di Kampung Gorong-Gorong, Timika.

Kepala Penerangan Kodam Cenderawasih Muhammad Aidi mengatakan, sejak peristiwa tahun 1996, tentara tak hadir lagi di Mapenduma. Menurut dia, kekosongan aparat keamanan di banyak distrik di Nduga, yang luasnya tiga kali Jakarta, membuat gerakan separatis kian subur. “Kalau kita lihat, usia mereka selalu muda. Ini berarti ada regenerasi,” kata Aidi.

Tiga sumber yang terhubung dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat mengatakan mayoritas anggota kelompok itu masih belasan tahun. Egianus Kogeya bahkan belum berusia kepala dua. “Mei nanti usianya 19 tahun,” ujar kakak sepupu Egianus, Raga Kogeya. Menurut Raga, Egianus yang merupakan anak dari Silas Kogeya, meninggal pada 2011, memilih meninggalkan sekolah saat duduk di kelas II SMA di Wamena—versi lain dia anak Daniel Yudas Kogoya. Alasanya, kata Raga, “Dia tidak suka pelajaran Pancasila.” Egianus kemudian bergabung dengan TPNPB. Ia menjadi Panglima Komando Daerah Perang III Ndugama dengan pangkat brigadir jenderal.

Seusai penembakan di landasan Kenyam, kelompok Egianus menyandera 16 guru dan tenaga kesehatan di Distrik Mapenduma pada awal Oktober 2018. Polisi menyebutkan kelompok Egianus memerkosa seorang guru. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Nduga, Jennes Sampouw, juga mengetahui kabar pemerkosaan tersebut. “Saya ketemu guru asal Sulawesi Selatan itu sebelum dia dipulangkan,” ucapnya di Kenyam.

Setelah itu, Dinas Pendidikan menarik para guru yang berasal dari luar Nduga. Begitu pula tenaga kesehatan. “Puskesmas ditinggalkan petugas,” kata Kepala Puskesmas Distrik Mbua, Panius Kogoya.

Raga Kogeya membantah tudingan bahwa kelompok Egianus terlibat pemerkosaan. “Itu dilakukan orang Papua, tapi bukan kelompok Egianus.” Tentara kemerdekaan Papua, menurut Raga, dilarang menyentuh perempuan, termasuk istrinya, saat kondisi perang. Melalui perwakilan TPNPB di Wamena, Tempo menitipkan surat permintaan wawancara kepada Egianus. Tapi ia belum memberikan respons. Menurut Raga, adik sepupunya itu kini selalu berpindah tempat, dari distrik ke distrik, keluar-masuk hutan.

Hingga akhir pekan lalu, TNI dan polisi belum berhasil menumpas kelompok Egianus. Sejak Oktober 2018, tercatat 30 warga sipil, 4 anggota TNI, dan 1 polisi tewas akibat tembak-menembak. “Tapi kami berhasil menduduki basis wilayah mereka untuk memutus aliran logistik,” ucap Kepala Penerangan Kodam Cende-rawasih Muhammad Aidi.

Bupati Nduga, Yarius Gwijangge, mendesak tentara dan polisi ditarik mundur dari wilayahnya. “Sudah terlalu banyak warga Nduga mengungsi,” ujarnya seusai pertemuan dengan para pengungsi di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Rabu, 20 Maret lalu. Tapi tentara menolak. “Kami wajib hadir di sana,” kata Aidi.

Sejak pertempuran pecah di Nduga, ribuan pengungsi keluar dari kabupaten itu. Bagi Seriana, 38 tahun, warga Distrik Mapenduma, ini adalah pengungsiannya yang kedua. Pada 1996, ia mengungsi saat anak pertamanya masih dua bulan dalam kandungan. Desember 2018, ia menyingkir ke Wamena dengan membawa anaknya yang kesembilan. “Saya tidak mau ada episode ketiga,” ujarnya.

STEFANUS PRAMONO (JAYAPURA, JAYAWIJAYA, NDUGA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Stefanus Pramono

Stefanus Pramono

Bekerja di Tempo sejak November 2005, alumni IISIP Jakarta ini menjadi Redaktur Pelaksana Politik dan Hukum. Pernah meliput perang di Suriah dan terlibat dalam sejumlah investigasi lintas negara seperti perdagangan manusia dan Panama Papers. Meraih Kate Webb Prize 2013, penghargaan untuk jurnalis di daerah konflik, serta Adinegoro 2016 dan 2019.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus