Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUJUH anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu meninjau pelabuhan tenaga kerja Indonesia di Tawau, Malaysia, dan barak penampungannya di Nunukan, Kalimantan Timur, pertengahan Desember lalu. Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Antipenyelundupan Migran ini ingin melihat keluar-masuknya pekerja ilegal di perbatasan. Undang-undang yang akan dibuat itu dinilai penting untuk melindungi buruh migran. ”Agar bisa menjerat cukong pengerah tenaga kerja ilegal yang selama ini tak terjangkau hukum,” kata anggota Panitia Khusus, Suryama M. Sastra.
Undang-Undang Antipenyelundupan adalah salah satu peraturan yang dijanjikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Perdana Menteri Australia Kevin Rudd saat mereka bertemu dalam acara Bali Democracy Forum di Nusa Dua, Bali, 10 Desember lalu.
Ketika itu, Presiden menyatakan sedang meratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa soal kejahatan lintas batas, protokol tentang perdagangan manusia dan penyelundupan manusia. ”Ini agenda penting,” kata Presiden.
Australia menaruh perhatian pada ratifikasi protokol penyelundupan manusia, khususnya soal ekstradisi. Menurut Rudd, penyelundupan manusia adalah masalah serius di negerinya. Ia berharap dukungan Indonesia untuk mencegah dan menanganinya. ”Tantangan besar bagi kedua negara,” katanya.
Ratifikasi protokol itu menjadikan Indonesia ”pagar” bagi arus imigran gelap ke Australia. Maklum, kata Suryama, wilayah Indonesia selama ini seperti gerbang tanpa pintu bagi imigran gelap ke Negeri Kanguru. ”Mereka ingin membendung aliran pengungsi dari Timur Tengah dan Afganistan,” kata Suryama. Biasanya para pengungsi itu menggunakan kapal-kapal kayu dari Jawa Timur dan Kupang.
Sebagai langkah awal, kedua negara bersepakat melakukan barter ekstradisi pelaku pidana di masing-masing negara. Menurut Yudhoyono, Indonesia akan mengekstradisi Hadi Ahmadi—warga Iran yang dituduh menyelundupkan pengungsi Timur Tengah dari Indonesia ke Australia pada 1999-2001. Imbal baliknya: Australia akan mengekstradisi Andrian Kiki Ariawan, terpidana korupsi Rp 1,05 triliun Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. ”Pengadilan sudah setuju ekstradisinya,” kata Presiden tentang Hadi Ahmadi.
Perjanjian ekstradisi Australia-Indonesia diteken pada 1992, lalu diratifikasi Dewan Perwakilan Rakyat pada 1995, tapi baru akan diimplementasikan 13 tahun kemudian.
Sumber Tempo di pemerintahan mengungkapkan ekstradisi Hadi sebetulnya dipaksakan. Soalnya, hukum Indonesia tak mengenal kriminalisasi penyelundupan manusia. Padahal, agar barter itu bisa dilakukan, seperti disyaratkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, harus ada asas perimbangan. Artinya, hukum Indonesia pun harus menyatakan pe-nyelundupan manusia sebagai kejahatan.
Pengacara Hadi, Joel Tannos, juga memakai argumentasi itu di persidangan. Tapi ia kalah di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 26 September 2008. Joel yakin ekstradisi kliennya bernuansa politik. ”Saya setuju memulangkan Kiki, tapi mengorbankan orang lain itu tak pantas,” kata Joel.
Iran pun sudah menyatakan protes atas rencana mendeportasi Hadi. ”Kami khawatir ini akan berpengaruh negatif pada hubungan baik kedua negara,” kata Ali Pahlevani, Atase Pers Kedutaan Iran. Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri Arif Havas Oegroseno mengakui adanya protes Iran. ”Tapi hanya lisan,” katanya.
Menurut Havas, ekstradisi Hadi adalah hal normal. Indonesia pernah mengekstradisi Michael Stendefer, warga Amerika pelaku pelecehan seksual anak di bawah umur, ke Filipina. Selain itu, tak ada aturan internasional yang mensyaratkan perlunya izin atau pemberitahuan ke negara asalnya. Havas mengatakan Australia tahu ada kelemahan hukum di Indonesia. ”Mereka tahu kita tak mempidanakan penyelundup manusia, makanya mereka minta Hadi dijerat dengan aturan keimigrasian,” ujarnya.
Adapun Kedutaan Australia di Jakarta memilih tutup mulut. ”Kami masih libur sampai Januari,” kata Penjabat Atase Pers Kedutaan Australia Fiona Hoggart.
Agus Supriyanto, Akbar Tri Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo