Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bahan baku oleh-oleh dari Ishigaki di Jepang diekspor dari Indonsia.
Orang Indonesia dan Jepang punya hubungan perdagangan sejak lama.
Pekerja Indonesia juga banyak di Okinawa.
NAMANYA beni imo atawa ubi merah. Di toko-toko suvenir Ishigaki atau Naha, ibu kota Provinsi Okinawa, kue ubi itu dikemas rapi dan cantik bertulisan huruf kanji warna merah. Para pelayan toko menyebut kue itu sebagai makanan khas Okinawa dan dijual sebagai oleh-oleh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu kotak beni imo berisi enam potong kue yang dijual 650 yen atau sekitar Rp 70 ribu. Beni imo menjadi makanan khas yang menunjukkan kebudayaan campuran orang Okinawa. "Soalnya tak ada ubi di Okinawa," kata Budi Firmansyah, manajer di sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja Indonesia, awal Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi asal Kuningan, Jawa Barat. Sudah 15 tahun ia tinggal di Okinawa. "Saya baru tahu ubinya dipasok dari Kuningan belum lama ini karena pemilik pabriknya tetangga saya di Kuimai," ujarnya. Tetangga Budi, Pak Tateyuki Takai, itu membangun pabrik pengolahan ubi di Desa Pagundan, Kuningan, sejak 1993, dengan nama PT Galih Estetika Indonesia.
Dua tahun sebelumnya, Takai-san membangun pabrik pengolahan kayu, tas, sumpit bambu, dan garmen, bersama istrinya yang asli orang Kuningan, Elis Rosmiati. Tapi usaha ini tak berkembang karena pesaing di pasar ekspor dari Indonesia berjibun. Takai banting setir mengolah ubi yang ia ekspor ke negaranya.
Rupanya, permintaan dari Jepang mengalir deras karena pesaingnya masih jarang. Untuk memenuhi permintaan, pada 2005 Takai meluaskan pabriknya menjadi 3.200 meter persegi di atas lahan 6.300 meter persegi. Jumlah karyawannya kini 450 orang. Pasar ekspor juga tak semata Jepang, ubi PT Galih kini merambah Korea Selatan.
Dengan lahan subur di kaki Gunung Ceremai, orang Kuningan menanam ubi di kebun mereka. Oleh PT Galih, ubi tersebut diolah menjadi ubi beku, pasta, dan tepung, kemudian dipasarkan ke Jepang melalui pelabuhan Osaka. Dari sana, partner PT Galih menyebarkan tepung ubi itu ke seluruh Jepang, termasuk Okinawa.
Kini PT Galih mengirim ubi olahan mentah itu 200 ton per bulan. Tepung ubi sebanyak itu dihasilkan dari 500 ton ubi mentah. "Sekarang pasokan ubi Kuningan sudah tak cukup," kata General Affair PT Galih Ferry Sabirin kepada Deffan Purnama dari Tempo, dua pekan lalu. "Kami harus mencari ubi dari daerah lain, seperti Garut, Ciamis, Batang, Purbalingga, dan Pekalongan."
Ferry mencari ubi dengan kadar kemanisan 20-24 persen. Kadar ini dipenuhi oleh ubi "anak Ceremai". Sedangkan ubi Bogor dan Jakarta, meski terkenal, kadar kemanisannya hanya 12-19 persen saat mentah.
Ubi olahan setengah matang yang diolah PT Galih Estetika itu masuk ke pelbagai pabrik kue di seluruh Jepang. Di Okinawa, tepungnya diolah menjadi kue beni imo yang menjadi oleh-oleh khas pulau Okinawa dan Ishigaki. "Karena itu, saya sering bingung bawa oleh-oleh jika akan mudik," ujar Budi Firmansyah.
Ia pulang ke Kuningan setiap tiga tahun bersama istri dan dua anaknya. Tetangga dan keluarganya acap meminta dibawakan oleh-oleh Jepang jika ia mengabarkan akan pulang. "Saya bingung karena makanan khas di sini sama dengan makanan khas di Kuningan," kata Budi.
Selain menjual beni imo, toko oleh-oleh di Naha atau Ishigaki menjual pelbagai jenis opak dan rengginang. Kue kering itu juga dijajakan sebagai oleh-oleh khas provinsi ini.
Budi menduga kesamaan makanan antara Indonesia dan Okinawa karena hubungan dagang kerajaan-kerajaan Nusantara dengan Kerajaan Ryukyu yang terjalin sejak abad ke-13. Dari mertuanya, seorang mantan pejabat tinggi di kantor Provinsi Okinawa, Budi mendengar bahwa banyak warga Itoman di selatan Okinawa masih punya hubungan darah dengan pedagang dari Sunda. "Jadi tak mengherankan jika makanannya mirip," ucapnya.
Ketika ditanya soal hubungan kekerabatan ini, sejarawan Universitas Ryukyu, Kurayoshi Takara, belum bisa memastikannya. "Wilayah ini terbentuk 250 tahun yang lalu oleh para nelayan yang mengekspor sirip hiu ke Cina. Dari catatan yang ada, belum ada bukti penduduk di sana datang dari Pajajaran," katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo