Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CUACA musim semi merebak pada Sabtu, 4 Mei 2024, tatkala sekelompok orang berkumpul di Centrale Markthallen, Amsterdam Westerpark, wilayah barat ibu kota Belanda tersebut. Udara menghangat dan tampak orang-orang tidak lagi mengenakan pakaian tebal musim dingin. Di depan pusat penjualan sayur-mayur dan buah-buahan terbesar Amsterdam, tampak sudah tersedia semacam kereta yang ditarik mobil membawa sekitar 70 pengunjung masuk gedung Markthallen. Mereka datang untuk menyaksikan penampilan dua perempuan, seorang ibu dan putrinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baik sang ibu, Sari Roels-Sianturi, maupun sang putri, Nastasja Ilonka Roels, berkisah tentang Evy Poetiray (nama lengkapnya Georgine Eveline Poetiray) yang merupakan ibu Sari dan, dengan begitu, nenek Nastasja. Kedua ibu-anak itu ambil bagian dalam acara “Open joodse huizen en huizen van verzet” (Buka-buka rumah Yahudi dan rumah perlawanan).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diselenggarakan oleh sebuah komite pada 4 dan 5 Mei 2024, di Amsterdam, acara tahunan ini mengundang warga Amsterdam untuk mengenang pelbagai langkah perlawanan dan heroisme yang dilancarkan warga ibu kota Belanda terhadap Nazi Jerman yang selama Perang Dunia II menduduki Negeri Kincir Angin.
Evy Poetiray (kanan) bersama Toeti Soedjanadiwirja dan Mimi Soetiasmi Soejono. Repro Vertrouwd en vreemd: Ontmoetingen tussen Nederland, Indië en Indonesië
Tahun ini, peringatan perlawanan semasa Perang Dunia II khusus menekuni peran kaum perempuan. Maka Sari dan Nastasja mengawali penjelasan mereka dengan peristiwa yang terjadi persis di gedung Markthallen pada Sabtu malam, 2 Februari 1946. Pada malam musim dingin itu berlangsung rapat umum untuk mendesak pemerintah Belanda supaya tidak menggunakan kekerasan senjata dalam menangani konflik dengan Indonesia. Konflik pecah karena Belanda tidak mau menerima proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan menganggap Indonesia tetap sebagai wilayahnya.
Sebagai satu-satunya perempuan dari sepuluh pembicara, di hadapan sampai 20 ribu warga Amsterdam, Evy Poetiray lantang berseru: “Rakyat Belanda, bersediakah kalian untuk 100 persen mengakui hak rakyat Indonesia dalam menentukan nasib sendiri?” Segera massa besar hadirin itu berteriak satu suara: “Ya!” Seruan itu tidak hanya memenuhi ruangan besar Markthallen, tapi juga bergema sampai ke Den Haag, pusat pemerintahan Belanda.
Evy Poetiray (baris kedua dari atas, keempat dari kanan) saat acara mengenang Kartini di clubhouse Indonesia di Hugo de Grootstraat 12, Leiden, Belanda, 1939. Leiden University Libraries/KILTV
Nastasja Roels bertutur, “Tapi seperti kita semua tahu, keadaan berjalan lain dari yang diharapkan. Mengapa nenek saya berdiri di sini?” Itulah kisah yang mereka berdua tuturkan pada Sabtu itu. “Yang jelas,” demikian Sari Sianturi menjelaskan, “Ibu saya adalah seorang perempuan yang luar biasa.” Pernyataan yang dituturkan sambil bertepuk dada ini tidak berlebihan. Maklum, Evy Poetiray terlibat dalam perlawanan di Belanda selama Perang Dunia II untuk kemudian berjuang bagi kemerdekaan Indonesia. Dia meninggalkan Hindia Belanda pada 1936 untuk menempuh pendidikan menjadi analis kimia di Belanda. Sepuluh tahun kemudian, pada 1946, Evy kembali ke Indonesia yang telah merdeka.
Belakangan, Evy Poetiray beberapa kali tampil dalam media massa Belanda. Padahal perjalanan hidupnya tampaknya tidak begitu dikenal di Tanah Air. Dalam peringatan korban Perang Dunia II tahun lalu, stasiun televisi nasional NOS menampilkan Charlie Chan Dagelet, salah seorang aktor populer Belanda. Berperan sebagai Evy Poetiray, dia berkisah tentang aktivitas dalam melakukan verzet (perlawanan).
Misalnya ia mementaskan tari-tarian daerah (padahal Evy mengaku tidak berbakat menari) guna mengelabui prajurit Jerman yang bermarkas di Koloniaal Instituut yang kelak dikenal sebagai Tropenmuseum. Maklum, di ruang bawah tanah museum itu orang sibuk mencetak selebaran gelap anti-Jerman.
Evy adalah salah satu kurir dengan tugas mengedarkan selebaran gelap. Sebagai Evy, aktris Charlie Dagelet juga menjelaskan bagaimana ia ikut menyembunyikan bayi-bayi Yahudi dari kejaran prajurit Nazi. Sebelum saat itu, pada 2022, Sari Sianturi sudah diwawancarai oleh stasiun televisi Max tentang ibunya. Lebih rinci lagi, Sari bertutur bagaimana ibunya membawa koran ilegal dalam kereta api dari Amsterdam ke Haarlem. Evy tanpa gentar menantang pasukan pendudukan Jerman yang ketat mengawasi kota-kota Belanda.
Menariknya, riwayat perjuangan Evy Poetiray tidak hanya tampil dalam media massa Belanda. Pengunjung Verzetsmuseum atau Museum Perlawanan, Amsterdam, juga akan berpapasan dengan perempuan keturunan Maluku yang lahir di Besuki, Situbondo, Jawa Timur, pada 1918 ini. Pertama-tama, begitu masuk Museum Perlawanan yang pada 2022 memperbarui penataan pamerannya, pengunjung memperoleh penjelasan tentang wilayah Kerajaan Belanda. Tatkala Perang Dunia II pecah di Eropa pada 1939, wilayah jajahan Belanda masih meliputi Hindia Belanda di belahan bumi timur serta Suriname dan Antilla di belahan bumi barat.
Pada 1942, Jepang menduduki Hindia Belanda. “Sekarang kita kehilangan semuanya,” demikian seorang warga Belanda menulis dalam buku hariannya. Tulisan itu tertera pada tembok kiri satu kamar khusus yang disediakan untuk memamerkan situasi wilayah jajahan. Begitu masuk, seorang pengunjung langsung melihat tembok yang memuat foto Evy Poetiray serta uraian kegiatannya. Pada titik ini Museum Perlawanan meninggalkan kolonialisme sebagai titik tolak pamerannya. Perhatian lebih dipusatkan pada upaya warga wilayah jajahan, terutama Indonesia, mencapai kemerdekaan dan bebas dari penjajahan Belanda. Suriname yang baru merdeka pada 1975 jelas berada di luar cakupan.
Pemberitaan dan foto Evy Poetiray dalam harian Het Parool edisi Desember 1946. delpher.nl
Seperti sebagian besar mahasiswa Indonesia lain, Evy juga menjadi anggota Perhimpoenan Indonesia—sering disingkat PI. Demikian tertera pada penjelasan tentang perkumpulan mahasiswa yang aktif di pelbagai universitas Belanda sebelum perang. Para anggota PI memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan melawan penjajahan Belanda. Bukan hanya itu, mereka anti-rezim Nazi yang rasis yang pada Mei 1940 mulai menduduki Belanda. Apakah dengan begitu PI berpihak kepada kaum penjajah? “Ya,” kata pengurus PI yang lebih lanjut berseru kepada para anggota untuk melibatkan diri dalam verzet terhadap pendudukan Nazi Jerman.
Masih ada satu lagi aktivitas perlawanan yang dilakukan Evy Poetiray. Ia juga menyibukkan diri dengan upaya mencapai Indonesia merdeka. Ini dilakukannya melalui Indonesische Christen Jongeren (ICJ), organisasi pemuda Kristen Indonesia di Belanda, karena penguasa pendudukan Jerman tidak melarang organisasi keagamaan. Pelbagai partai politik yang anti-Nazi, seperti partai komunis Belanda, langsung dilarang begitu Belanda diduduki pada 1940. ICJ merupakan kedok bagi Evy untuk mengadakan pertemuan dengan pihak perlawanan Belanda. Dia mengatakan, “Karena mengalami sendiri pendudukan asing, orang-orang Belanda ini akhirnya dapat memahami perjuangan Indonesia. Mereka sendiri menulis artikel-artikel tentang Indonesia merdeka.”
Evy Poetiray dan Nastasja Ilonka Roels di Pulogebang, Jakarta, Juni 2013. Dok Pribadi
Dalam wawancara pada 2010 dengan wartawan dan penulis Belanda, Herman Keppy, Evy yang waktu itu sudah berusia 92 tahun menjelaskan, tatkala bertolak ke Belanda pada umur 18 tahun, dia sama sekali buta politik. Kesadaran tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia baru muncul di Belanda ketika dia berkenalan dengan mahasiswa Indonesia lain yang aktif berpolitik dalam Perhimpoenan Indonesia. Sebagai keturunan Maluku di Tanah Air, dia dididik berbahasa Belanda. Bahasa Indonesia baru dipelajarinya di Belanda.
Selain menyuguhkan kisah Evy Poetiray, Museum Perlawanan menampilkan satu tokoh Indonesia lagi, yakni Setyadjit Soegondo. Selama perang yang berlangsung lima tahun, Setyadjit bersembunyi di rumah istrinya, Elly Soumokil, di wilayah De Jordaan, Amsterdam-Centrum (pusat). Dari situ dia memimpin perlawanan Indonesia yang dengan lebih ketat organisasinya. Sel-sel PI dalam jumlah yang berarti aktif di Amsterdam, Leiden, dan Den Haag.
Setyadjit juga berunding dengan kelompok perlawanan Belanda mengenai kemerdekaan Indonesia sesudah perang. Perundingan yang diselenggarakan oleh ICJ ini diatur oleh Evy, salah seorang pengurusnya. Inilah kesempatan bagi Setyadjit untuk keluar dari persembunyian dan bertemu dengan orang lain. Jelas terlihat bahwa, walaupun melawan Nazi Jerman, mahasiswa Indonesia di Belanda yang jumlahnya 800-1.000 orang tetap aktif berjuang bagi kemerdekaan tanah air mereka.
Begitu Perang Dunia II usai, Setyadjit langsung terjun ke dunia politik. Dengan beberapa orang Indonesia lain, dia menjadi anggota Nood-Parlement alias parlemen darurat. Tapi tidak ada yang bisa mereka capai. Kecewa, Setyadjit, Evy, dan sekitar 300 orang Indonesia lain pulang kampung pada 1946. Museum Perlawanan menegaskan bahwa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Belanda tidak hendak melepas jajahannya dan melancarkan perang terhadap para pejuang kemerdekaan Indonesia. Selama perang mempertahankan kemerdekaan itu, Setyadjit ditunjuk menjadi wakil perdana menteri di bawah Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin. Pada 1948, pecah apa yang disebut Madiun Affair. Bersama sepuluh tokoh lain, Setyadjit dieksekusi, termasuk dua tokoh perlawanan Indonesia di Belanda, yaitu Maroeto Daroesman dan Soeripno.
Baru setelah empat tahun perang mempertahankan kemerdekaan, pada 27 Desember 1949, atas desakan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Amerika Serikat (yang mengancam menghentikan Marshall Plan, yaitu dana bantuan pemulihan perang), Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Demikian yang terbaca pada bagian ujung pameran di Museum Perlawanan. Dengan kalimat itu, kembali terlibat bahwa museum ini memilih menggunakan versi Indonesia.
Tidak ada lagi versi Belanda seperti politionele acties (aksi polisional yang kita kenal sebagai agresi militer). Di Belanda, peristiwa pada akhir 1949 ini selalu disebut soevereiniteitsoverdracht, yaitu serah-terima kedaulatan, karena pemerintah Den Haag tidak bersedia mengakui Proklamasi 17 Agustus 1945. Dengan menggunakan versi Indonesia (pengakuan kedaulatan), Museum Perlawanan juga, secara tidak langsung, menunjukkan perbedaan perlawanan Belanda/Yahudi dengan perlawanan Indonesia.
Perlawanan Belanda/Yahudi berakhir begitu Jerman menyerah kalah pada musim semi 1945, sementara perlawanan Indonesia terus berlanjut sampai akhir 1949.
Potret Setyadjit Soegondo di Museum Perlawanan, Amsterdam, Belanda. Joss Wibisono
Pada akhir pameran, menjelang pintu keluar, tampil keturunan para pahlawan perlawanan Belanda dalam layar lebar. Salah satunya Nastasja Roels, cucu Evy Poetiray. Nastasja mengatakan bahwa beberapa gagasan yang mendiskriminasi secara tidak sadar kini sudah menjadi kaidah. “Kita harus berupaya memahami asal-usulnya dan memikirkan apa yang dapat kita lakukan untuk mengubahnya.” Dengan begitu, Nastasja jelas mengaitkan masa lampau pendudukan Nazi Jerman dengan situasi Belanda sekarang yang kurang begitu toleran, terutama dengan tampilnya kalangan ekstrem kanan yang tidak menoleransi perbedaan.
Ditemui Tempo seminggu setelah tampil, Nastasja Roels menyatakan pengakuan atas peran neneknya dan peran kalangan dari wilayah jajahan Belanda lain semasa perlawanan adalah perkembangan yang penting dan positif. “Kebebasan itu penting bagi siapa saja,” katanya. “Dan orang harus bekerja sama untuk mencapainya dan kemudian merawatnya.” Dia berkata sering memperoleh pertanyaan mengapa neneknya sudi membantu Belanda. Bukankah Belanda penjajah Indonesia? Pertanyaan seperti itu, menurut dia, menegaskan bahwa kebebasan memang untuk siapa saja.
Begitu Belanda bebas dari pendudukan Nazi, Nastasja mengamati kebersamaan yang erat di kalangan perlawanan mulai luntur. Demikian pula solidaritas yang berkembang semasa pendudukan Nazi mendadak tidak terasa lagi. Pada masa pendudukan Nazi, kalangan perlawanan ini berunding untuk kemerdekaan Indonesia, bahkan Ratu Wilhelmina berjanji Belanda akan berdiri sama tinggi dengan Indonesia. “Tiba-tiba orang Indonesia merasa mereka berjuang sendirian. Tidak ada lagi solidaritas orang Belanda.”
Nastasja berpendapat bahwa, sesudah Belanda bebas, neneknya merasa dikhianati. Prinsip kebebasan dan demokrasi tetap tidak berubah serta bermakna sama bagi siapa saja. Hanya orang Belanda yang menjauh dari orang Indonesia. Itulah rasa frustrasi orang Indonesia, termasuk Evy.
Ketika kini hampir 80 tahun berlalu sejak Nazi bertekuk lutut dan Perang Dunia II di Eropa berakhir, bagi Nastasja makin jelas bahwa neneknya telah berperan dalam sejarah perlawanan dan pembebasan Amsterdam, kota tempat tinggalnya yang juga adalah ibu kota Belanda. Lahir di Leiden, sebagai anak diplomat dia dibesarkan di mana-mana, tapi tidak pernah di Amsterdam. Meski begitu, peran neneknya yang begitu heroik dalam perjuangan Amsterdam membuatnya makin merasa bahwa di Amsterdam-lah dirinya berakar.
Tatkala kini Belanda umumnya dan Amsterdam khususnya sudah banyak tahu tentang peran neneknya, bagaimana Nastasja Roels melihat peran Evy Poetiray di Indonesia yang tidak begitu mengenalnya? Inilah rencana masa depan Nastasja yang akan meneliti peran Evy di Belanda, terutama di Indonesia. Dia tidak hanya berpikir untuk menerbitkan kajian historis mengenai sang nenek, tapi juga membuat film dokumenter yang dapat lebih banyak menjangkau khalayak luas.
Ketika ditemui Tempo di rumahnya di Oegstgeest (dekat Leiden), Sari Roels-Sianturi, ibu Nastasja, langsung menegaskan bahwa dari Evy Poetiray, ibunya, dia tidak pernah mendengar langsung pengalaman selama ikut perlawanan semasa Perang Dunia II. Tapi Sari segera menunjuk setumpuk dokumen di mejanya. Itulah naskah ketikan yang berisi pelbagai riwayat perlawanan Evy selama Perang Dunia II.
Ditulis dalam dua bahasa, Belanda dan Indonesia, pada paruh kedua 1970-an, naskah ketikan itu jelas menunjukkan upaya Evy menulis buku. Sari menduga keras bahwa dengan menulis tampaknya pada masa itu ibunya kembali ingat pada zaman dia aktif dalam perlawanan terhadap Nazi. “Pada usia akhir 50 tahun, ingatan itu datang kembali, makanya ibu saya menulis.”
“Hanya, saya tidak mengerti mengapa penulisan ini berhenti di tengah jalan, tidak dilanjutkan sampai selesai,” tutur Sari penuh tanda tanya. Sesudah 1970-an, waktu masih panjang sebelum ibunya meninggal pada 2016 di usia 98 tahun. “Masih ada waktu panjang, sebenarnya,” ucap Sari.
Naskah ini akan menjadi bahan penting putrinya, Nastasja, untuk menyusun sejarah perlawanan sang nenek. Yang jelas, sebelum sejauh itu, berkat naskah ibunya yang sudah dibacanya tersebut, Sari dapat menjawab pelbagai pertanyaan yang diajukan kepadanya dalam sejumlah wawancara di Belanda.
Dia mengaku senang dan bangga ketika sekarang ibunya memperoleh perhatian besar di Belanda. Apalagi karena ibunya adalah orang Indonesia yang kemudian melanjutkan perjuangan melawan Belanda sendiri. Ini dianggapnya merupakan penghargaan dan pengakuan atas jerih payah perjuangan ibunya oleh Belanda, si bekas penjajah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo