Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Geisha yang merangkak bertahan

Kejayaan geisha di jepang sudah lewat. jumlahnya merosot. satu hal yang lebih terasa bila dihubungkan dengan meningkatnya permintaan. tradisi geisha berumur sabad. (sel)

27 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEJAYAANNYA lewat sudah. Tapi percayalah, geisha di Jepang belum jadi bagian dari masa lampau. Jumlah geisha memang merosot tajam tahun-tahun belakangan ini. Pada dekade '60-an diperkirakan ada 250.000 geisha di negeri matahari terbit itu, jumlah tertinggi yang pernah dicapai sejak Perang Dunia II. "Akan tetapi melewati oilshock tahun '70-an, jumlah geisha berkurang sekonyong-konyong," begitulah dikatakan Osamu Kureba Yashi, dari Asosiasi Rumah Geisha kepada Seiichi Okawa, pembantu TEMPO di Tokyo. Dalam nada suara yang lebih rendah pria berusia 42 tahun itu menandaskan, jumlah geisha tahun ini paling banyak 120. 000 orang. Dengan demikian dalam tempo 20 tahun ada penurunan lebih dari 50%. Tapi apakah ada hubungan antara minyak yang guncang dengan geisha yang gelaknya selalu tertahan? "Saya yakin," ujar Kurebayashi "berkurangnya jumlah geisha berkaitan erat dengan situasi ekonomi Jepang. Banyak perusahaan memperkecil dana entertainment hingga akibatnya pesanan terhadap para geisha menjadi amat berkurang. Lagi pula tempat untuk bersenang-senang lainnya, seperti kabaret, bar dan klub malam bertambah tiba-tiba. Pria masa kini juga umumnya tidak begitu mengerti atraksi kesenian yang disuguhkan geisha." Namun masih ada satu hal lagi yang-agaknya luput dari perhatian Kurebayashi. David Lammers dalam laporan pendek di sk. International Herald Tribune awal Februari lalu antara lain menyebut-nyebut kemakmuran dan gaya hidup modern sebagai biang keladi merosotnya jumlah Geisha. Dikatakannya makin sedikit saja wanita muda yang mau terseret dalamsebuah karir yang menuntut latihan latihan berkepanjangan, tanpa kemungkinan menikah, penghasilan tidak tetap serta jaminan hidup pas-pasan. Kenyataan itu rupanya tidak membuat gentar hati Aguri-san. Perempuan jelita berusia 23 tahun ini secara hampir sempurna mewakili citra geisha masa kini. Di bilangan Asakusa, Tokyo, dialah bintang dunia hiburan nan sopan itu. Di sini terselenggara jamuan-jamuan mewah yang terkadang berselubung rahasia, khusus untuk para politisi, pejabat tinggi dan pengusaha besar. Aguri si molek dengan satu atau dua geisha lain akan hadir dalam jamuan seperti itu--sesuai permintaan tentu saja--sambil mendampingi dan menghibur para tamu. Bila geisha menghibur, anda sebaiknya jangan menduga yang tidak-tidak. Karena yang dia sajikan adalah tradisi yang diwariskan sejak abad ke-16. Dan tradisi itu dikokohkan oleh UU dengan garis bawah yang tegas pada larangan ini, bahwa: geisha tidak dibenarkan bermain cinta dengan tamu yang dihiburnya. Di sinilah keunikan wanita penghibur yang bernama geisha. Masih ada beberapa keistimewaan lain. Terbungkus dalam kimono mahal yang tiap kali berkerisik-kerisik--ah bunyi itu khas sekali, antara ada dan tiada--geisha yang tampil dalam tatarias tradisional Jepang akan duduk betah mendengarkan celoteh tamu-tamunya. Atau bila dikehendaki, ia akan mendongeng, menari, menyanyi, memetik shamisen (sejenis alat musik tradisional Jepang), menata upacara minum teh, bahkan juga merangkai bunga. Kesemua acara itu dilaksanakan secara anggun, menurut tata-cara kuno, penuh irama dan . . . nuansa. Beberapa geisha malah bisa berbahasa Inggris, main go (sejenis permainan khas Jepang) dan mahyong. Tiga ketrampilan ini, berikut semua kebolehan tersebut di atas, diajarkan secara khusus. Tapi, dan ini agak mengejutkan barangkali, ada juga geisha yang tak canggung mengayunkan tongkat golf. Amboi! Dan ada juga yang lincah bermain ski. Jadi, ya, karena semua kelebihan itu, sebaiknya jangan kacaukan para geisha dengan wanita penghibur biasa. Tapi salah faham, apa boleh buat, selalu terjadi, di mana pun juga. Menurut Lammers, geisha sejati acapkali dikelirukan sebagai eisha tiruan, yakni para mahasiswi yang berkunjung ke pesta-pesta sambil mengenakan kimono dan disebut-sebut "geisha merah jambu" atau "geisha bantal". Maaf. Nah, mereka ini umumnya wanita Turis asing juga bisa percaya bahwa wanita yang melayaninya di toruko (pemandian uap gaya Jepang) adalah yang disebut-sebut geisha, padahal bukan. Seperti halnya tempat hiburan lain, toruko berkembang lebih pesat ketimbang rumah geisha. Menurut buku putih yang dikeluarkan Markas Besar Kepolisian Jepang tahun '81, jumlah toruko di seluruh Jepang 1612--di Tokyo saja 296. Wanita yang bekerja di sana tercatat 18.000 orang. Sedangkan rumah geisha, yang sejak dulu memang sudah berdiri di pusat-pusat hiburan, menurut seorang pejabat polisi Tokyo, sekarang ini berkurang sedikit demi sedikit dari tahun ke tahun, karena banyak gedung besar tinggi hingga rumah geisha yang disebut ryotei itu seakan-akan terjepit. Atau tergusur. Meskipun demikian Aguri-san tidak ragu-ragu masuk ke dunia yang terjepit itu. Berbincang-bincang dengan bekas pelayan toko ini sungguh nyaman adanya. Perawakannya tak begitu tinggi, cuma 1,53 m, tapi penampilannya keseluruhan, sangat menarik. Dilahirkan di Yokohama sebagai anak keempat dari lima bersaudara, Aguri menjadi yatim kala ia masih duduk di bangku SMP. "Sejak kecil aku sangat suka menari. Barangkali pengaruh ibuku," tuturnya lembut. "Tapi ibu bukan geisha, hanya dia memang suka menari. Sejak umur 6 tahun aku sudah belajar menari, dua kali seminggu. Sekarang pun aku masih terus berlatih menari," Aguri membuka kisah hidupnya. Kepada Okawa, ia mengakui, tidak sekali pun, pernah terlintas dalam angan angannya bahwa sekali waktu akan menempuh hidup ini sebagai geisha. Tapi malang tak dapat ditolak, karena ayah meninggal, Aguri, terhalang melanjutkan sekolah ke SMA. Namun ia telanjur senang menari, juga telanjur melihat para geisha berlatih menari di tempat yang sama. Aguri waktu itu agaknya mulai tergoda. HASRATNYA untuk tetap menari, mendorong Aguri berusaha mencari uang sendiri. Kesempatan pertama yang diperolehnya adalah sebagai pelayan toko serba-ada. "Tidak ingat betul, tapi kira-kira 3 « tahun aku bekerja di situ . . . dan mencari biaya untuk latihan. Pada waktu itu aku bimbang, apakah akan hidup sebagai wanita yang berdiri sendiri atau menikah seperti yang umum terjadi," kata Aguri mengakui. Dan akhirnya ia sampai pada keputusan yang menentukan itu: memilih profesi sebagai geisha, agar bakatnya menari tetap dapat dipelihara. Bagaimana sambutan ibunya akan keputusan yang rada mengejutkan itu? "Ibu tidak menentang, hanya merasa khawatir apakah aku bisa hidup sebagai geisha," ujar Aguri pula. Bahwa ada pendapat yang merendahkan geisha sebagai pelacur, sama sekali tidak digubrisnya. Bahkan dia tidak mengacuhkan sedikit pun. "Aku bangga dengan profesiku sebagai geisha," katanya tandas. Tapi apakah kerja malam baginya tidak dirasakan berat? Sambil lalu wanita mungil itu menjawab tidak, "karena aku suka pekerjaan itu." Ketika ditanyakan pendapatan yang diperolehnya setahun, terus-terang Aguri menjawab," . . . kira-kira tujuh juta yen." Dan ini penghasilan bersih. Tapi dikatakannya dengan uang sebanyak itu, toh ia belum bisa menabung. Mengapa? Ia pun menjelaskan satu persatu keperluan seorang geisha, khususnya untuk menyangga penampilannya. Pertama-tama ia memerlukan 12 helai kimono, paling sedikit, untuk satu tahun. Ini saja menghabiskan 3 « juta yen. Untuk biaya tata-rias rambut yang dilakukan 2 kali sebulan harus tersedia 40.000 yen. Belum lagi tata rias muka yang jelas tak boleh diremehkan. Di samping itu untuk pelbagai latihan kesenian, Aguri harus menyisihkan dana yang tidak sedikit. Untuk latihan menyanyi yang disebut naqouta dan latihan shamisen. 1 2 .000 yen, 4 kal i se bulan. Latihan nihonbuyo (tarian khas Jepang) yang 6 kali sebulan 10.000 yen, latihan zashiki-odori (tari ruangan) yang 8 kali sebulan 10.000 yen juga. Masih ada latihan narimono (sejenis instrumen musik) 8.000 yen, 7 kali sebulan, serta latihan sado (upacara minum teh) 3.000 yen. Terakhir latihan merangkai bunga, perlu 3.000 yen. Di samping itu biaya pemondokan di Rumah Geisha mencapai 100.000 yen meskipun kalau mau ia bisa tinggal di rumah biasa, cuma 70.000 yen. Meski jerih-payahnya belum membuahkan tabungan, konon pula harta,Aguri toh merasa berbahagia. Malah katanya ia selalu bergembira, apalagi kalau dipesan oleh aneka tamu yang menyandang aneka profesi. Nampaknya wanita ini memiliki rasa ingin tahu yang besar, hingga mata hatinya selalu terbuka untuk orang-orang baru, halhal baru, pengalaman-pengalaman baru. Seorang geisha agaknya memang harus begitu. Seperti kata Aguri akhirnya, "Aku merasa cocok dengan profesi ini. Aku tidak salah pilih." Jadwal kesibukan Aguri cukup padat setiap hari. Bangun sekitar pukul 10 pagi, Aguri yang pantang sarapan itu, memulai kegiatan pertama pukul 11. Pertama ia berlatih tata kesopanan. Dilanjutkan latihan menari, berikut latihan alat musik. Menyusul latihan shamisen, atau nyanyian, sampai pukul 2 siang Sesudah latihan yang berturut turut itu, ia beristirahat 1 jam, kemudian mandi. Baru pada pukul 4 sore, Aguri melahap makan siangnya. Setengah jam kemudian ia bersiap-siap berdandan, tepat pukul 6 sore ia sudah mesti hadir di ryotei, rumah geisha itu. Dan makan malam baru bisa disantapnya selalu pada pukul 1 malam. Pukul 2.30 dinihari, Aguri baru bebas untuk melangkah ke kamar tidur. Agaknya semua itu bukan sekedar jadwal yang ketat, tapi benar-benar kerja keras. Apa kata wanita biasa tentang geisha dan gaya hidup mereka? "Geishasan? Cantik, mempesona!", cetus Irie, 24 tahun, seorang wanita pekerja di sebuah stasiun tv di Tokyo. "Aku kalau boleh juga ingin mencoba," lanjutnya. "Aduh, geisha itu mengingatkan aku pada kupu-kupu." Kumiko Mori, 21 tahun, mahasiswa Universitas Toyo di Tokyo berpendapat lain. "Saya rasa pekerjaan geisha itu sungguh berat. Latihannya saja terlalu keras. Saya rasa saya tidak tahan eh!" kata Mori yang menambahkan bahwa baginya kehidupan geisha memang istimewa, tapi rumit. Ny. Miyuki Suzuki, 34 tahun, seorang ibu rumahtangga juga memandang kerja geisha itu berat. "Kalau saya, tentu tidak tahan latihan yang bertahun-tahun itu. Tapi pekerjaan itu mementingkan seni dan seorang geisha sudah sepantasnya berbangga diri." DI Tokyo tercatat 3 kenban (koperasi) geisha, yaitu Asakusa, berikut dua lainnya Akasaka Kenban dan Shinbashi Kenban. Sebenarnya di seluruh Tokyo tercatat 38 kenban membawahkan 6.000 rumah geisha yang mencakup 20.000 geisha. Banyak juga, ya? Tapi Asakusa mengumpulkan 95 geisha saja dengan tarif per 2 jam 80.000 - 100. 000 yen. Tarif di Akasaka dan Shinbashi bisa 2 kali lebih mahal. Ke sini banyak berkunjung politisi kelas wahid atau para pejabat tinggi. Sedangkan yang mencari hiburan di Asakusa acialah para pengusaha atau pemilik toko. Di Asakusa, umur rata-rata geisha 40 tahun. Geisha termuda, Nona Hanako baru 20 tahun, tapi yang tertua Nona Umechiyo 71 tahun. Tidak dijelaskan, apa saja tugas nenek yang katanya masih aktif sebagai geisha itu. Yachiyoko, 45 tahun, mengakui, bahwa pekerjaan geisha merupakan kombinasi hobby dan keuntungan. Sudah bertugas 30 tahun, satu masa panjang yang katanya jauh lebih banyak suka daripada duka. Apalagi kalau sudah berlatih kesenian, wanita setengah baya itu hanya merasakan yang indah-indah saja dalam hidup ini. Ketika disinggung soal pernikahan, Yoko ringan mencetus "profesi geisha jauh lebih indah dari pernikahan. Tamu yang baik pada saya ada saja, tapi geisha tidak boleh jatuh cinta meski senang sama dia. Mengerti?" Ia sedikit pun tidak terkejut ketika ditanya soal pacar. "Yah, saya punya sekarang," katanya santai, "tapi saya tidak punya niat untuk menikah." Geisha paling top, Aguri-san, bahkan tidak punya pacar. Minat untuk menikah? "Entahlah." Kemudian agak terputus-putus ia berkata, "Jika . . . jika eh aku bertemu seorang laki-laki dan jatuh cinta padanya, kemungkinan aku berubah hati. Tapi sekarang ini, pacar saya itulah profesi yang bernama geisha." Begitu mantap rupanya dia. Dengan sikap tegas yang sulit ditawar seperti itu, tidak salah bila Shigesuke Uetsuki merasa sedikit bangga. Kepala Asosiasi Rumah Geisha ini mengetahui benar, betapa sulit 'menciptakan" seorang geisha. Menurut dia, diperlukan 3 sampai 4 tahun sebelum seorang gadis bisa diorbitkan sebagai geisha yang ideal. Dan selama masa latihan yang cukup berat itu, rumah geisha hanya mengeluarkan biaya, tanpa uang masuk. Satu masa investasi yang cukur lama juga, menyaingi usaha eksplorasi minyak lepas pantai. Lagi pula belum bisa segera dipastikan, apakah seorang gadis yang dilatin akan menyelesaikan masa dinas yang berat itu tanpa berubah pendapat. "Di Asakusa ini ada 3 atau 4 gadis yang datang sebagai pelamar, tapi hanya 1 atau 2 orang yang tahan menjalani latihan," ucap Uetsuki. DIAKUINYA bahwa jumlah geisha sekarang jauh berkurang, satu hal yang lebih terasa bila dihubungkan dengan meningkatnya permintaan. Belakangan ini, para pengusaha muda lebih banyak menaruh perhatian pada geisha, khusus untuk menyemarakkan pesta-pesta mereka. Uetsuki bukan tidak melihat ini, tapi untuk "menciptakan" geisha, jelas bukan pekerjaan mudah. "Kami tidak menerima gadis yang tidak berbakat. Tapi kalau ada yang sanggup berlatih aneka cabang seni selama 4 tahun dan jelas pula asal-usulnya, maka kami tidak keberatan," tuturnya hati-hati. Meski prihatin, Uetsuki, seperti juga tokoh-tokoh pengelola geisha lainnya, tidak akan memperlunak persyaratan yang ketat itu. Seorang geisha sejati, bukan saja harus cantik, tapi berbakat, berkepribadian, juga tahan uji. Pada mereka terpikul beban untuk melestarikan warisan tradisi geisha, yang sudah 5 abad usianya. Sungguh berat deh!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus