KEJAYAANNYA lewat sudah. Tapi percayalah, geisha di Jepang belum
jadi bagian dari masa lampau. Jumlah geisha memang merosot tajam
tahun-tahun belakangan ini. Pada dekade '60-an diperkirakan ada
250.000 geisha di negeri matahari terbit itu, jumlah tertinggi
yang pernah dicapai sejak Perang Dunia II.
"Akan tetapi melewati oilshock tahun '70-an, jumlah geisha
berkurang sekonyong-konyong," begitulah dikatakan Osamu Kureba
Yashi, dari Asosiasi Rumah Geisha kepada Seiichi Okawa, pembantu
TEMPO di Tokyo. Dalam nada suara yang lebih rendah pria berusia
42 tahun itu menandaskan, jumlah geisha tahun ini paling banyak
120. 000 orang. Dengan demikian dalam tempo 20 tahun ada
penurunan lebih dari 50%.
Tapi apakah ada hubungan antara minyak yang guncang dengan
geisha yang gelaknya selalu tertahan? "Saya yakin," ujar
Kurebayashi "berkurangnya jumlah geisha berkaitan erat dengan
situasi ekonomi Jepang. Banyak perusahaan memperkecil dana
entertainment hingga akibatnya pesanan terhadap para geisha
menjadi amat berkurang. Lagi pula tempat untuk bersenang-senang
lainnya, seperti kabaret, bar dan klub malam bertambah
tiba-tiba. Pria masa kini juga umumnya tidak begitu mengerti
atraksi kesenian yang disuguhkan geisha."
Namun masih ada satu hal lagi yang-agaknya luput dari perhatian
Kurebayashi. David Lammers dalam laporan pendek di sk.
International Herald Tribune awal Februari lalu antara lain
menyebut-nyebut kemakmuran dan gaya hidup modern sebagai biang
keladi merosotnya jumlah Geisha. Dikatakannya makin sedikit
saja wanita muda yang mau terseret dalamsebuah karir yang
menuntut latihan latihan berkepanjangan, tanpa kemungkinan
menikah, penghasilan tidak tetap serta jaminan hidup pas-pasan.
Kenyataan itu rupanya tidak membuat gentar hati Aguri-san.
Perempuan jelita berusia 23 tahun ini secara hampir sempurna
mewakili citra geisha masa kini. Di bilangan Asakusa, Tokyo,
dialah bintang dunia hiburan nan sopan itu. Di sini
terselenggara jamuan-jamuan mewah yang terkadang berselubung
rahasia, khusus untuk para politisi, pejabat tinggi dan
pengusaha besar. Aguri si molek dengan satu atau dua geisha lain
akan hadir dalam jamuan seperti itu--sesuai permintaan tentu
saja--sambil mendampingi dan menghibur para tamu.
Bila geisha menghibur, anda sebaiknya jangan menduga yang
tidak-tidak. Karena yang dia sajikan adalah tradisi yang
diwariskan sejak abad ke-16. Dan tradisi itu dikokohkan oleh UU
dengan garis bawah yang tegas pada larangan ini, bahwa: geisha
tidak dibenarkan bermain cinta dengan tamu yang dihiburnya. Di
sinilah keunikan wanita penghibur yang bernama geisha.
Masih ada beberapa keistimewaan lain. Terbungkus dalam kimono
mahal yang tiap kali berkerisik-kerisik--ah bunyi itu khas
sekali, antara ada dan tiada--geisha yang tampil dalam tatarias
tradisional Jepang akan duduk betah mendengarkan celoteh
tamu-tamunya. Atau bila dikehendaki, ia akan mendongeng, menari,
menyanyi, memetik shamisen (sejenis alat musik tradisional
Jepang), menata upacara minum teh, bahkan juga merangkai bunga.
Kesemua acara itu dilaksanakan secara anggun, menurut tata-cara
kuno, penuh irama dan . . . nuansa.
Beberapa geisha malah bisa berbahasa Inggris, main go (sejenis
permainan khas Jepang) dan mahyong. Tiga ketrampilan ini,
berikut semua kebolehan tersebut di atas, diajarkan secara
khusus. Tapi, dan ini agak mengejutkan barangkali, ada juga
geisha yang tak canggung mengayunkan tongkat golf. Amboi! Dan
ada juga yang lincah bermain ski. Jadi, ya, karena semua
kelebihan itu, sebaiknya jangan kacaukan para geisha dengan
wanita penghibur biasa.
Tapi salah faham, apa boleh buat, selalu terjadi, di mana pun
juga. Menurut Lammers, geisha sejati acapkali dikelirukan
sebagai eisha tiruan, yakni para mahasiswi yang berkunjung ke
pesta-pesta sambil mengenakan kimono dan disebut-sebut "geisha
merah jambu" atau "geisha bantal". Maaf. Nah, mereka ini umumnya
wanita Turis asing juga bisa percaya bahwa wanita yang
melayaninya di toruko (pemandian uap gaya Jepang) adalah yang
disebut-sebut geisha, padahal bukan.
Seperti halnya tempat hiburan lain, toruko berkembang lebih
pesat ketimbang rumah geisha. Menurut buku putih yang
dikeluarkan Markas Besar Kepolisian Jepang tahun '81, jumlah
toruko di seluruh Jepang 1612--di Tokyo saja 296. Wanita yang
bekerja di sana tercatat 18.000 orang. Sedangkan rumah geisha,
yang sejak dulu memang sudah berdiri di pusat-pusat hiburan,
menurut seorang pejabat polisi Tokyo, sekarang ini berkurang
sedikit demi sedikit dari tahun ke tahun, karena banyak gedung
besar tinggi hingga rumah geisha yang disebut ryotei itu
seakan-akan terjepit. Atau tergusur.
Meskipun demikian Aguri-san tidak ragu-ragu masuk ke dunia yang
terjepit itu. Berbincang-bincang dengan bekas pelayan toko ini
sungguh nyaman adanya. Perawakannya tak begitu tinggi, cuma 1,53
m, tapi penampilannya keseluruhan, sangat menarik. Dilahirkan di
Yokohama sebagai anak keempat dari lima bersaudara, Aguri
menjadi yatim kala ia masih duduk di bangku SMP. "Sejak kecil
aku sangat suka menari. Barangkali pengaruh ibuku," tuturnya
lembut. "Tapi ibu bukan geisha, hanya dia memang suka menari.
Sejak umur 6 tahun aku sudah belajar menari, dua kali seminggu.
Sekarang pun aku masih terus berlatih menari," Aguri membuka
kisah hidupnya.
Kepada Okawa, ia mengakui, tidak sekali pun, pernah terlintas
dalam angan angannya bahwa sekali waktu akan menempuh hidup ini
sebagai geisha. Tapi malang tak dapat ditolak, karena ayah
meninggal, Aguri, terhalang melanjutkan sekolah ke SMA. Namun ia
telanjur senang menari, juga telanjur melihat para geisha
berlatih menari di tempat yang sama. Aguri waktu itu agaknya
mulai tergoda.
HASRATNYA untuk tetap menari, mendorong Aguri berusaha mencari
uang sendiri. Kesempatan pertama yang diperolehnya adalah
sebagai pelayan toko serba-ada. "Tidak ingat betul, tapi
kira-kira 3 « tahun aku bekerja di situ . . . dan mencari biaya
untuk latihan. Pada waktu itu aku bimbang, apakah akan hidup
sebagai wanita yang berdiri sendiri atau menikah seperti yang
umum terjadi," kata Aguri mengakui. Dan akhirnya ia sampai pada
keputusan yang menentukan itu: memilih profesi sebagai geisha,
agar bakatnya menari tetap dapat dipelihara.
Bagaimana sambutan ibunya akan keputusan yang rada mengejutkan
itu? "Ibu tidak menentang, hanya merasa khawatir apakah aku bisa
hidup sebagai geisha," ujar Aguri pula. Bahwa ada pendapat yang
merendahkan geisha sebagai pelacur, sama sekali tidak
digubrisnya. Bahkan dia tidak mengacuhkan sedikit pun. "Aku
bangga dengan profesiku sebagai geisha," katanya tandas. Tapi
apakah kerja malam baginya tidak dirasakan berat? Sambil lalu
wanita mungil itu menjawab tidak, "karena aku suka pekerjaan
itu."
Ketika ditanyakan pendapatan yang diperolehnya setahun,
terus-terang Aguri menjawab," . . . kira-kira tujuh juta yen."
Dan ini penghasilan bersih. Tapi dikatakannya dengan uang
sebanyak itu, toh ia belum bisa menabung. Mengapa? Ia pun
menjelaskan satu persatu keperluan seorang geisha, khususnya
untuk menyangga penampilannya. Pertama-tama ia memerlukan 12
helai kimono, paling sedikit, untuk satu tahun. Ini saja
menghabiskan 3 « juta yen. Untuk biaya tata-rias rambut yang
dilakukan 2 kali sebulan harus tersedia 40.000 yen. Belum lagi
tata rias muka yang jelas tak boleh diremehkan.
Di samping itu untuk pelbagai latihan kesenian, Aguri harus
menyisihkan dana yang tidak sedikit. Untuk latihan menyanyi yang
disebut naqouta dan latihan shamisen. 1 2 .000 yen, 4 kal i se
bulan. Latihan nihonbuyo (tarian khas Jepang) yang 6 kali
sebulan 10.000 yen, latihan zashiki-odori (tari ruangan) yang 8
kali sebulan 10.000 yen juga. Masih ada latihan narimono
(sejenis instrumen musik) 8.000 yen, 7 kali sebulan, serta
latihan sado (upacara minum teh) 3.000 yen. Terakhir latihan
merangkai bunga, perlu 3.000 yen.
Di samping itu biaya pemondokan di Rumah Geisha mencapai 100.000
yen meskipun kalau mau ia bisa tinggal di rumah biasa, cuma
70.000 yen. Meski jerih-payahnya belum membuahkan tabungan,
konon pula harta,Aguri toh merasa berbahagia. Malah katanya ia
selalu bergembira, apalagi kalau dipesan oleh aneka tamu yang
menyandang aneka profesi. Nampaknya wanita ini memiliki rasa
ingin tahu yang besar, hingga mata hatinya selalu terbuka untuk
orang-orang baru, halhal baru, pengalaman-pengalaman baru.
Seorang geisha agaknya memang harus begitu. Seperti kata Aguri
akhirnya, "Aku merasa cocok dengan profesi ini. Aku tidak salah
pilih."
Jadwal kesibukan Aguri cukup padat setiap hari. Bangun sekitar
pukul 10 pagi, Aguri yang pantang sarapan itu, memulai kegiatan
pertama pukul 11. Pertama ia berlatih tata kesopanan.
Dilanjutkan latihan menari, berikut latihan alat musik. Menyusul
latihan shamisen, atau nyanyian, sampai pukul 2 siang Sesudah
latihan yang berturut turut itu, ia beristirahat 1 jam, kemudian
mandi. Baru pada pukul 4 sore, Aguri melahap makan siangnya.
Setengah jam kemudian ia bersiap-siap berdandan, tepat pukul 6
sore ia sudah mesti hadir di ryotei, rumah geisha itu. Dan makan
malam baru bisa disantapnya selalu pada pukul 1 malam. Pukul
2.30 dinihari, Aguri baru bebas untuk melangkah ke kamar tidur.
Agaknya semua itu bukan sekedar jadwal yang ketat, tapi
benar-benar kerja keras.
Apa kata wanita biasa tentang geisha dan gaya hidup mereka?
"Geishasan? Cantik, mempesona!", cetus Irie, 24 tahun, seorang
wanita pekerja di sebuah stasiun tv di Tokyo. "Aku kalau boleh
juga ingin mencoba," lanjutnya. "Aduh, geisha itu mengingatkan
aku pada kupu-kupu." Kumiko Mori, 21 tahun, mahasiswa
Universitas Toyo di Tokyo berpendapat lain. "Saya rasa pekerjaan
geisha itu sungguh berat. Latihannya saja terlalu keras. Saya
rasa saya tidak tahan eh!" kata Mori yang menambahkan bahwa
baginya kehidupan geisha memang istimewa, tapi rumit. Ny. Miyuki
Suzuki, 34 tahun, seorang ibu rumahtangga juga memandang kerja
geisha itu berat. "Kalau saya, tentu tidak tahan latihan yang
bertahun-tahun itu. Tapi pekerjaan itu mementingkan seni dan
seorang geisha sudah sepantasnya berbangga diri."
DI Tokyo tercatat 3 kenban (koperasi) geisha, yaitu Asakusa,
berikut dua lainnya Akasaka Kenban dan Shinbashi Kenban.
Sebenarnya di seluruh Tokyo tercatat 38 kenban membawahkan 6.000
rumah geisha yang mencakup 20.000 geisha. Banyak juga, ya? Tapi
Asakusa mengumpulkan 95 geisha saja dengan tarif per 2 jam
80.000 - 100. 000 yen. Tarif di Akasaka dan Shinbashi bisa 2
kali lebih mahal. Ke sini banyak berkunjung politisi kelas wahid
atau para pejabat tinggi. Sedangkan yang mencari hiburan di
Asakusa acialah para pengusaha atau pemilik toko.
Di Asakusa, umur rata-rata geisha 40 tahun. Geisha termuda,
Nona Hanako baru 20 tahun, tapi yang tertua Nona Umechiyo 71
tahun. Tidak dijelaskan, apa saja tugas nenek yang katanya masih
aktif sebagai geisha itu. Yachiyoko, 45 tahun, mengakui, bahwa
pekerjaan geisha merupakan kombinasi hobby dan keuntungan.
Sudah bertugas 30 tahun, satu masa panjang yang katanya jauh
lebih banyak suka daripada duka. Apalagi kalau sudah berlatih
kesenian, wanita setengah baya itu hanya merasakan yang
indah-indah saja dalam hidup ini. Ketika disinggung soal
pernikahan, Yoko ringan mencetus "profesi geisha jauh lebih
indah dari pernikahan. Tamu yang baik pada saya ada saja, tapi
geisha tidak boleh jatuh cinta meski senang sama dia. Mengerti?"
Ia sedikit pun tidak terkejut ketika ditanya soal pacar. "Yah,
saya punya sekarang," katanya santai, "tapi saya tidak punya
niat untuk menikah."
Geisha paling top, Aguri-san, bahkan tidak punya pacar. Minat
untuk menikah? "Entahlah." Kemudian agak terputus-putus ia
berkata, "Jika . . . jika eh aku bertemu seorang laki-laki dan
jatuh cinta padanya, kemungkinan aku berubah hati. Tapi sekarang
ini, pacar saya itulah profesi yang bernama geisha." Begitu
mantap rupanya dia.
Dengan sikap tegas yang sulit ditawar seperti itu, tidak salah
bila Shigesuke Uetsuki merasa sedikit bangga. Kepala Asosiasi
Rumah Geisha ini mengetahui benar, betapa sulit 'menciptakan"
seorang geisha. Menurut dia, diperlukan 3 sampai 4 tahun sebelum
seorang gadis bisa diorbitkan sebagai geisha yang ideal. Dan
selama masa latihan yang cukup berat itu, rumah geisha hanya
mengeluarkan biaya, tanpa uang masuk. Satu masa investasi yang
cukur lama juga, menyaingi usaha eksplorasi minyak lepas pantai.
Lagi pula belum bisa segera dipastikan, apakah seorang gadis
yang dilatin akan menyelesaikan masa dinas yang berat itu tanpa
berubah pendapat. "Di Asakusa ini ada 3 atau 4 gadis yang datang
sebagai pelamar, tapi hanya 1 atau 2 orang yang tahan menjalani
latihan," ucap Uetsuki.
DIAKUINYA bahwa jumlah geisha sekarang jauh berkurang, satu hal
yang lebih terasa bila dihubungkan dengan meningkatnya
permintaan. Belakangan ini, para pengusaha muda lebih banyak
menaruh perhatian pada geisha, khusus untuk menyemarakkan
pesta-pesta mereka. Uetsuki bukan tidak melihat ini, tapi untuk
"menciptakan" geisha, jelas bukan pekerjaan mudah. "Kami tidak
menerima gadis yang tidak berbakat. Tapi kalau ada yang sanggup
berlatih aneka cabang seni selama 4 tahun dan jelas pula
asal-usulnya, maka kami tidak keberatan," tuturnya hati-hati.
Meski prihatin, Uetsuki, seperti juga tokoh-tokoh pengelola
geisha lainnya, tidak akan memperlunak persyaratan yang ketat
itu. Seorang geisha sejati, bukan saja harus cantik, tapi
berbakat, berkepribadian, juga tahan uji. Pada mereka terpikul
beban untuk melestarikan warisan tradisi geisha, yang sudah 5
abad usianya. Sungguh berat deh!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini