Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Trauma Lama Mapenduma

Mengingat peristiwa yang terjadi di tanah kelahirannya, 23 tahun silam, Natina Ubruangge terdiam.

30 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tentara Pertahanan Nasional Organisasi Papua Merdeka Divisi II Makodam Pemka IV Paniai, Papua Barat, Agustus 2012./ Dok TEMPO/Jerry Omona

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perempuan 32 tahun itu menatap kosong. “Luka itu masih terasa sampai sekarang,” katanya lirih saat ditemui Tempo di sebuah rumah di Distrik Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Senin, 18 Maret lalu.

Kala itu, Januari 1996, Panglima Organisasi Papua Merdeka (OPM), Kelly Kwalik, dan pasukannya menawan sejumlah peneliti yang tergabung dalam Ekspedisi Lorentz. Natina menyaksikan para peneliti itu digiring dari kampung ke kampung di Mapenduma, distrik yang kini menjadi bagian Kabupaten Nduga. Sebagai bocah 9 tahun, ia bahkan turut mengantarkan makanan untuk para sandera dan penyandera.

Menurut Natina, aktivitas penduduk tetap berjalan seperti biasa meski penyanderaan itu terjadi di wilayah mereka. Ia terakhir kali membawakan makanan saat para sandera ditempatkan di Kampung Geselema. Setelah itu, ia tak tahu lagi di mana posisi mereka.

Selama sekitar empat bulan, Kelly Kwalik menyandera para peneliti. Hingga akhirnya pasukan yang dipimpin Mayor Jenderal Prabowo Subianto menyerbu wilayah itu dan membebaskan sandera. Pertempuran antara Tentara Nasional Indonesia—saat itu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau ABRI—dan OPM membuat penduduk mengungsi. “Kami ditembaki dari udara,” ujar Natina.

Seorang kepala desa di Mbua yang juga ditemui Tempo di Wamena mengatakan saat itu dia masih duduk di kelas V sekolah dasar. Menghindari pertempuran, lelaki asal Mapenduma ini pun mengungsi ke hutan.

Saat kembali ke rumahnya dari pengungsian pada 1996 itu, Natina dan si kepala desa mengaku menyaksikan beberapa mayat bergelimpangan dan membusuk. Sebagian jenazah malah sudah dimakan binatang. Tentara menguasai penuh Mapenduma.

Natina mendengar cerita dari sejumlah mama tua bahwa terjadi kekerasan di Mapenduma. Ia sendiri menyaksikan aparat memukuli para pemuda berambut keriting dan berkulit legam. Ayah Natina, seorang guru sekaligus pelayan gereja, juga ditahan selama sekitar seminggu. Penyebabnya, namanya mirip dengan anggota OPM yang dicari-cari tentara. Keluar dari penjara, kata Natina, ayahnya terlihat kurus dan lebih sering diam.

Kepala Penerangan Komando Daerah Militer Cenderawasih Kolonel Muhammad Aidi mengatakan operasi di Mapenduma murni pembebasan sandera. “Tak ada serangan terhadap sipil. Justru beberapa penduduk lokal membantu tentara dengan menunjukkan jalan,” ujarnya. Setelah operasi itu, kata Aidi, tentara tak lagi menginjakkan kaki di Nduga.

Hingga akhirnya, pada 19 Desember 2018, TNI kembali masuk ke Mapenduma. Sejumlah pengungsi dari Mapenduma bercerita bahwa helikopter tentara menembak ke segala penjuru. Tapi Komandan Komando Resor Militer 172 Kolonel Jonathan Binsar Parluhutan Sianipar membantah. Menurut dia, helikopter hanya menurunkan tentara dan tak menembak.

Sebagian besar penduduk Mapenduma pun mengungsi. Pegiat hak asasi manusia di Papua, Theo Hasegem, yang berkunjung ke distrik itu pada awal Februari lalu, melihat Mapenduma seperti kota mati. Menurut Theo, hanya ada tentara berjaga di sana. Cuma segelintir penduduk yang bertahan.

Kakak sepupu Egianus Kogeya, Raga Kogeya, mengatakan, sejak peristiwa 1996, Mapenduma menjadi salah satu basis kekuatan kelompok pro-kemerdekaan Papua. Setelah tentara ditarik dari distrik itu, menurut dia, dukungan terhadap kemerdekaan meningkat. “Dari dulu suku Nduga ingin merdeka,” kata Raga.

STEFANUS PRAMONO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Stefanus Pramono

Stefanus Pramono

Bekerja di Tempo sejak November 2005, alumni IISIP Jakarta ini menjadi Redaktur Pelaksana Politik dan Hukum. Pernah meliput perang di Suriah dan terlibat dalam sejumlah investigasi lintas negara seperti perdagangan manusia dan Panama Papers. Meraih Kate Webb Prize 2013, penghargaan untuk jurnalis di daerah konflik, serta Adinegoro 2016 dan 2019.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus