Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Taktik Evy Poetiray Melawan Belanda

Sekelumit kisah taktik Evy Poetiray (1918-2016) dalam menghadapi Belanda. 

14 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAMA sebelum penyelenggaraan, pers Belanda sudah memberitakan rencana rapat akbar yang digelar di Markthallen pada Sabtu malam, 2 Februari 1946. Sebulan sebelumnya, harian De Waarheid, pada edisi 8 Januari 1946, misalnya, memberitakan bahwa rapat umum itu bersemboyan “Bukan perang rakyat melawan rakyat, melainkan kerja sama sukarela”. Juga disebut tiga nama yang akan tampil sebagai pembicara, antara lain “Nona Eveline Poetiray, pengurus Perhimpoenan Indonesia”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mingguan berita De Vlam edisi 26 Januari 1946 mewartakan bahwa manifestasi itu diselenggarakan oleh Vereeniging Nederland-Indonesia (Perhimpunan Belanda-Indonesia). Tujuannya adalah menyatukan semua unsur progresif dari segenap arah dan aliran guna mendukung serta mendorong politik progresif pemerintah Belanda dalam masalah Indonesia. Untuk memudahkan hadirin datang berbondong-bondong ke Markthallen yang waktu itu sudah merupakan pusat grosir sayur-mayur dan buah-buahan Amsterdam, trem khusus akan disediakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemberitaan pers meluap pada Senin, 4 Februari 1946 (pada Ahad, koran di Belanda tidak terbit sampai sekarang). Baru sepuluh bulan kembali menikmati pers bebas (setelah lima tahun tidak bebas semasa pendudukan Nazi), terasa sekali betapa pemberitaan itu tidak ingin melewatkan butir-butir penting yang diucapkan para orator. Rangkaian pidato itu tidak diberitakan berdasarkan topik, melainkan berdasarkan pengucap pidato.

Halaman depan paling sedikit dua koran memasang foto Eveline Poetiray, yang disapa Evy Poetiray, tengah berpidato dengan berkain kebaya. Di atasnya terdapat foto hadirin dalam jumlah sangat besar, diperkirakan sampai 20 ribu orang. Harian Amsterdam, Het Parool (yang semasa pendudukan Nazi terbit sebagai koran bawah tanah dan Eveline Poetiray ikut mengedarkannya), menyebutkan suara Evy simpatik, berpidato dengan tenang mengenai hak rakyat Indonesia untuk menentukan nasib sendiri, sesuai dengan Atlantic Charter yang juga ditandatangani oleh Belanda. Pada bagian tertentu, Evy terdengar berapi-api dengan dorongan jiwa yang penuh tekad dan kepastian, demikian penjelasan Het Parool lebih lanjut. Setiap kali semangatnya berkobar, Evy selalu disambut dengan elu-eluan dan tepuk tangan meriah massa.

Cuplikan berita tentang Evy Poetiray di koran Belanda, Het Parool, 4 Februari 1946. delpher.nl

Dalam catatannya sendiri, Evy Poetiray mengenang saat-saat dia berpidato di hadapan puluhan ribu warga Amsterdam yang secara massal berbondong-bondong ke Markthallen. Di rumahnya di Oegstgeest, dekat Leiden, Sari Roels-Sianturi, salah satu putri Evy, membacakan cuplikan kenangan ibunya berikut ini,

“Saya sendiri berpidato sebagai wakil masyarakat Indonesia di Belanda. Pada kesempatan itu saya tidak dapat menolak godaan untuk menyeleweng sedikit dari keputusan rapat. Karena saya ajukan pertanyaan kepada massa rapat: Saudara-saudara mengakui hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan Atlantic Charter? Ya atau tidak? Spontan hadirin berteriak ‘Ya’. Saya lanjutkan pidato, Saudara-saudara, rakyat Indonesia telah menentukan untuk memproklamasikan Republik Indonesia, apakah itu hak mereka atau tidak? Sekali lagi seluruh rapat berteriak, ‘Ya‘. Dengan tenang saya menjawab, terima kasih kawan-kawan, semoga rakyat Belanda mengakui Republik Indonesia.”

Evy Poetiray kemudian mengaku telah menerapkan taktik tertentu menghadapi Belanda karena dia tahu di Belanda ada kalangan-kalangan yang disebutnya kolot dan kolonial hendak kembali berkuasa di Indonesia. Sari Sianturi berlanjut membacakan tulisan ibunya.

“Atas kelicikan saya ini, saya menerima sambutan riuh dari para hadirin. Tetapi tentu tokoh-tokoh politik progresif agak tersenyum kecut, mereka merasa terjebak. Ini dikatakan terus terang oleh Mr. De Dreu, wethouder (wakil wali kota) Amsterdam yang juga bekas anggota Volksraad dan termasuk golongan ethis di Indonesia. Dialah yang mengusulkan agar saya berpidato karena dia katakan, ‘Anda tidak menepati kesepakatan kita bersama, Nona.’ Saya tersenyum-senyum seolah tidak mengerti apa yang dimaksudkannya. Saya sebetulnya merasa menyesal, tapi apa boleh buat, perjuangan kadang-kadang memaksa kita untuk main licik sedikit.”

Harian Algemeen Handelsblad pada edisi Senin, 4 Februari 1946, tidak memasang foto dan menempatkan berita itu di halaman kedua, tapi menambahkan satu hal yang istimewa. Harian itu menuliskan bahwa rapat akbar tersebut diawali dan diakhiri dengan pengumandangan lagu kebangsaan kedua negara. Pertama-tama diperdengarkan “Het Wilhelmus”, lagu kebangsaan Belanda, kemudian “Indonesia Raya”. Besar kemungkinan inilah untuk pertama kalinya lagu kebangsaan Indonesia berkumandang secara publik di Belanda. Selain itu, tertulis di Algemeen Handelsblad, bendera merah-putih-biru (bendera Belanda) dan merah-putih memenuhi ruangan besar Markthallen.

Masih ada satu peristiwa penting lain yang berlangsung seharian pada Senin, 4 Februari 1946. Hal itu tak lain adalah pemogokan trem dalam rangka mendukung rapat massal menentang pengiriman tentara ke Indonesia. Evy Poetiray melihat sendiri para pengemudi trem mogok kerja. Berikut ini catatannya yang kembali dibacakan oleh Sari Sianturi.

“Pada tanggal 4 Februari 1946 di Amsterdam berlangsung pemogokan trem dalam rangka aksi menentang pengiriman pasukan ke Indonesia. Pada waktu itu trem adalah satu-satunya angkutan umum di Amsterdam. Aksi pemogokan ini dimulai di pusat kota, seluruh pasukan trem berjalan dengan teratur dan mengenakan pakaian dinas mereka sambil membawa poster-poster yang memprotes rencana pengiriman tentara ke Indonesia. Kebetulan saya dengan kagum dan merasa berterima kasih berdiri di pinggir jalan untuk ikut menyaksikan barisan karyawan trem ini. Tahu-tahu datang seorang bapak setengah tua yang mengenakan pakaian montir, dia pukul dengan keras pundak saya sebagai tanda persaudaraan dan mengatakan, ‘Nah, gadis hitam, bagaimana pendapatmu, ini kami lakukan untuk kalian, kan?' Saya merasa solider dengannya, saya ambil tangannya dan saya katakan sambil berjabat tangan, ‘Maksud Anda untuk kita bersama, ya?’ Lalu dia tertawa melanjutkan perjalanannya.” 

Nastasja Roels menilai jawaban neneknya ini bermakna sangat penting, seperti juga Sari Sianturi, ibu Nastasja. Penegasan “untuk kita bersama” tersebut berarti bahwa bagi Evy kebebasan bukan hanya penting bagi orang Indonesia yang berjuang untuk kemerdekaan dari penjajahan Belanda, tapi juga penting bagi Belanda sendiri yang sementara itu sudah berhasil membebaskan diri (berkat pasukan sekutu) dari pendudukan Nazi Jerman.

Sari Sianturi (kiri) dan Nastasja Ilonka Roels di Markthallen, Amsterdam, Belanda, 4 Mei 2024. Joss Wibisono

Menurut Evy, pada 1946 saat itu, pemerintah Belanda terus-menerus didesak oleh pihak kanan kolonial kolot untuk mengirim tentara Belanda ke Indonesia dalam rangka menghancurkan kaum ekstremis, sebutan bagi kalangan revolusioner yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di pihak lain, kaum progresif yang anti-pengiriman pasukan mengadakan rapat akbar di mana-mana di semua penjuru negeri Belanda. Selain di Amsterdam, Evy diundang berpidato di beberapa kota lain, antara lain Rotterdam.

Di Rotterdam, Evy berbicara di depan sekitar 5.000 ibu yang anak-anak mereka dikirim dalam pasukan ke Indonesia. Dia sadar risiko ditangkap kalau sampai berani menyerukan dienstweigering atau menolak wajib militer. Dengan cerdik dia menggugah perasaan ibu-ibu yang mengundangnya. Evy bertutur tentang seorang prajurit Belanda yang di Indonesia bertugas di daerah rawa-rawa penuh nyamuk. Dia tertembak ketika tengah menulis surat. Peluru menembus tubuh si prajurit tatkala kalimat terakhirnya belum selesai. Hadirin dibuatnya sangat terharu, banyak yang berlinang air mata.

Penampilan terakhir Evy Poetiray adalah di Amsterdam pada Jumat, 15 November 1946, di Hotel Krasnapolsky (di depan Istana De Dam). Atas undangan Komite Aksi Melawan Perang di Indonesia, Evy berbicara mengenai nasionalisme Indonesia bersama tokoh partai buruh, Jef Last, yang tampil membahas posisi partai sosial demokrat Belanda dalam masalah kemerdekaan Indonesia.

Di balik kesibukan ini, akhirnya Evy Poetiray memutuskan kembali ke Indonesia. Evy dan anggota Perhimpoenan Indonesia lain mengambil langkah ini ketika tahu bahwa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Selain rindu Tanah Air, mereka berpendapat bahwa kehadiran mereka di kampung halaman akan jauh lebih bermanfaat dibanding tetap berada di Belanda. Waktu itu sekitar 300 orang Indonesia berlayar pulang menggunakan kapal Weltevreden. Perpisahan dengan negeri penjajah ternyata berat juga, tidak segampang mengambil keputusan pulang kampung. Harian De Waarheid edisi 21 November 1946 memuat lengkap surat perpisahan yang ditulis pengurus Perhimpoenan Indonesia untuk khalayak ramai Belanda.

Tertera bahwa banyak orang Indonesia telah menjalin hubungan keluarga di Belanda. Ada pula yang telah mempercayakan jenazah sesama orang Indonesia untuk dimakamkan di bumi asing Belanda. Akankah masa-masa paling sulit lima tahun perang terlupakan begitu saja? Waktu itu, dengan Belanda, orang-orang Indonesia sudah berbagi kasih sayang dan penderitaan, perjuangan dan kematian, serta penindasan dan kebebasan. Orang-orang Indonesia pulang tatkala saat-saat keputusan baik bagi revolusi Indonesia maupun bagi demokrasi Belanda sudah begitu dekat.

Lebih dari setengah tahun kemudian, setelah pemerintah Belanda mengirim pasukan ke Indonesia, mingguan berita De Vlam edisi 8 Agustus 1947 mengumumkan surat terbuka seorang pembaca yang ditujukan kepada Evy Poetiray. Berikut ini sekelumit petikannya.

“Persahabatan kita berlanjut secara ilegal di masa pendudukan Jerman. Waktu itu dalam keadaan yang sangat sulit kalian orang Indonesia menyatakan solider dengan perlawanan orang Belanda terhadap Nazi. Kalian tahu apa arti tirani, dan kalian juga tahu apa makna kamp konsentrasi. Dari situ lahirlah solidaritas kalian. Sialnya, sebagian besar rakyat Belanda berpendapat bahwa kamp konsentrasi dan tirani hanya mengerikan sejauh itu hanya ditujukan kepada mereka sendiri. Sekarang kami sangat-sangat malu, walaupun kami selalu melawan politik pemerintah kami. Kami merasa ikut bertanggung jawab, karena perlawanan kami tidak cukup kuat dan kurang lengkap pula.” 

Dari surat pembaca seperti ini dapat disimpulkan bahwa Evy Poetiray tidak pernah memukul rata orang Belanda. Massa yang mendengar pidatonya dalam rapat akbar di Markthallen, Amsterdam, dan menyatakan sanggup mendukung hak rakyat Indonesia untuk menentukan nasib sendiri; para pengemudi trem Amsterdam yang mogok kerja sebagai protes terhadap rencana pengiriman pasukan Belanda ke Indonesia; serta ibu-ibu yang menitikkan air mata di Rotterdam adalah mereka yang dengan pantas oleh Evy sebut sebagai kalangan progresif. Berbeda sekali dengan orang-orang Belanda yang disebutnya kolonial kolot karena tetap ingin bercokol di Indonesia. Mereka jelas berada di sisi salah sejarah, berbeda sekali bahkan berlawanan dengan kalangan progresif yang justru memperoleh pembenaran sejarah.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus