Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA, 1974, dewan juri Pameran Besar Seni Lukis Indonesia (PBSLI) mengumumkan lima lukisan terbaik. Salah satunya karya Abdul Djalil atau A.D. Pirous, pelukis dari Bandung. Karyanya memperlihatkan sebuah kecenderungan baru yang terbit dari hasil pendidikan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) serta pendidikan formal di Amerika Serikat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penilaian dewan juri menyebutkan lima karya itu mengandung keindahan, kebaruan, dan orisinalitas. Para pelukis muda yang turut dalam kompetisi itu memprotes penilaian tersebut karena melihat sebaliknya, yaitu keberpihakan dewan juri pada dekorativisme dan hanya mengelus-elus seni rupa tradisional. Keriuhan ini mewarnai acara dwitahunan seni rupa modern Indonesia tersebut, cikal bakal Jakarta Biennale.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hadirnya A.D. Pirous dalam PBSLI itu menandai perubahan dalam panggung seni rupa modern Indonesia di masa Orde Baru. Sebelumnya, di masa Orde Lama, pelukis-pelukis dari Yogyakarta mendominasi percakapan seni rupa dengan semangat seni rupa realis yang menggambarkan penentangan terhadap pelanggaran hak asasi manusia sejak masa kolonial dan pembelaan kepada “orang-orang kecil”.
Munculnya persekutuan seperti Persatuan Ahli Gambar Indonesia, Seniman Indonesia Muda, dan Sanggar Pelukis Rakyat merupakan bagian dari semangat tersebut. Ini cara lain untuk mengatakan bangsa Indonesia memiliki corak dan semangat seni rupa yang berbeda dibanding Mooi Indie di masa kolonialisme, yang melihat seni lukis sebagai selera turistik dan keindahan fisik belaka serta mengabaikan aspek humanisme dan derita penjajahan.
Pendidikan seni rupa di ITB memang dirintis oleh orang Barat dengan guru Belanda yang sangat dihormati bernama Ries Mulder. Selain menjadi pengajar, Mulder adalah pelukis dengan kecenderungan baru di kancah seni rupa modern Indonesia, yaitu lukisan abstrak atau non-representasional. Lukisan abstrak yang dikembangkannya bermula dari abstraksi atas realitas di alam dan kehidupan.
Mulder menganalisis realitas alam, tak sekadar memecah bagian per bagian hingga membentuk suatu komposisi, irama, keseimbangan, dan harmoni, tapi memahami kehadiran realitas itu sebagai sebuah obyek dan menemukan inti sarinya. Sikap seperti itu pula yang mendorong mahasiswanya untuk menggali pelbagai hal, seperti material, teknik, gagasan, dan eksperimentasi. Bahkan di kemudian hari ITB menghadirkan mata kuliah eksperimen kreatif yang membebaskan mahasiswa melakukan pelbagai percobaan, seperti rupa, bunyi, gerak, dan kemungkinan lain.
Pirous lahir dari situasi dan lingkungan pendidikan seperti itu. Sejak menjadi mahasiswa, lelaki yang lahir di Meulaboh, Aceh, pada 11 Maret 1932 itu membuat puluhan gambar atau sketsa setiap hari; memainkan warna dari cat air, cat minyak, pastel, akrilik; dan membuat ratusan gambar siluet dari tinta cina. Dia menyelidiki karakter flora dan fauna serta memperhatikan gerak-gerik mereka. Dia membangun tradisi formal dalam menggambar dengan dasar pengenalan struktur, bidang, dan rinci serta mengkaji seluk-beluk anatomi, tulang, otot, dan bentuk-bentuk yang ditimbulkannya karena sebuah gerak.
Lalu ia mengamati bagaimana efek penambahan barik di atas sebuah karya dwimatra. Latihan-latihan keras sejak masa mahasiswa itulah yang menjadi kebiasaan sehari-harinya dan mendasari kelahiran karya-karyanya, baik yang representasional maupun non-representasional. Komposisi yang begitu kuat, pembagian bidang-bidang, penggunaan warna, dan barik pada karyanya dapat kita maklumi sebagai akumulasi pembentukan keterampilan dari waktu ke waktu yang sangat panjang.
Begitu juga kalau kita perhatikan perubahan berarti pada karya-karyanya dari satu periode ke periode berikutnya atau saat kadang ia kembali melihat referensi pada karya-karya sebelumnya. Seperti seorang peneliti yang tidak pernah puas atas pekerjaannya, ia dihantui keinginan membuat sesuatu yang setidak-tidaknya mendekati sempurna. Sepanjang hidupnya, Pirous tidak hanya sibuk berkarya, tapi juga mengkaji pelbagai hal estetik dan eksperimen. Kita melihat ada periode ketika ia memainkan bidang-bidang warna dan komposisi dengan sangat ketat, tapi pada karya lain ia membiarkan kelonggaran dan kehangatan emosinya mengalir.
Bisa jadi ia terus mencari keseimbangan di antara keduanya, seperti terlihat dalam Suatu Ketika Ada Perang Suci di Aceh: Penghormatan kepada Pahlawan yang Gagah Berani Teuku Oemar 1854-1899 (1998). Sosok pahlawan Teuku Umar dihadirkan dalam sapuan ekspresif dan dibelantarai oleh teks kaligrafi di bagian kiri dan kanan. Sosok Umar menjadi dramatis. Pirous, yang dikenal sebagai pelukis kaligrafi, menghadirkan sosok manusia yang mungkin oleh sebagian umat Islam dianggap terlarang. Lukisan ini seperti upaya Pirous untuk ke luar dari stereotipe itu. Pandangan stereotipe memang selalu mengekang kebebasan seseorang yang semestinya dapat berbuat jauh lebih luas dari itu.
Ia dekat dengan kaligrafi Arab cenderung karena pengalaman masa kecilnya di Aceh, yang dekat dengan budaya Islam. Kaligrafi Pirous, sebagaimana lukisan abstraknya dengan bidang-bidang horizontal dan vertikal yang luas atau bidang-bidang warna yang lebar memenuhi latar belakang karyanya, adalah sebuah penjelajahan estetis ketimbang penyampaian pesan keagamaan, apalagi dakwah. Bahkan sering kali kaligrafi dalam lukisannya sama sekali tidak bunyi, yang artinya tidak dapat dibaca, apalagi menyitir kitab suci, seperti dalam Kaligrafi Biru V (1971), lukisan akrilik pada kanvas 100 x 80 sentimeter. Karya ini menggambarkan pembagian bidang-bidang dengan tulisan kaligrafi di dalamnya. Namun Pirous tidak menyangkal pandangan bahwa ia banyak mendapatkan inspirasi berkarya dari ayat-ayat suci sebagai pengalaman personal.
Pirous juga perancang utama Pasar Seni ITB, yang pertama kali muncul pada 1972 dan mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Itu bagian dari obsesi yang selalu diucapkannya tentang upaya mendekatkan seni dengan masyarakat, yakni apa guna seni buat publik yang luas.
Semangat itu pula yang mengilhaminya membentuk Design Center Association pada 1973, organisasi yang beranggotakan antara lain perupa G. Sidharta, T. Sutanto, Priyanto S., dan Setiawan Sabana. Dia juga berperan dalam pelaksanaan Festival Istiqlal 1 pada 1991 dan Festival Istiqlal 2 pada 1995. Festival ini berupaya menerjemahkan seni rupa yang bertolak dari nilai-nilai islami. Festival yang berlangsung di Masjid Istiqlal, Jakarta, itu adalah salah satu yang paling banyak dikunjungi masyarakat.
Beberapa bulan sebelum kepergian Pirous pada 16 April 2024, di Serambi Pirous, di kawasan utara Kota Bandung, tempat ia menata dan menyimpan sejumlah karya terbaiknya, ia bercerita dan mengingat dengan jernih segala peristiwa seni rupa modern yang pernah dilaluinya selama puluhan tahun. Ia juga masih dapat berdiskusi panjang-lebar dengan penuh semangat. Yang mengagetkan adalah bahwa pada usia 92 tahun itu ia masih terus berkarya.
Ia memperlihatkan sebuah karyanya dengan unsur-unsur kaligrafi bukan hanya Arab, tapi juga Cina dan Jepang. Ia menjelaskan filosofi setiap kaligrafi tersebut dari negeri asal masing-masing. Di studio tempat pelabuhan terakhirnya itu, ada karya-karya yang masih dalam proses penyelesaian. Melihat perjalanannya yang sangat panjang, mengamati karya-karyanya dari satu periode ke periode lain, dan eksperimentasi yang terus dilakukannya, dia seolah-olah hendak mengatakan bahwa berkarya hanya boleh berhenti apabila kehidupan itu sendiri selesai.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Intensitas Seorang Pirous"