Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Joe Biden hampir pasti menang dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat
Donald Trump menuding pemilihan umum ini curang.
Reputasi Amerika di dunia dinilai bisa membaik dengan pergantian rezim.
KAYLA Green hanya butuh 30 menit untuk memberikan suaranya dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat pada Selasa, 3 November lalu. Bersama adiknya, perempuan 25 tahun asal Lansing, Negara Bagian Michigan, itu datang ke tempat pemungutan suara nomor 2 yang berjarak hanya sekitar dua kilometer dari rumahnya. Green memilih pasangan kandidat presiden-wakil presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden dan Kamala Harris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu Green bergabung bersama sekitar lima juta pemilih Michigan untuk menentukan nasib negerinya. Negara bagian itu termasuk medan pertempuran penting dalam pemilihan tahun ini. Pada pemilihan 2016, pasangan Donald Trump dan Mike Pence dari Partai Republik membuat kejutan dengan menang di sana, padahal sebelumnya kandidat Demokrat yang menang dua kali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kantong-kantong suara untuk Biden lebih banyak terpusat di kota-kota besar, seperti Lansing dan Detroit. “Kalau mengunjungi area perdesaan, saya melihat banyak bendera Trump. Saya pikir Biden tak punya peluang sama sekali,” kata Green kepada Tempo. Tahun ini, Biden menang dengan 50,6 persen suara. “Ternyata orang Michigan masih punya pikiran sehat,” tutur Green.
Green memilih Biden karena merasa sesuai dengan nilai-nilai yang diusung Demokrat. Dia menginginkan sistem pemerintahan yang liberal, ada pemungutan pajak proporsional sesuai kekayaan, dan jaminan kesehatan universal. “Saya memilih kandidat yang juga percaya bahwa perempuan berhak menentukan sendiri kesehatan reproduksinya,” ucapnya.
Leonard Standridge, pemilih asal Davidson, Michigan, juga mantap memilih Biden. Standridge menilai, jika Trump dan Republik masih menguasai pemerintahan, keadilan hukum bagi kaum minoritas di Amerika tak akan tercapai. Penanganan pandemi Covid-19 pun bisa semakin tak terkendali. “Ia adalah petaka dan harus didepak dari Gedung Putih,” ujarnya.
Ericssen Wen, analis politik Amerika dari National University of Singapore, mengatakan rakyat Amerika sebenarnya tidak memilih langsung presidennya seperti di Indonesia. Pemilihan Presiden Amerika menggunakan sistem electoral college, suara perwakilan berdasarkan populasi di negara bagian masing-masing. Kandidat membutuhkan 270 dari total 538 suara elektoral agar bisa menang. “Kampanye calon presiden biasanya terpusat di daerah yang memiliki suara elektoral yang banyak,” kata Ericssen dalam diskusi daring terbatas The Political Literacy Institute pada Rabu, 4 November lalu.
Hasil penghitungan suara sementara di 44 dari 50 negara bagian sudah bisa menunjukkan pemenang di masing-masing negara bagian. Hingga Jumat, 6 November lalu, Biden sudah meraih 264 suara elektoral dan Trump baru 214. Biden menikmati kemenangan mudah di sejumlah negara bagian yang menjadi pundi suara konvensional mereka, seperti California, New York, Illinois, Massachusetts, dan Washington. Adapun Trump meraup suara terbanyak dari negara-negara bagian yang menjadi basis Partai Republik, seperti Tennessee, Missisippi, Virginia Barat, dan Wyoming.
Pertarungan sesungguhnya justru ada di negara-negara bagian yang kecenderungan suaranya sering berubah alias swing states. Menurut Wen, swing states memiliki komposisi pemilih Demokrat dan Republik yang berimbang. “Kunci kemenangan pemilihan presiden kali ini ada di Pennsylvania, Wisconsin, dan Michigan yang pada 2016 dikuasai oleh Donald Trump,” ujarnya.
Diperkirakan ada sekitar 150 juta pemilih yang berpartisipasi dalam pemilihan tahun ini, rekor dalam sejarah pemilihan Presiden Amerika. Salah satu penyebab banyaknya pemilih adalah persaingan panas antara Trump dan Biden yang membuat polarisasi politik warga Amerika juga turut melebar.
Trump sudah mengklaim dirinya menang. Dia menuding telah terjadi kecurangan dan akan menggugatnya ke pengadilan. Dia juga menuduh Biden dan Demokrat berusaha mencuri hasil pemilihan. “Kami menang dengan suara banyak di sejumlah wilayah penting tapi mendadak jumlahnya anjlok.”
Ketika penghitungan suara masih berjalan dan menunjukkan kecenderungan Biden menang, Trump sudah mengklaim dirinya menang. Dia menuding telah terjadi kecurangan dan akan menggugatnya ke pengadilan. Dia juga menuduh Biden dan Demokrat berusaha mencuri hasil pemilihan. “Kami menang dengan suara banyak di sejumlah wilayah penting tapi mendadak jumlahnya anjlok,” tuturnya. “Akan ada banyak urusan hukum nanti.”
Trump juga menyebut surat suara via pos memiliki risiko tinggi dicurangi. Hampir separuh pemilih menggunakan metode yang lazim digunakan masyarakat Amerika ini. Trump bahkan beberapa kali menggunakan metode ini. Pernyataan Trump ini memancing para pendukungnya mendatangi sejumlah tempat pemungutan suara dan mendesak petugas menghentikan penghitungan suara.
Sejumlah anggota partai Republik justru meradang akibat pernyataan Trump. Mantan senator, Jeff Flake, menyebut pernyataan itu jelas tak bisa diterima. Senator Republik dari Pennsylvania, Pat Toomey, menyebut tuduhan yang dilontarkan Trump tak memiliki bukti kuat. “Saya tak melihat ada masalah di sini,” ucap Toomey.
Warga Michigan seperti Standridge dan ratusan orang lainnya juga sempat berkumpul di tempat pemungutan suara hingga malam untuk memastikan semua surat suara dihitung. Ada makanan gratis dan panggung musik bagi peserta yang datang. Standridge mengaku tak ingin Trump terus mengganggu jalannya pemilihan. “Saya berharap dia mendengarkan hasil pemilihan dan menerima kekalahan agar transisi pemerintahan aman dan lancar,” tutur pria 70 tahun itu.
Adapun Kate Williams, warga Michigan yang kembali memilih Trump, mengaku tahu sepak terjang sang presiden, termasuk kelakuannya mengejek kaum minoritas. “Saya tahu dia itu buruk bagi negara ini,” kata perempuan 38 tahun itu. “Cuitan dia di Twitter itu sungguh memalukan.”
Toh, Williams tetap memilih Trump karena mendukung Partai Republik. Perempuan yang merupakan pendeta itu percaya Republik bisa menjaga nilai-nilai konservatif di negeri itu. Dia tak setuju dengan Demokrat yang cenderung semakin sosialis, termasuk soal program jaminan kesehatannya. “Saya mendengar banyak cerita, kalau (program) ini diwujudkan, orang semakin malas. Sakit sedikit saja, bakal ke rumah sakit,” ucap Williams. “Ini tak adil bagi mereka yang juga membayar premi.”
Hasil pemilihan ini diperkirakan akan berdampak besar bagi seluruh dunia, termasuk Asia Tenggara. Pemerintah Amerika sebelumnya banyak menjalin kerja sama dengan negara-negara dari Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) untuk mengimbangi dominasi Cina di Asia. Sejak Trump menang pada 2016, berbagai kerja sama itu berhenti. “Selama empat tahun terakhir Trump tidak terlalu memperhatikan kawasan Asia Tenggara,” ujar Ericssen.
Dalam East Asia Summit yang dihadiri sejumlah negara Asia, seperti Jepang, Cina, dan India, misalnya, Trump tidak aktif. Ini berbeda dengan Obama, yang hanya absen sekali dari pertemuan itu pada 2013. Citra Amerika di Asia merosot lagi ketika Trump memutuskan keluar dari Trans-Pacific Partnership, kerja sama perdagangan yang melibatkan 11 negara di benua Asia dan Amerika.
Kamarulnizam Abdullah, pakar keamanan nasional dari Universiti Utara Malaysia, mengatakan Trump jelas membuat posisi Amerika di Asia melemah. Amerika bisa kesulitan mendapatkan rasa hormat dari negara-negara Asia jika Trump memimpin pada periode kedua. “Manuver politik dan inkonsistensi kebijakannya terhadap Cina tak bisa mengembalikan posisi Amerika yang tadinya sangat dihargai di ASEAN,” tutur Kamarulnizam, seperti dilaporkan UCA News.
Adapun Presiden Lembaga Kajian Future Forum di Kamboja, Ou Virak, mengatakan kemenangan Biden bisa menjadi titik balik perbaikan relasi Amerika dengan negara-negara di Asia dan ASEAN. Biden dianggap bisa melanjutkan warisan kerja sama yang telah dibangun Obama dulu. Dengan Biden di Gedung Putih, Amerika juga diprediksi bakal masuk lagi ke Trans-Pacific Partnership. Meski demikian, menurut Virak, Biden memerlukan waktu panjang untuk membangun ulang reputasi itu. “Empat tahun tak akan cukup untuk memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi,” ujarnya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA, INDRI MAULIDAR (MICHIGAN)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo