Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA belas tahun silam ia datang ke Yogyakarta dengan angan-angan yang sudah ia pendam sejak SMA: kuliah di Kota Gudeg dan kembali ke kampung dengan membawa gelar "SH". Maka, Evi Neliwati, gadis dari Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, ini masuk Fakultas Hukum Universitas Janabadra.
Tapi, rencana tinggal rencana. Di kota pelajar, dara kelahiran 12 Juni 1977 itu kepincut panjat dinding. Olahraga keras ini dikenalnya saat ikut kegiatan pencinta alam di universitasnya dan bergabung dengan Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Islam Indonesia (UII). "Awalnya
cuma ingin tahu," ujar Evi.
Rupanya, ia ketagihan. Dari sekadar mencoba, lantas jadi hobi. Evi pun ikut lomba panjat dinding antarkampus. Namanya mulai dikenal setelah berkali-kali jadi juara. Kegiatan ini berdampak ke kuliahnya. Diktat-diktat hukum semakin jarang disentuh. "Semester lima, saya memutuskan berhenti," ujar putri keempat (dari sembilan bersaudara) pasangan Nurdin dan Wasnawati ini.
Orang tuanya di Lubuk Linggau terperanjat mendengar anak gadisnya berhenti kuliah. "Tapi saya harus memilih," ujarnya. Evi telah bertekad menekuni habis-habisan panjat dinding.
Keputusan itu ternyata tidak keliru. Tak hanya di Yogya Evi berprestasi. Ia jadi juara pertama lomba panjat dinding nasional untuk kategori kecepatan, sepanjang 1997-2006. Di tingkat internasional ia juga berjaya. Pada 2002 dan 2006 "perempuan cicak dari Linggau" ini menyabet gelar juara pertama lomba panjat dinding Extreme Game di Kuala Lumpur, Malaysia. Setahun sebelumnya, pada 2005 di Bangkok, ia jadi pemenang pertama pada Asian Indoor.
Prestasi paling gres diraihnya Agustus silam. Ia jadi juara pertama Singapore Expo. Pada kejuaraan ini, ia juga memecahkan rekor dunia memanjat dinding setinggi 16 meter. Dinding setinggi itu dipanjatnya dalam tempo 9 detik. Rekor ini belum terpatahkan sampai kini. Sepekan sebelumnya di negara yang sama, ia juga menjuarai kompetisi panjat dinding Safra Singapore Open. "Selain piala, hadiahnya juga uang," ujar perempuan yang kini bergabung dalam tim atlet panjat dinding Jawa Timur itu.
Semuanya diraih dengan kerja keras. Evi berlatih setiap hari dari pukul 08.00 hingga 14.00. "Sore latihan lagi sampai malam," ujarnya. Sebagai selingan, sesekali ia mencebur ke kolam renang atau pergi berdua dengan sang pacar menonton film. Tahun depan Evi akan ikut Kejuaraan Asia Panjat Dinding Indoor di Makau. Setelah itu ia berencana mengakhiri masa lajangnya.
Ada hikmah lain yang didapatnya dari olahraga yang oleh sebagian orang diidentikkan dengan "kegiatan laki-laki" itu. Keluarga dan lingkungannya kini tak membeda-bedakan antara lelaki dan perempuan. Melalui cara ini, katanya, ia sudah ikut berpartisipasi mendidik masyarakat tentang persamaan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan.
Seperti Evi, Agung Etti Hendrawati juga punya "kegilaan" menggeluti olahraga panjang dinding. Pilihan terjun total ke olahraga ini diambil Eta-demikian biasa ia dipanggil-setelah lulus SMA pada 1993. "Karena saya suka olahraga di alam bebas," ujarnya.
Perempuan kelahiran Gunungkidul, Yogyakarta, 11 Mei 1975, ini mula-mula bergabung dengan klub Apache, Yogyakarta, pada 1993. Tiga bulan berlatih, Eta lalu ikut kejuaraan nasional tingkat pemula di Malang. Hasilnya tak mengecewakan. Ia meraih peringkat keempat. Sejak itu semangatnya untuk meraih prestasi lebih tinggi berkobar-kobar.
Setahun kemudian, ia mengikuti kejuaraan nasional di Jakarta. Di ajang yang pesertanya antara lain para pemanjat senior itu, ia juara kedua. Dua tahun kemudian impiannya jadi juara pertama terwujud. "Saya senang sekali," ujar perempuan yang kini bersuami atlet nasional panjat dinding Nur Rohman Rosyid dan juga sahabat dekat Evi ini.
Eta hampir tak pernah absen mengikuti kompetisi panjat dinding di dalam maupun luar negeri. Di tingkat internasional, ia pernah meraih medali perak pada lomba panjat dinding di Teheran, 1997. Dua tahun kemudian ia menjuarai lomba serupa di Thailand. Pada ajang Summer-X Games di San Francisco tahun 1999, Eta meraih medali perunggu. Setahun kemudian prestasi itu ia perbaiki dengan menyabet medali emas.
Kejuaraan yang tak terlupakan adalah World Cup Speed Rock, yang digelar di Val Daone, Italia, pada 2004. Di situ, "anak Gunungkidul" ini memecahkan rekor dunia untuk nomor speed climbing dengan catatan waktu 27,43 detik untuk kategori semifinal. Rekor dunia sebelumnya di tangan pemanjat dinding asal Ukraina, Elena Repko, 30,01 detik. Tapi, di final, ia kalah dengan atlet Ukraina yang juga idolanya itu. Pada 2005 ia kembali menorehkan prestasinya untuk nomor speed climbing pada kejuaraan di Italia. Ia membukukan waktu 26 detik, memperbaiki rekor atas namanya sendiri yang dicetak setahun sebelumnya.
Eta kerap menitikkan air mata jika mengikuti upacara penyerahan hadiah. Hatinya selalu bergetar setiap kali bendera Merah Putih dikibarkan saat ia menerima medali sebagai juara. "Padahal, waktu upacara bendera di sekolah dulu, saya sering cengengesan," ujarnya sambil tersenyum.
Sepanjang 2006 ini ia absen dari berbagai ajang kompetisi kejuaraan panjat dinding. Eta harus istirahat lantaran hamil dan kemudian mengasuh bayinya. Tapi, sejak Agustus lalu ia mulai berlatih lagi mengembalikan keperkasaan tangan dan kakinya. Tahun depan, ia akan ikut kompetisi World Cup Speed Rock-masih di Italia. Jika latihan, bayinya yang berumur delapan bulan tak lupa dibawanya. "Walau hidup di dunia maskulin, saya tetap menikmati peran saya sebagai istri dan ibu," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo