Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran tunggal perupa Thailand, Korakrit Arunanondchai, menghadirkan karya yang memantik emosi.
Pendiri dan penampil festival seni Ghost di Bangkok ini menyiapkan pameran tunggalnya selama dua tahun.
Korakrit memperlihatkan emosi seperti ketakutan dan kehilangan yang tanpa disadari menjadi trauma.
SEBUAH lukisan raksasa berukuran lebih dari 3 x 10 meter menyambut pengunjung Museum of Modern & Contemporary Art in Nusantara atau Museum MACAN di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Lukisan dengan latar dominan warna biru dan kuning mewujud dalam judul The Dance of Earthly Delight (2024). Sepasang mata dengan biji bola hijau di tengah lukisan cat akrilik di atas kertas tempel dan denim itu seolah-olah mengawasi setiap orang yang datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukisan ini mengantarkan pengunjung pada beberapa “bocoran” karya perupa asal Thailand, Korakrit Arunanondchai, itu. Potongan lapisan material sewarna bata mentah yang belum dibakar, yang cenderung seperti warna lumpur sawah yang gelap, tercetak cukup rapi dengan dimensi beragam. Ada yang diletakkan di lantai, disandarkan di dinding, dan ditaruh di ruas kotak-kotak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Instalasi ini seperti tanah yang sangat kering, pecah-pecah, dengan potongan tulisan di atasnya. Sebuah patung garuda ukiran Bali diletakkan di salah satu kotak yang seakan-akan mengawasi karya-karya itu. Karya-karya ini dipadukan dengan tiga karya lukis dengan material campuran. Terpasang di dinding, tiga karya lukis itu membetot perhatian dengan warna biru langit yang memperlihatkan wujud seperti burung hong. Warna biru senapas dengan pemandangan langit di luar gedung yang terlihat dari kaca.
Korakrit Arunanondchai mengeksplorasi beragam material, seperti cat, kertas, kain denim, katun, dan resin, dalam pameran bertajuk “Sing Dance Cry Breathe | as their world collides on to the screen” itu. Pameran seni rupa di Museum MACAN yang berlangsung pada 30 November 2024-6 April 2025 itu merupakan pertama kalinya ia menampilkan karya secara tunggal di Indonesia.
Sing (2024)/Tempo/Jati Mahatmaji
Memasuki ruang pamer lebih dalam, gelap menyergap. Pengunjung dihadapkan pada nuansa muram. Duka menyeruak dengan instalasi sepasang cetakan resin tangan yang tengah memencet bilah organ dengan suara yang melankolis. Itu adalah cetakan tangan kakeknya dengan urat, pembuluh darah, dan kerutannya. Tak jauh dari sana, beberapa boneka kelinci merah muda teronggok.
Karya berjudul Breath (2024) ini menjadi medium luapan emosi dan ekspresi seniman yang lahir di Thailand dan bermukim di New York, Amerika Serikat, itu atas kehilangan kakeknya. Sangat personal ketika dia mengingat peristiwa sebelum kematian sang kakek dan menungguinya dengan ditemani boneka-boneka kelinci tersebut.
Aura personal kembali dihadirkan di sebuah ruangan dengan beberapa video yang muram. Ruangan gelap itu menjadi temaram oleh sorotan lampu light-emitting diode atau LED hijau dan pantulan video dengan gambar sebuah pohon di atas gundukan tanah. Karya berjudul No History in a Room Filled with People Funny Names 5 (2018) itu ditempatkan di bagian belakang ruang pamer.
Menjelajahi ruang gelap itu, kaki akan menjejak lantai ruangan yang agak kenyal. Ternyata lantai itu dilapisi campuran tanah dengan permukaan yang retak, cat hitam, dan abu. Ini berbahaya bagi pengunjung yang memakai sepatu berhak tinggi. Dalam campuran tanah ini, Korakrit memasukkan pula tanah dari Bekasi, Jawa Barat. Material itu merupakan perlambang daerah yang paling polutif di area Jabodetabek dan dihubungkan dengan kecemasan akan situasi lingkungan masa kini.
Korakrit meletakkan lukisan-lukisan karyanya yang didominasi warna biru di dinding di ruangan yang dianggapnya sebagai panggung. Ada tangkapan visual berupa api yang membakar dalam beberapa karyanya, yaitu Stage (2024), Hold My Hand and Tell Me Not Let Go (2024), Seraph (2024), Breathe (2024), Imagination (2024), Cry (2024), dan Angel’s Egg (2024). Dinding lorong juga menjadi panggung panjang layaknya catwalk peragaan busana. Di pinggir lantai sepanjang panggung, Korakrit menorehkan kata-kata seperti sebuah rapalan.
Dia juga menyajikan imaji burung hong dalam karya Sing (2024) dan The Undoing, is Soft, is Light (2024) dari kain yang menggantung. Gambaran itu baru terlihat perlahan ketika lampu mulai menyala. Tak sekadar menampilkan lukisan, sebuah instalasi raksasa burung hong atau phoenix—salah satu burung dari mitologi Cina—teronggok di salah satu ruangan. Namun wujudnya tak tampak seperti burung, melainkan cenderung seperti cumi-cumi.
Melalui karyanya, Korakrit hendak menghadirkan pameran sebagai panggung bagi entitas nonmanusia dalam bentuk-bentuk antropomorfis dan tampil melalui cahaya, suara, dan gambar. Dia juga mempertanyakan dan menata kembali cerita-cerita yang tak mudah dipahami.
Terdorong oleh rasa kehilangan, ketakutan, dan ketidakpastian, dia menggabungkan ide-ide dari animisme dan fiksi ilmiah untuk menciptakan karya seni yang berfokus pada emosi, jiwa, identitas, kehidupan, dan kematian. Dia juga menyuguhkan sisi spiritual dan peristiwa keseharian dalam kehidupan manusia melalui simbol burung phoenix dan ular untuk menghubungkan sistem sosial dengan alam serta penciptaan dan kehancurannya. “From ash to ash let them...the feeling,” demikian sepotong teks yang ditorehkan di sebuah karya.
Pendiri dan penampil festival seni Ghost di Bangkok ini menyiapkan pameran tunggalnya selama dua tahun. Direktur Museum MACAN Venus Lau mengatakan karya-karya Korakrit adalah pemantik emosi di sebuah panggung. Perupa yang telah berpameran di banyak galeri di berbagai negara ini mengajak penonton menelusuri dan merasakan emosi-emosi yang hadir.
Dari kiri: Cry (2024), Imagination (2024), Breath (2024), dan Seraph (2024)/Tempo/Jati Mahatmaji
Perupa sering bercerita dan mewujudkannya dalam bentuk-bentuk karya. “Bentuk di karya seni ini menjadi sebuah cerita,” ujar Venus Lau menjelang pembukaan pameran pada Jumat, 8 November 2024. Imaji-imaji yang tersaji pada karya menyerupai wujud burung hong, tapi seperti ada sosok-sosok yang menghantui. Lalu ada imaji api yang seperti mencoba membakar sosok yang menakutkan itu.
Lukisannya ditorehkan di kanvas dengan kertas dan bahan denim yang dibakar. Ia merekam proses api membakar denim itu, lalu memotret dan mencetaknya. Imaji kobaran api itu lantas ditempelkan menyatu dengan cat akriliknya. Tak mengherankan jika kemudian mata penonton menangkap citraan api yang cukup nyata, digabungkan dengan goresan catnya tersebut. Ia punya banyak kolaborator untuk mengumpulkan materi audio dan visual dari berbagai sumber.
Manajer Kuratorial dan Kepala Edukasi Museum MACAN Nin Djani menambahkan, Korakrit juga memperlihatkan emosi seperti ketakutan dan kehilangan yang tanpa disadari menjadi trauma yang selalu menghantui. Dimensi spiritualisme, mitologi, dan metafora berkelindan dalam karyanya. Ia sering kali memanfaatkan konteks budaya yang berakar dari pengalaman pribadinya serta ruang-ruang yang ditandai oleh trauma pascakolonial. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul "Emosi Muram Seniman Thailand".