Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ganjalan Internal Pengusutan Korupsi

Pengusutan berbagai perkara korupsi di KPK disebut-sebut terhambat dari atasan penyidik dan pimpinan KPK.

10 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Angin Prayitno Aji, setelah menjalani pemeriksaan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 4 Mei 2021. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • ICW menduga upaya pengusutan kasus korupsi di KPK dalam satu tahun terakhir terhambat dari pimpinan KPK.

  • Upaya penggeledahan kantor PDIP dalam kasus suap Wahyu Setiawan tak pernah terealisasi hingga sekarang.

  • KPK batal memanggil Sekjen Kementerian Kelautan Antam Novambar untuk kedua kalinya diduga atas perintah Firli Bahuri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Indonesia Corruption Watch (ICW) menengarai pengusutan banyak perkara korupsi dalam satu tahun terakhir justru tersendat dari lingkup internal Komisi Pemberantasan Korupsi. Hambatan itu bervariasi, dari lambatnya persetujuan penggeledahan oleh pimpinan KPK, penolakan pemeriksaan saksi, hingga tak disetujuinya penggeledahan atas usul penyidik. 

Peneliti dari ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan cukup banyak upaya penindakan yang terlambat dan bahkan tidak disetujui pimpinan KPK. Ia mencontohkan rencana penggeledahan kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, yang tak pernah terealisasi. Padahal, saat operasi penangkapan terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, pada Januari tahun lalu, tim KPK sudah mendatangi kantor PDIP untuk memasang garis polisi. 

Operasi penangkapan Wahyu berkaitan dengan kasus suap penggantian antar-waktu legislator PDIP dari daerah pemilihan Sumatera Selatan. Penyuap Wahyu adalah Harun Masiku dan Saeful Bahri—keduanya merupakan kader PDIP. Hingga saat ini Harun berstatus buron setelah KPK gagal mencokoknya dalam operasi penangkapan tersebut. Di pengadilan, Wahyu divonis 6 tahun penjara karena terbukti menerima suap Rp 600 juta. 

Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar ketika itu berdalih bahwa tim KPK mendatangi kantor DPP PDIP bermaksud ingin menyegel ruangan di sana. Biasanya, KPK memang menyegel suatu tempat sambil menunggu izin penggeledahan diterbitkan oleh Dewan Pengawas. Namun, setelah satu tahun lebih operasi penangkapan itu, kantor PDIP belum juga bisa digeledah hingga saat ini. "Pertanyaannya, kenapa sampai sekarang kantor PDIP tak juga digeledah?" kata Kurnia, kemarin. 

Foto tersangka mantan Caleg PDI Perjuangan, Harun Masiku, terpasang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) di laman website KPK, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 30 Juni 2020. TEMPO/Imam Sukamto

Kurnia mencurigai pimpinan KPK menghambat upaya penindakan perkara tersebut. Kecurigaan itu mengacu pada rekam jejak Ketua KPK Firli Bahuri yang pernah dipetisi oleh penyidik lembaganya ketika menjabat Deputi Penindakan KPK pada 2018. Saat itu, Firli dianggap menghambat pengusutan berbagai kasus korupsi di KPK. "Kita lihat historinya, Firli pernah mendapat petisi dari penyidik karena diduga menghambat penanganan perkara saat masih menjadi Deputi Penindakan KPK," ujarnya.

Tim operasi penangkapan dan penyidikan kasus korupsi Harun Masiku itu termasuk dalam 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan. Tes alih status pegawai KPK menjadi aparat sipil negara ini merupakan imbas dari revisi Undang-Undang KPK pada 2019. 

Penyidik lain dari 75 pegawai KPK itu juga tengah menangani perkara korupsi kakap. Misalnya kasus korupsi bantuan sosial penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di Kementerian Sosial; kasus suap pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Angin Prayitno Aji; kasus suap izin ekspor benih lobster di Kementerian Kelautan; dugaan suap jual-beli jabatan di Tanjungbalai, Sumatera Utara; serta dugaan suap penyidik polisi di KPK, Stepanus Robin Pattuju. 

Dalam pengusutan kasus bantuan sosial Covid-19, penyidik terlambat mendapat persetujuan penggeledahan rumah dan kantor Ihsan Yunus, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PDIP. Kasus bantuan sosial ini berawal dari operasi penangkapan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara pada awal Desember tahun lalu. Wakil Bendahara Umum PDIP itu diduga menerima suap dari para vendor penyedia bantuan sosial. 

Dua legislator PDIP, Ihsan Yunus dan Herman Hery, disebut-sebut mendapat kuota jumbo pengadaan bantuan sosial. Karena informasi itu, tim penyidik kasus ini berencana menggeledah kantor dan rumah keduanya. 

Penggeledahan rumah Ihsan baru terealisasi pada 24 Februari lalu atau hampir tiga bulan setelah operasi penangkapan. Karena telat, tim KPK tidak menemukan barang bukti di rumah tersebut. Bahkan upaya penggeledahan rumah dan kantor Herman Hery tak terealisasi hingga semua tersangka kasus ini dilimpahkan ke pengadilan. 

Dua sumber Tempo yang mengetahui perkara ini mengatakan tim penyidik kasus itu sesungguhnya sudah berusaha mengajukan izin penggeledahan rumah dan kantor Herman dan Ihsan sejak awal, tapi tak disetujui oleh pimpinan KPK. 

Tim penyidik juga hendak memeriksa Ihsan dan Herman. Namun penyidik hanya diizinkan oleh atasannya untuk memeriksa Ihsan. Sedangkan Herman tak pernah diperiksa hingga semua tersangka perkara itu masuk ke pengadilan.

Setelah penyidikan perkara itu tuntas, KPK tiba-tiba memeriksa Herman dalam penyelidikan baru perkara ini pada 30 April lalu. "Saya datang untuk mengklarifikasi apa yang menjadi opini media," kata Herman setelah diperiksa dalam penyelidikan ini. 

Kejanggalan lain terlihat dari dakwaan para tersangka kasus korupsi bantuan sosial. Nama Herman dan Ihsan hilang dalam dakwaan. Padahal peran keduanya sudah terang-benderang saat penyidikan. Bahkan nama Ihsan muncul ketika penyidik merekonstruksi perkara ini.

Herman dan Ihsan membantah menerima kuota jumbo bantuan sosial itu. Herman berdalih bahwa perusahaan miliknya, PT Dwimukti Graha Elektrindo, hanya menjadi mitra vendor penyedia bantuan sosial. 

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, menjalani pemeriksaan, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 18 Maret 2021. TEMPO/Imam Sukamto

Selanjutnya, kejanggalan dalam perkara suap izin ekspor benih lobster terlihat jelas saat penyidik KPK hendak memeriksa Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Antam Novambar. Penyidik KPK sudah memanggil jenderal polisi bintang tiga itu untuk diperiksa sebagai saksi pada 17 Maret lalu. Namun Antam mangkir.

Belakangan, KPK tiba-tiba melimpahkan perkara ini ke tahap penuntutan sebelum sempat memeriksa Antam. Pelimpahan ke penuntutan itu berarti penyidikan kasus ini sudah dianggap tuntas. Beberapa sumber Tempo menyebutkan Antam batal diperiksa atas perintah pimpinan KPK. 

Sumber Tempo mengatakan sebenarnya penyidik sudah meminta agar dilakukan pemanggilan kedua terhadap Antam. Namun Deputi Penindakan KPK, Karyoto, tidak menyetujuinya. Sumber Tempo lain mengatakan perintah agar tak ada pemanggilan kedua terhadap Antam datang dari Ketua KPK Firli Bahuri lewat Karyoto. 

Tempo berupaya meminta konfirmasi soal ini ke Firli dan Karyoto melalui panggilan telepon dan pesan pendek. Karyoto menolak menjawab panggilan telepon Tempo. Karyoto sudah sempat membaca pesan singkat yang dikirim kepadanya sebelum ia memblokir nomor telepon Tempo. Firli juga tak menjawab upaya konfirmasi Tempo

Sebelumnya, Karyoto beralasan bahwa pemanggilan kedua terhadap Antam tak dilakukan karena konstruksi perkara itu sudah jelas. "Sebenarnya enggak perlu panggil irjen dan sekjen pun cukup karena rangkaian aliran dari administrasinya sudah jelas," kata Karyoto, 25 Maret lalu. 

Kejanggalan dalam penyidikan kasus suap pajak tak jauh berbeda. Sejak awal, penyidik KPK hendak menggeledah tiga perusahaan yang terlibat suap pajak itu. Ketiga perusahaan tersebut adalah PT Jhonlin Baratama, PT Gunung Madu Plantations, dan PT Bank Pan Indonesia (Panin). Namun, kata sumber Tempo, atasan para penyidik meminta agar penggeledahan ketiga kantor tersebut dilakukan belakangan.

Karena dilakukan belakangan, tim KPK gagal menemukan bukti ketika menggeledah kantor Jhonlin Baratama milik Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam pada 18 Maret lalu. Kantor perusahaan batu bara ini dalam keadaan kosong saat digeledah. Semua dokumen perusahaan sudah raib dari kantor tersebut. 

Juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan penggeledahan dilakukan karena dalam perjalanannya tim menemukan petunjuk baru. Ia mengatakan tujuan penggeledahan adalah menemukan alat bukti pendukung guna melengkapi fakta hukum. "Kalau bukti utama sudah dapat dan izin geledah bisa diajukan oleh tim penyidik kepada Dewan Pengawas," kata Ali.

MAYA AYU PUSPITASARI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus