Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perang Gen Z dan Milenial Versus Krisis Iklim

Tidak seperti anggapan kebanyakan orang, generasi Z dan milenial ternyata memiliki kesadaran tinggi soal lingkungan. Melawan perubahan iklim lewat media sosial hingga membersihkan sungai.

28 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah mahasiswa dan aktivis pencinta lingkungan memungut sampah dalam rangka memperingati World Cleanup Day 2021 di aliran sungai Desa Alue Naga, Syiah Kuala, Banda Aceh, Aceh, 26 September 2021. ANTARA/Syifa Yulinnas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Survei Indikator Politik Indonesia menyatakan generasi Z dan milenial sangat melek soal perubahan iklim.

  • Membantah anggapan bahwa anak muda Indonesia tidak peduli terhadap isu lingkungan.

  • Mengisi Hari Sumpah Pemuda dengan merawat bumi.

JAKARTA Adhityani Dhitri Putri merasa terpukul ketika mendengar jawaban anaknya yang berusia 11 tahun ihwal perubahan iklim. Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah ini saat itu sedang mendiskusikan tugas sekolah. Si bocah ingin membuat situs web berisi informasi untuk menenangkan kegundahan teman-temannya akan krisis iklim. Kecemasan para bocah itu muncul karena ancaman bencana alam tersebut tidak diimbangi dengan antisipasi para pemangku kepentingan. “Sekecil itu mereka sudah merasakan eco-anxiety,” kata Dhitri, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anak Dhitri, yang berusia 11 tahun, merupakan bagian dari generasi Z di Indonesia—lahir antara 1997 dan 2012. Di atas kelompok umur itu adalah generasi Y atau lebih dikenal sebagai generasi milenial (1981-1996). Sensus pada 2020 menyebutkan jumlah generasi Z sebanyak 75 juta orang atau 27,9 persen populasi dan generasi milenial 69,9 juta orang atau 25,8 persen populasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Survei Indikator Politik Indonesia bersama Yayasan Indonesia Cerah menunjukkan mayoritas responden berusia 17-35 tahun, yang meliputi generasi Z dan milenial, menilai perubahan iklim sebagai masalah serius yang dampaknya telah mereka rasakan. Mereka juga menempatkan kerusakan lingkungan sebagai ancaman terbesar bagi Indonesia setelah korupsi. Sigi ini dilakukan menjelang peringatan Sumpah Pemuda dan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa soal Perubahan Iklim atau COP26 yang akan berlangsung di Glasgow, Skotlandia, mulai Ahad mendatang.

Menurut Dhitri, survei tersebut membantah pandangan yang menganggap bahwa generasi muda tak paham dan tak peduli terhadap krisis iklim. Jajak pendapat itu memperkuat fenomena maraknya aktivitas pelajar dan mahasiswa di bidang pelestarian lingkungan. Dari jaga rimba, pantau gambut, diet kantong plastik, jeda untuk iklim, hingga greeneration, yang tersebar dari Aceh sampai Papua. “Banyak gerakan bottom-up yang digerakkan generasi Z dan milenial,” kata dia.

Sejumlah mahasiswa dari Universitas Teuku Umar Meulaboh menanam mangrove di kawasan ekowisata mangrove di Desa Gampong Baro, Kecamatan Sayeung, Aceh Jaya, Aceh, 15 September 2021. ANTARA/Syifa Yulinnas

Di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, dua pekan lalu, misalnya. Sekitar 20 mahasiswa dan pelajar mengisi libur akhir pekan dengan mengangkut sampah plastik yang membekap Kali Bulusari di Desa Bulusari, Kecamatan Gempol. Bersih-bersih sungai ini diinisiasi Ecoton, lembaga nirlaba bidang lingkungan yang berbasis di Surabaya, serta The Body Shop. “Dulu di Kali Bulusari ini banyak udang. Sekarang sudah tidak ada karena tercemari sampah plastik dan limbah tekstil,” ujar Irsyad, warga Bulusari.

Kholid Basyaiban, koordinator kegiatan tersebut, mengatakan sampah plastik yang mencemari sungai akan berubah menjadi mikroplastik karena terkena matahari. Mikroplastik itu akan mengganggu plankton yang merupakan sumber makanan ikan dan ekosistem sungai di sekitarnya. “Sampah plastik yang nyantol di pohon dan akar pohon di bantaran sungai membuat mati pohon serta tumbuhan lain di bantaran sungai,” kata dia.

Hasil kerja 20 anak muda itu adalah sepuluh karung sampah plastik seberat lebih dari 1 kuintal. Paling banyak adalah kantong kresek, saset, dan kemasan makanan bermerek. Jenis sampah terbanyak kedua adalah popok dan pembalut.

Berikutnya, para relawan itu bergerak ke Wonosalam di Jombang dan Kali Marmoyo di Mojokerto. Kegiatannya sama: membersihkan pohon dari jeratan sampah plastik sebagai seruan ke masyarakat dan pemerintah agar bertanggung jawab atas lingkungan.

Aksi serupa digelar lembaga lingkungan lain, Yayasan EcoNusa, pada Hari Sumpah Pemuda. Lewat kampanye bertajuk #AksiMudaJagaIklim, mereka menanam pohon dan bakau, membersihkan pantai, serta menanam kerang hijau di 76 lokasi di Indonesia pada hari ini—terkonsentrasi di Jakarta, Makassar, dan Ambon.

CEO Naraseaid dan koordinator EcoNusa, Brian Auriol, mengatakan mereka menargetkan anak-anak muda sebagai mitra karena merupakan kelompok umur yang melek teknologi informasi. EcoNusa memanfaatkan berbagai kanal digital sebagai media untuk menggaungkan semangat merawat bumi. “Kami mengajak sebanyak mungkin anak muda untuk bergabung dalam gerakan ini,” kata Auriol.

Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya mengamati indukan hewan terancam punah amfibi salamander air (Ambystoma mexicanum) untuk dikembangbiakkan di kolam budi daya tim Aquaxo di Malang, Jawa Timur, 25 Oktober 2021. ANTARA/Ari Bowo Sucipto

Membangun kesadaran lingkungan sedini mungkin diperlukan karena masalah krisis iklim tidak berdiri sendiri. Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra, mengatakan, di Indonesia, perubahan iklim berkaitan erat dengan isu korupsi.

Menurut Syahrul, perubahan iklim dipicu intervensi manusia terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam. Bentuknya bisa deforestasi, pembukaan lahan tambang besar-besaran, penggunaan pupuk pestisida berlebihan, pembuangan limbah pabrik yang mengakibatkan hilangnya spesies, dan kerusakan ekosistem. “Dari situlah pemicu hilangnya lapisan selubung bumi. Ini diakibatkan oleh hilangnya hutan dan terumbu karang yang mempercepat naiknya karbondioksida ke atmosfer,” kata dia.

Meski sektor transportasi menjadi penyumbang besar polusi, Syahrul melanjutkan, aktor korporasi menyumbang lebih banyak terhadap krisis iklim. Dia mengutip penelusuran Komisi Pemberantasan Korupsi dan Greenpeace yang mendapati banyak aksi korporasi yang diperoleh secara koruptif. Jadi, menurut dia, kenaikan suhu bumi bukan semata-mata karena aktivitas sehari-hari, tapi juga dampak dari kejahatan korupsi yang mendahuluinya.

Sebagai kelompok yang paling terkena dampak, peran generasi Z dan milenial sangat besar. Syahrul mengatakan pemuda bisa menyuarakan perlawanan terhadap pelaku perusakan lingkungan, misalnya menggaungkan suatu masalah di media sosial. Kedua, mereka harus mengubah pola hidup menjadi lebih ramah lingkungan, termasuk menolak produk yang merusak alam.

Terakhir, seperti banyak terjadi di luar negeri, pemuda bisa mengajukan gugatan keadilan lingkungan dan perubahan iklim kepada pemerintah dan korporasi. “Karena hak untuk mendapat lingkungan hidup yang layak di masa depan merupakan hak para pemuda,” kata Syahrul.

MAYA AYU PUSPITASARI | MIRZA BHAGASKARA (MAGANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus