Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di samping kebaikan, kita tahu benar ucapan politikus berpotensi menimbulkan keriuhan: kritik, sindiran, keluhan, pengelakan, bantahan, pelintiran, hingga kelakar. Di kehidupan digital, frasa-frasa yang mereka lontarkan gampang menyebar di masyarakat. Frasa itu mungkin berkembang biak atau terpangkas di tengah jalan, dan berpeluang kehilangan konteks asalnya, lantas memicu salah paham.
Dampak ucapan politikus bisa begitu dramatis. Mark Thompson memulai argumennya dalam Enough Said: What's Gone Wrong with the Language of Politics? dengan menceritakan serangan Sarah Palin, dari Republik, terhadap rancangan ObamaCare 2009. Dalam rancangan undang-undang ini terdapat usul agar warga yang sakit parah memiliki akses atas sesi konseling sukarela mengenai akhir hidup mereka, dibiayai asuransi Medicare.
Palin memposting komentar di Facebook dengan menyebut usul itu "panel kematian" (death panel) disertai embel-embel obligatory--mengesankan pemerintah Obama mendorong warga yang sakit parah agar mengakhiri hidupnya. Istilah baru ini cepat viral. Persepsi buruk menular sehingga rancangan ini ditarik. Thompson menyebut "death panel" sebagai contoh Unspeak: frasa yang direkayasa secara cerdik dan diselundupkan ke dalam argumen yang meragukan.
"Death panel" adalah argumen tak lengkap yang mengundang pendengarnya untuk mengisi kekosongan di dalamnya dengan risiko kehilangan konteks. Persepsi publik terbentuk dengan pemahaman yang keliru. Dalam ekosistem politik, fenomena kekacauan sering terjadi dan, menurut Thompson--mantan bos BBC dan CEO The New York Times Company--berasal dari kegagalan politikus dalam berkomunikasi dengan pemilih mereka.
Cara mereka berbicara dan perubahan media modern, menurut Thompson, berkontribusi menciptakan krisis bahasa politik yang dicirikan dusta, demagogi, dan persuasi yang memperdaya. Aroma truthiness kian kental--apa yang tidak benar dikesankan benar. Politikus cenderung mengaburkan makna: ketika sedang berkuasa, mereka mengatakan "kita" padahal yang dimaksud adalah "pemerintah" saya--Thompson mengutip ucapan Tony Blair ketika meyakinkan publik tentang pentingnya serangan Inggris ke Irak.
Penelusuran Thompson sejak masa Roosevelt, Churchill, Reagan, Thatcher, Blair, Berlusconi, hingga Trump menunjukkan bahwa bahasa publik mengalami perubahan: semakin ringkas, bergegas, sekaligus diwarnai muslihat. Media bukan tidak berkontribusi dalam kekacauan ini. Media, kata Thompson, berperan "menyiarkan hanya kata-kata tajam politikus, memangkas informasi menjadi sangat ringkas dan sederhana".
Banyak media mengecilkan ruang bagi orang-orang yang berpikir untuk terlibat dalam wacana rasional. Wacana politik tidak lagi dilandasi oleh prasangka-baik di antara lawan debat. "Hanya pertarungan demi kematian politik, pertarungan di mana setiap senjata linguistik dianggap permainan yang adil," tulis Thompson. Situasi ini menjadi panggung yang hebat bagi orang-orang seperti Trump. Sedangkan Trump, kata Thompson, hanyalah salah satu simptom dari penyakit yang lebih dalam.
Melalui perspektif yang khas ini, Thompson memberi kontribusi berharga dalam konteks kemajuan teknologi, walaupun sebelum Thompson, Plato sudah cemas terhadap pemakaian bahasa oleh politikus. Di Inggris pada abad ke-17, Thomas Hobbes mengungkapkan keprihatinan pula terhadap perang pamflet yang secara fatal melemahkan "linguistic common ground" tempat negara-tertib bergantung. Hampir tiga abad kemudian, dalam esainya, Politics and the English Language (1946), George Orwell mengutarakan ketakutannya akan kekuatan gelap yang mengeksploitasi retorika untuk tujuan busuk. "Peradaban kita dekaden dan bahasa kita secara tak terelakkan berbagi dalam keruntuhan ini," tulis Orwell.
Orwell menulis, cara terbaik untuk melawan balik "kesamaran penuh awan" dari kaum eufimis ialah menggunakan "plain speaking"--bicara polos, tanpa basa-basi. Ironisnya, kata Thompson, plain speaking-lah yang dapat menjelaskan sukses Putin, Farage, Berlusconi, ataupun Trump di panggung politik. Argumen jadi lebih kasar, lebih mentah, lebih terpolarisasi, dan semakin tidak bertumpu pada fakta (di era post-truth, opini bahkan dianggap lebih benar ketimbang fakta).
Thompson menyampaikan kecemasannya terutama karena krisis yang kita hadapi memiliki ciri khusus: akselerasi yang mendorong keadaan berubah luar biasa. Belum pernah bahasa publik didistribusikan secara luas dan cepat seperti sekarang. Kata-kata meluncur melalui ruang-ruang virtual dengan delay amat sangat kecil. Politikus menanam gagasan pada puluhan juta benak orang, bahkan sebelum ia meninggalkan podium.
Ia menawarkan diagnosis yang cukup muram, walau bukan tanpa harapan. Ia meyakini pentingnya diskusi publik yang cerdas dan produktif serta berseru kepada para politikus agar bersikap adil terhadap tiga unsur retorika menurut Aristoteles. Tak hanya menekankan ethos (citra yang ditanamkan pembicara tentang dirinya) dan pathos (menyenangkan hati khalayak pendengarnya), mereka juga harus bersikap adil kepada logos (mengandalkan argumen murni, bukan kepalsuan yang membingungkan publik). Seruan itu niscaya relevan bagi negeri ini.
Dian R. Basuki | blogger indonesiana.tempo.co
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo