Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMBAWAKAN sebuah tragedi sebesar Geger Pecinan ke pentas wayang bukan perkara sembarangan bagi Foe Jose Amadeus Krisna. Karena itu, dalang 22 tahun tersebut lebih dulu melakukan ritual sembahyang di depan dewa seni dan Kwan Kong sebelum melangkah ke depan kelir. Sabtu sore itu, 10 Oktober lalu, Jose mementaskan lakon wayang kronik Geger Pecinan di Perkumpulan Sosial Rasa Dharma (Boen Hian Tong), Semarang. Wayangan tersebut ditayangkan secara daring di YouTube.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jose, yang mendapat gelar Ngabehi dari Keraton Surakarta, membuka pergelaran wayangnya dengan memainkan dua gunungan. Ia lalu membacakan aforisme “Kosong tanpo bedo karo isi, isi tanpo bedo karo suwung”, yang berarti “isi adalah kosong, kosong adalah isi”. Lalu muncullah wayang Gubernur Jenderal Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Adriaan Valckenier sedang berdialog dengan bawahannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara visual, Valckenier terlihat menonjol di antara tokoh wayang Jose. Warna wayangnya juga memikat. Rambut Valckenier digambarkan ikal keemasan. Badannya besar, dibalut seragam biru VOC. Di tangannya tergenggam pedang. Dalam adegan ini, Valckenier memerintahkan anak buahnya memulai pembantaian di Batavia. Ia berbicara dalam bahasa campuran Belanda dengan Melayu. “Tangkap orang-orang Tionghoa,” kata Valckenier.
Dalam pentas wayang Jose ini, tak ada tokoh Mahabharata seperti pergelaran wayang purwa Jawa pada umumnya. Kali ini, Jose justru menghadirkan babak sejarah pada pertengahan abad ke-18 yang tak pernah ada dalam pelajaran sekolah. Pentas wayang itu menceritakan tragedi yang memakan korban ribuan orang pada 1740 yang kerap disebut Geger Pecinan. Kala itu, tentara VOC alias kongsi dagang Hindia Belanda membantai ribuan warga keturunan Cina yang ada di Batavia.
Pementasan yang berlangsung empat jam ini sebenarnya menarik. Sebab, selain baru kali ini Geger Pecinan dikisahkan dalam lakon wayang, pentas tersebut memakai empat bahasa sekaligus: Belanda, Cina Hokkian, Jawa, dan Indonesia. Namun, sayangnya, pertunjukan tak dibekali terjemahan sehingga penonton kadang hanya menerka maksud dialog dalam sejumlah adegan.
Geger Pecinan dipicu krisis akibat jatuhnya harga gula pada 1740-an yang memunculkan banyak penganggur di kalangan pekerja pendatang dari Cina. Oleh VOC, para penganggur itu diangkut dengan kapal ke Ceylon atau Sri Lanka untuk dipekerjakan. Muncul kabar burung alias hoaks yang menyebutkan mereka dibuang ke laut oleh tentara Belanda. Kabar itu meniupkan amarah ke warga keturunan Cina di Banten. Belanda, yang panik, justru membunuh ribuan orang keturunan Cina di Batavia yang dikhawatirkan menentang.
Mereka yang berada di luar batas kota sepakat melawan. Api pemberontakan menyalak, hingga kemudian lahir serangan ke benteng VOC pada 5 Agustus 1741. Sebagian dari pasukan Cina yang selamat lantas lari ke Jawa Tengah untuk mencari bantuan. Gayung bersambut, Keraton Mataram Kartasura bersedia memperkuat prajurit Cina dengan tambahan personel bumiputra. Serangan pun meletik ke sejumlah titik di Jawa hingga muncul sejumlah tokoh legendaris dari daerah. Salah satunya dikenal dengan sebutan Kapitan Sepanjang.
Perang itu berlangsung sampai 1743. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Namun VOC kemudian berhasil mengalahkan persekutuan antara Cina dan Jawa. Kekalahan itu membuat Mataram membelot. “Melihat kekalahan itu, Sunan Pakubuwono II memutuskan berpihak kepada VOC,” kata Jose.
Menurut pemuda kelahiran Semarang itu, sejarah Geger Pecinan relevan disampaikan saat ini. Dia melihat polarisasi antarwarga kini mulai terjadi. Padahal, ketika pecah tragedi Geger Pecinan, rakyat Nusantara bersatu melawan kompeni. “Saya merasa ini perlu ditampilkan, dan cara paling efektif adalah lewat kebudayaan wayang,” ucapnya. “Politik pecah-belah yang hingga kini masih ada juga warisan Belanda.”
Dari keresahan itulah Jose menciptakan cerita wayang kronik dengan lakon Geger Pecinan. Dia ingin persatuan dan keberagaman yang dipraktikkan oleh bumiputra dan keturunan Cina ketika itu dapat dicontoh oleh generasi saat ini. “Dulu di Nusantara semua bersatu. Hanya karena hasutan adu domba dari VOC serta diskriminasi yang terus dimumbulkan, terjadi perpecahan,” tuturnya.
Jose adalah alumnus Fakultas Pertanian Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Jawa Tengah. Pada 2012, ia bergabung dengan Sanggar Seni Budaya Sobokartti binaan Mangkunegoro VII. Di sanggar itu, dia bertemu dengan Daradjadi, penulis buku Geger Pacinan 1740-1743. Proses belajar di Sobokartti selama dua tahun makin menempa kemampuan mendalang Jose, yang sejak kecil sudah menaruh minat besar pada dunia wayang.
Wayang kronik merupakan hasil kreasi Jose sejak 2017. Jenis wayang ini tetap memakai bentuk wayang purwa Jawa, tapi dibubuhi dengan ornamen khas Cina. Pernah suatu kali Jose membuat karakter legendaris Cina, seperti Sun Go Kong si Kera Sakti. Begitu pun musiknya, yang merupakan perpaduan unsur Jawa dengan Cina, yakni gamelan ditambah sejumlah instrumen yang biasa dipakai dalam wayang potehi. Sedangkan bahasanya “gado-gado” dan kerap disesuaikan dengan latar belakang penonton. Jose melakukan hal itu agar narasi dalam wayang lebih bisa dipahami generasi muda.
Wayang Gubernur Jenderal VOC pada pentas lakon wayang kronik Geger Pecinan, 10 Oktober lalu. YouTube
Akulturasi Cina dan Jawa dalam pewayangan digagas sejak sekitar seabad lalu. Ketika itu, pada 1920, seniman keturunan Cina yang bermukim di Yogyakarta, Gan Thwan Sing, beride menggarap wayang yang berbeda. Bentuknya sengaja dibuat lain dengan potehi Cina dan lebih banyak mengadopsi kekhasan wayang purwa. Begitu pun musiknya, lebih didominasi instrumen Jawa.
Jose menjelaskan, karena tokoh-tokoh wayang kroniknya baru, ia mempersiapkan pentasnya sejak Desember tahun lalu baik dalam hal naskah maupun teknik pementasan, seperti pembuatan wayang. Ia melakukan riset tentang huru-hara abad ke-18 itu itu dari sejumlah buku dan jurnal penelitian. Sebanyak 46 tokoh wayang kronik dibuat khusus untuk pementasan ini. Selain para prajurit, tentu saja ada tokoh Geger Pecinan seperti Adriaan Valckenier, Kapitan Sepanjang, juga Raden Mas Said.
Ide pementasan wayang kronik Geger Pecinan lahir dari Forum Heritage UKSW. Kurator dan produser wayang Geger Pecinan, Esthi Susanti Hudiono, mengatakan tahun ini dipilih untuk mementaskan Geger Pecinan karena bertepatan dengan 35 windu tragedi berdarah itu. “Menurut orang Jawa, ini adalah tahun paling baik untuk memperingatinya,” ujarnya. Pementasan ini, dia menambahkan, sekaligus bertujuan memperingati 75 tahun kemerdekaan Indonesia.
Esthi menganggap pentas wayang sebagai salah satu strategi untuk membuat Geger Pecinan bisa diketahui oleh kalangan yang lebih luas sekaligus menyisipkan pesan persatuan. “Dari kajian kami, orang keturunan Cina banyak yang belum tahu soal Geger Pecinan,” katanya.
JAMAL A. NASHR, ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo