Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI antara rimbunnya ilalang, rumah petak itu bagai tak berpijak. Dinding-dindingnya pucat. Tiang penopang bangunan ringkih diserang rayap. Namun jemuran yang penuh pakaian menandai tempat itu masih berpenghuni.
Terletak di perkampungan Desa Bakoy, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, rumah petak itu mulanya barak pengungsian bencana tsunami 26 Desember 2004. Totalnya delapan barak.
Bencana berlalu satu dekade, tapi 64 keluarga tak kunjung hengkang dari sana. Mereka masih bertahan lantaran tak lagi mempunyai tempat tinggal. Janji pemerintah memberikan kediaman gratis hanya isapan jempol. Sekarang justru mereka akan segera terusir dari sana.
"Ini surat baru kami terima dari Pak Camat," ucap Yanti, 35 tahun, saat ditemui Tempo awal bulan ini. Surat yang diteken Camat Ingin Jaya itu berisi perintah agar sebagian barak dikosongkan pada 14 Desember 2014. Maklum, pemerintah hanya mengakui 13 keluarga sebagai korban tsunami. Adapun sisanya dituduh penghuni liar yang berasal dari berbagai daerah lain.
Yang tercatat sebagai korban tsunami tak diusik karena dijanjikan akan menerima rumah bantuan. Yanti masuk daftar 13 keluarga itu. "Harapan saya hampir terkabul juga," ujarnya dengan raut berbinar.
Yanti korban tsunami yang tinggal di barak setahun setelah tsunami. Ia kehilangan suami dan keluarganya saat bencana. Di sana, dia harus banting tulang untuk tiga anaknya.
Sebenarnya Yanti sudah menikmati rumah bantuan lembaga internasional sejak 2011. Sebab, dia mengantongi Surat Keputusan Pemerintah Aceh Besar. Isinya menyebutkan bantuan untuk Yanti berada di Desa Lam Reudep, Baitussalam, Aceh Besar.
Malang bagi Yanti, rumah itu ternyata diserobot orang. Mereka sudah bercokol lebih dulu dan meminta ganti rugi bila Yanti ingin menempatinya.
Nurma dan Nurjannah, penghuni barak lain, bernasib sama. Surat keputusan yang menyebutkan mereka mendapat rumah dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias tak bertuah.
Pergulatan korban tsunami untuk mendapatkan rumah bantuan cukup panjang. Berbagai protes dan demonstrasi dilakukan ke kantor BRR, bupati, Dewan, bahkan Gubernur Aceh. Sayangnya, korban hanya kenyang dengan janji.
Dua tahun lalu, Kepala Bagian Pembangunan Pemerintah Aceh Besar Sunardi, yang ditemui Tempo, menyatakan memperjuangkan hak para korban. Namun dia menyerah lantaran penyerobot merasa berhak atas rumah itu.
Sunardi berdalih pengusiran bakal membahayakan korban bila menempati rumah bantuan di kemudian hari. Ia lantas menggunakan cara lain dengan mencari bantuan dana perumahan baru untuk mereka. "Kami akan terus berupaya," katanya.
Lama tak mendapat kabar, langkah pemerintah baru terasa saat ini. Terbit surat keputusan yang berisi bahwa 13 keluarga bakal menerima bantuan rumah. Hanya, ada 19 keluarga lain yang tak menerima surat yang sama. Padahal mereka juga mendapat surat keputusan seperti Yanti pada 2011.
Tak ayal, surat itu membuat kisruh baru. Muncul kecurigaan ada yang diistimewakan pemerintah. Mereka pun mengharap keadilan. "Kalau tidak, bagaimana nasib kami?" ucap Mardiah, penghuni barak lain.
Sunardi saat dimintai konfirmasi kembali mengatakan 13 keluarga itu adalah hasil verifikasi ulang aparat desa dan pemerintah kabupaten. Mulanya desa menyerahkan data 49 keluarga yang diduga korban tsunami. Namun pihak kabupaten hanya menemukan 13 keluarga yang mengantongi surat keputusan pemberian rumah pada 2011. "Ini masih sebatas pendataan karena bantuan rumah belum ada," kata Sunardi. Adapun sisanya masih diverifikasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo