Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

ArtJog dan Nujum Masa Depan

Sebanyak 84 seniman partisipan ArtJog menggelar karya hasil menafsir tema yang disuguhkan penyelenggara. Mempresentasikan arti ramalan.

14 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perhelatan pameran seni tahunan ArtJog kembali digelar. Menampilkan karya 84 seniman.

  • Mengambil tema

FASAD ArtJog itu mirip laboratorium. Benih-benih padi lokal yang masih bertangkai milik warga kampung adat Kasepuhan Ciptagelar, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, mengisi 151 tabung bening yang berjajar di ruangan Jogja National Museum. Seniman Titarubi memboyongnya dari pelosok Gunung Halimun dan Gunung Salak setelah menjalani berbagai ritual masyarakat setempat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di dekatnya, berdiri tiang dengan tiga pelantang suara mengkilat berbentuk kuping manusia berwarna kuning. Pelantang ini ciptaan Agus Suwage, suami Titarubi. Kuping menggambarkan telinga manusia yang toleran atau bersahabat terhadap media sosial yang bising. Obyek berbentuk telinga juga ditempatkan di lemari, dinding, rak, dan cermin di ruangan lain. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keduanya merupakan seniman komisi ArtJog yang karyanya menjadi sorotan utama festival seni kontemporer itu. Kali ini ArtJog mengambil tema “Motif: Ramalan”. Pendiri ArtJog, Heri Pemad, menjelaskan bahwa ramalan adalah imajinasi dan daya prediksi yang menggerakkan kreativitas dalam proses mencipta karya. Tema itu mengajak orang membayangkan kembali gambaran peristiwa dan harapan menuju hari esok. Ada 84 seniman anak-anak, remaja, dan dewasa yang berpameran di ArtJog selama 28 Juni-1 September 2024. 

Karya Titarubi ingin menyatakan harapan akan masa depan benih padi untuk mengatasi krisis pangan. Selain itu, dia cemas akan punahnya benih dan hilangnya keanekaragaman hayati. Karyanya menempati tujuh ruangan dengan luas berbeda-beda. Pada ruangan lain, Tita menempatkan bulir-bulir padi yang ia datangkan dari masyarakat adat suku Kajang di Kabupaten Bulukumba dan komunitas bissu atau pandita yang dianggap sebagai gender kelima suku Bugis di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. 

Suara Keheningan karya Titarubi dan Agus Suwage dalam pameran Artjog 2024. Dok. Artjog 2024

Bagian tengah ruang galeri memajang padi berumur sebulan dan dua bulan tanpa air yang menggenangi. Ada juga benih-benih gandum yang mirip kedelai di sepanjang lorong. Kuping buatan Agus menyertai bulir-bulir padi itu.

Titarubi menyertakan sepuluh suara berupa musik dan doa-doa ritual masyarakat adat. Beberapa di antaranya Titarubi dapatkan dari rekaman suara dokumentasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Ada juga yang ia rekam sendiri saat mengunjungi bissu di Pangkep. “Tentang doa keselamatan dan kemakmuran,” kata Titarubi kepada Tempo, Senin, 8 Juli 2024. 

Seni instalasi pasangan suami-istri yang ditempatkan di lantai 1 itu diberi judul Suara Keheningan. Titarubi meriset padi masyarakat adat sejak Januari 2024. Idenya bertolak dari kegelisahannya akan krisis pangan. Saat itu muncul berbagai pemberitaan tentang India yang mulai menghentikan ekspor beras ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Dampaknya, harga beras di pasar melonjak. 

Titarubi cemas Indonesia kekurangan pangan. Tapi situasi berbeda ia temukan di pedalaman Gunung Halimun-Salak. Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar justru mengalami surplus pangan. Setiap tahun, tercatat rata-rata surplus 40 ribu ton padi. Stok padi itu mereka simpan di leuit atau lumbung padi. Mereka yakin stok pangan mencukupi hingga 100 tahun mendatang. 

Warga Ciptagelar memandang beras sebagai sesuatu yang sakral. Hasil panen dari sawah dalam bentuk padi, gabah, dan beras tak boleh dijual. Bagi mereka, menjual beras merupakan pamali atau mengandung pantangan. Mereka melakukan berbagai ritual sepanjang proses menanam sebagai bentuk penghormatan terhadap padi. 

Titarubi menemui Abah Ugi Sugriana Rakasiwi, Ketua Adat Kasepuhan Ciptagelar yang masih menjalankan tradisi bertani secara berpindah-pindah. Untuk mendapatkan benih-benih itu, alumnus Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung tersebut harus menjalankan serangkaian ritual guna meminta izin leluhur sebagai bentuk penghormatan. 

Titarubi juga memberi tahu Abah Ugi bahwa benih-benih itu akan ia pajang dalam pameran. Seusai pameran, benih-benih yang dipajang di botol-botol itu harus ia kembalikan kepada masyarakat Ciptagelar. 

Belum semua karya Titarubi dipajang di ArtJog. Dia kini sedang menyiapkan bulir-bulir padi yang dilapisi emas dalam bentuk tusuk konde. Dalam prosesnya, karya itu dicor menggunakan perunggu atau perak. Karya itu kelak diberikan kepada komunitas adat Sunda Wiwitan setelah ArtJog selesai. 

ArtJog memajang karya-karya seni yang merespons situasi global mutakhir selain krisis pangan. Di lantai 2, terdapat karya dua seniman yang merespons serangan udara pemerintah Israel yang menewaskan orang-orang Palestina di Jalur Gaza. Krisis kemanusiaan yang ditandai dengan perang tak berkesudahan, termasuk pengeboman rumah sakit di Jalur Gaza, menginspirasi perupa Haris Purnomo. 

Tengoklah dua lukisan berbahan cat akrilik di atas kanvas. Haris, perupa spesialis gambar bayi, melukis kerumunan bayi telanjang yang berjejal dalam posisi setengah bersujud. Tato bergambar moncong rudal dan peluru kendali terdapat pada tubuh-tubuh bayi itu.”Simbol orang-orang yang tersakiti,” tutur Haris. 

Sujud tak Terwujud Anak-anak Gaza karya Harris Purnomo dalam pameran Artjog 2024. Tempo/Jati Mahatmaji

Posisi bayi setengah bersujud menggambarkan bayi-bayi yang tak sempat menjadi anak-anak dan menjalankan ibadah salat karena terbunuh peluru kendali tentara Israel. Alumnus Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (kini Institut Seni Indonesia Yogyakarta) itu memberi judul lukisan berukuran 180 x 220 sentimeter tersebut Sujud tak Terwujud Anak-anak Gaza

Sebelumnya, pada 2022, dia menggambar kerumunan bayi sehat yang diselimuti kain berwarna merah dalam posisi berguling, tengkurap, dan merangkak. Rajah bergambar api, naga, dan tengkorak ada pada tubuh bayi. Motif-motif itu melambangkan kekuasaan dan maut. 

Tato-tato itu menjadi tanda lahir yang akan meramalkan nasib mereka di masa depan. Di mata Haris, dunia sudah terstigmakan dengan kekerasan yang menandai kelahiran manusia sejak hari pertama. Dia memberi judul karya berukuran 180 x 250 sentimeter ini Baby in Red.  

Kekejaman perang Israel-Palestina juga disuarakan Julian Abraham “Togar”. Togar menyulap satu ruangan menjadi studio yang memajang karya-karyanya sejak 2020 hingga sekarang yang sedang dalam proses. Studio itu terasa seperti rumah yang nyaman. Di dalamnya ada sejumlah alat musik, di antaranya seperangkat drum dan piano, serta sofa dan layar yang menampilkan Togar sedang memainkan drum. Pengunjung bebas memainkan alat-alat musik itu. 

Pada dinding studio itu tertulis “Palestina merdeka, Allah, Palestine will be free, Insya Allah”. Ada juga stiker bertulisan “all I want for Christmas is free Palestine”. Lewat karya yang diberi judul Ruang Elok Sarat Tempo itu, Togar menekankan bahwa setiap orang bisa menyampaikan solidaritas dan bersuara tentang penderitaan orang lain melalui banyak cara. Menurut dia, perang Israel-Palestina bukanlah konflik agama, melainkan soal kolonialisme dan opresi. “Penjajahan tidak boleh ada karena bertentangan dengan hak asasi manusia,” ucap Togar. 

ArtJog juga menyajikan karya-karya (almarhum) Eko Prawoto, arsitek yang dikenal menggunakan bahan lokal bambu. ArtJog memajang duplikasi maket karya Eko saat dia menempuh studi S-2 di Belanda. Maket Eko itu kini dikoleksi museum di Hong Kong. 

Ada pula karya kolaborasi Nicholas Saputra, Happy Salma, Iwan Yusuf, dan (almarhum) Gunawan Maryanto berupa alih wahana pembacaan Serat Centhini dalam sekuens Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan terjemahan Elizabeth D. Inandiak. Pembacaan karya itu dibagi dalam enam babak dengan narator Nicholas dan Happy. Di tengah ruangan terdapat ranjang dan kelambu. Setiap pengunjung bisa mendengarkan pembacaan kisah itu melalui perangkat audio. 

Tahun-tahun yang Berbahaya: Wajah-wajah tak Bernama-nama-nama tak Berwajah karya Rangga Purbaya, dalam Artjog 2024. Tempo/Jati Mahatmaji

Ada juga karya bertema isu tragedi 1965 yang disuarakan seniman Rangga Purbaya. Rangga menggunakan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk menarasikan kisah korban tragedi 1965. Rangga menyorot wajah-wajah korban dalam proyektor yang dilengkapi dengan nama-nama mereka di dinding. Rangga memberi judul karya itu Tahun-tahun yang Berbahaya: Wajah-wajah tak Bernama-nama-nama tak Berwajah

Karya-karya seniman ArtJog menyajikan terlalu banyak tema yang membuat orang sulit mengambil benang merah yang menghubungkan semuanya. ArtJog seperti hendak membicarakan banyak hal. Kurator ArtJog, Hendro Wiyanto, menjelaskan bahwa "Ramalan" tidak secara spesifik membahas tema tertentu. “Saya tidak terlalu percaya tema bisa memberi benang merah karya,” ujar Hendro. 

Ramalan, menurut dia, berangkat dari nujum seniman terdahulu yang pernah menyatakan bahwa masa depan seni rupa tidak menentu, seni berada dalam kesuraman, dan tidak akan ada seni yang punya identitas. Hendro mencontohkan, Jim Supangkat pada 1960-an pernah menyebutkan bahwa seni rupa Indonesia tidak seperti pemain bulu tangkis yang menjadi juara dunia. Ramalan itu tidak terbukti. 

Berangkat dari nujum-nujum itulah kurator ArtJog menawarkan pertanyaan kepada para seniman dalam proses kurasi. Pertanyaannya adalah apakah pengetahuan yang lahir dari riset-riset mereka itu bisa digunakan untuk membayangkan masa depan?

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus