Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. ** UU Lingkungan Hidup, 11 Maret 82. SOAL lingkungan yang sehat, di bumi yang sebiji ini, tidak baru. Kerja bakti kebersihan kerap diserukan. Dan di Jakarta-baru saja usai program GMK3LH yang dikomandoi istri Gubermlr itu. Himbauan 'Dilarang Merokok' pada tempat-tempat tertentu, di sebuah bioskop di Ibukota telah diimbuhi sanksi sehingga berbunyi: "Jika Anda Tetap Merokok Pertunjukan Kami Hentikan." Mengapa pula, misalnya, menghebohkan berdirinya sebuah rumah makan di Puncak Pass, kalau bukan demi lingkungan yang indah? Biarkan penduduk mengambil karang di Pantai Klta jika, antara lain, kita tak risau akan punahnya pasir putih yang dollaran itu. Nll, bahwa lingkungan yang "baik dan sehat" tegas-tegas dinyatakan sebagai hak, itulah yang baru. Vational Environmental Policy Act (NEPA) dari AS,-yang lebih kurang mengilhami pengaturan lingkungan di manca negara itu pun tak sampai memuat hak atas kondisi alam sedemikian tegasnya. Tapi pernyataan itu memang sesuai dengan amanat UUD 1945. Bukankah 'kesejahteraan umum' dalam Pembukaan Konstitusi yang kenyal itu berarti juga kesenangan mata dan kalbu? Pasti tak ada yang bersikap meng-golput terhadap hak ini. Dan kini, persis dua windu setelah Super Semar, hak termaksud terpatri dalam pasal 5 (1) Undang-undang No. 4/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup--disebarkan melalui Lembaran Negara No. 12. Dalam waktu tak sampai dua pekan sejak RUU tersebut disetujui DPR (TEMPO, 6 Maret) ia telah ditandatangani Presiden. Tapi karena hak ini miiik "setiap orang", maka ia kepunyaan semua manusia (bahkan juga mahluk bernyawa lain). Dan inilah justru yang jadi hulu masalah. Bagaimana mengatur adanya penenggangan dalam kebersamaan--itulah kira-kira sasaran hukum lingkungan, khususnya UU ini. Dari itu, kalau Bung berhak akan lingkungan hidup (LH) yang baik dan sehat, Bung juga kudu menjaga LH termaksud dalam kondisi demikian, agar hak "Bung" yang lain tidak tergores - begitu tersirat dari pasal 5 (2). Dengan pengelolaan LH diharapkan dapat "terwujudnya manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup" (pasal 4c). Pembinaan dan pengelolaan LH dikompasi oleh suatu asas yakni "pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan .." (pasal 3). Kata 'lestari' banyak dikritik lantaran bernada statis, konservatif dan apa adanya. Padahal riak pembangunan sekarang, salah-salah, bisa menerjang sendi kehidupan tertentu berwujud cemarnya LH dan rusaknya sumberdaya. Rumusan asas di atas sengaja dibuat begitu agar tertinggal kesan adanya suasana dinamis. Yang dilestarikan itu bukan LH tapi kemampuan daya dukungnya, dalam interaksi melayani kebutuhan pembangunan yang tak kunjung selesai. Maka dalam dunia usaha, kalau Tuan mendapat HPH, ada dua tugas. Bukan hanya menebang pohon, tapi juga bagaimana menanam bibit baru lagi--bahkan dalam potensi yang lebih besar, karena sumberdaya bakal ditantang oleh permintaan yang meningkat pula. Jadi ya pembagunan, ya LH yang bai'k dan sehat. Dalam rurusan lain, yang hendak digapai adalah pembangunan yang "berwawasan lingkungan" (pasal 4d). Ibarat pasir dalam adonan semen. Paling tidak sebelum Tuan Sutanto dan Tuan Watanabe memulai proyek mereka di tanah air Sutanto mereka sudah memasukkan aspek LH dalam kepala: apa pengaruh proyek terhadap LH. Rumitnya, bukan saja lingkungan fisik. Juga sosial. Misamya, terangkatlah kualitas hidup masyarakat setempat. Atau adakah kesenjangan antara pendatang dan mereka. Macam-macam. Singkat kata, untuk proyek semacam ini diperlukan analisis dampak lingkungan (pasal 16). Bukan itu saja. Kewajiban pengusaha memelihara LH juga (iicantumkan dalam setiap izin yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dalam kaitan usahanya (pasal 7). Tentu saja pemberi izin dapat mempertegas kewajiban tersebut dengan rupa-rupa sanksi administratif--asal tidak ngawur, dan sejalan dengan UU. Ancaman pidana juga tercantum dalam UU ini (pasal 22). Untuk gugatan perdata, aturan main seperti biasa. Siapa yang merugikan orang lain bertanggungjawab membayar ganti rugi. Ada lagi: LH yang dirusak harus dipulihkan, dan karena itu yang bersangkutan harus membayar biaya itu kepada negara (pasal 22). Toh orang meragukan bahwa para korban, yang umumnya punya kemampuan kecil, akan dapat menang beradu hukum sipil dengan perusak LH--apalagi kalau yang terakhir punya teknologi yang rumit diselami --dan "kekuasaan". Tapi UU membuka kemungkinan tertampungnya aspirasi baru itu. Jadi untuk kegiatan yang mempengaruhi sumberdaya tertentu, "tanggungjawab timbul secara mutlak pada perusak dan atau pencemar pada saat terjadinya perusakan dan atau pencemaran lingkungan" (pasal 21). Model tanggungjawab begitu agak mengerikan kaum pengusaha, memang. Maklum, salah atau tidak, pokoknya kalau ada bukti terjadinya situasi demikian, gebrak: bayar ganti rugi. Hanya saja, yang dikandung UU sekarang baru pengaturan dasarnya saja. Masih harus dijabarkan lagi. Yang jelas tanggungjawab mutlak begini telah dianut di banyak negara. Sanksi, betapapun seramnya, tak selamanya ampuh mengamankan sesuatu. Orang ekonomi misalnya tak puas atas pendekatan legal. Sistem insentif lebih pas, kata mereka. Tapi W juga menawarkan cara demikian (pasal 8). Maka kelak pengusaha yang dapat melindungi LH lebih dari yang diwajibkan terhadapnya, dapat diberi insentif. Misalnya fasilitas perpajakan. Begitu juga orang yang berjasa dalam pengelolaan UU menuangkan beberapa lagi prinsip pengelolaan itu: perkara kelembagaan, penentuan baku terhadap mutu lingkungan serta pengertian-pengertian dasar lain. Sesuai dengan namanya, UU ini hanya pencetusan kebijaksanaan nasional yang terpadu tentang LH - tak ubahnya dengan NEPA-nya orang Amerika itu. Maka biarpun ia telah diundangkan, tak lalu berarti badak-badak nan langka akan aman. Atau pabrik Anu akan berhenti mencemarkan. UU ini hanya atap. Bukan obat langsung, apalagipar.acea terhadap segala borok pengganggu LH. Bagai rumah gadang, para sanak sendiri wajib mengisinya. Sektor-sektor kudu segera menyiapkan konsep UU, Peraturan Pemerintah, atau Kepres, untuk pelaksanaan kebijaksanaan mulia di atas. Atau bila perlu mengubah yang telah ada--agar tetap dalam satu naungan. Dan Menteri Emil, atau siapa pun pemuncak PP LH, bertanggungjawab mengkoordinasikan semua. Tampak nya orang masih harus sabar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini