Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebanyak 3.587 bangunan tua tertata apik di ibu kota Penang, George Town. Bangunan-bangunan tersebut bergaya arsitektural mulai Art Deco hingga arsitektur Cina klasik. Masjid, kuil, dan gereja yang umurnya ratusan tahun juga hidup berdampingan. Pluralisme budaya dan agama tersebut menggugah UNESCO memberi George Town gelar ”World Cultural Heritage” pada 2008.
Turis mancanegara pun mulai berdatangan ke Penang. Berdasarkan data statistik pariwisata Malaysia pada 2010, kedatangan wisatawan ke sana mencapai lima juta orang. Dari angka itu, jumlah turis asing mencapai tiga juta orang. Bagaimana warga George Town mampu memelihara dan menghidupkan bangunan-bangunan tuanya? Ikutilah laporan wartawan Tempo, Suryani Ika Sari.
Panasnya enggak tanggung-tanggung, lebih terik dari Jakarta,” kata Nirmala, 27 tahun, begitu keluar dari Bandar Udara Penang, Malaysia, akhir Mei lalu. Jam di tangan menunjukkan pukul 14.30 WIB atau 15.30 waktu setempat, tapi terik mentari masih sangat terasa hingga menembus ke dalam pori-pori kulit.
Itulah kesan pertama yang tertangkap begitu menginjak Kota Penang, Malaysia. Birunya langit dan teriknya mentari serta hawa laut yang menghangat bercampur dengan riuhnya mobil yang terus meraung di penjuru kota yang akhir-akhir ini menjadi tujuan wisata di kawasan Asia Tenggara ini.
Ya, tujuan kami siang itu adalah kawasan George Town. Sekitar 20 menit kami tempuh dari Bandar Udara Penang. Dari kejauhan terlihat Penang Bridge, salah satu bangunan yang menjadi landmark di Penang. Jembatan itu merupakan jembatan terpanjang di Asia Tenggara.
Jembatan Penang merupakan jembatan tol dua jalur yang menghubungkan Gelugor di Pulau Penang dan Seberang Prai di daratan Malaysia. Jembatan ini juga berhubungan dengan Jalan Lintas Utara-Selatan di Prai dan Jalan Tol Jelutong. Jembatan sepanjang 13,5 kilometer ini resmi dibuka pada 14 September 1985.
Keriuhan kendaraan yang meraung-raung di sepanjang perjalanan menuju Hotel Victoria di Victoria Street perlahan sirna. Aura masa lalu menyergap begitu mobil yang kami tumpangi mulai menyisir kawasan Victoria Street.
Kegerahan yang kami rasakan selama di dalam mobil menjadi tak terasa tatkala kami menyaksikan bangunan-bangunan yang ada di wilayah ibu kota Penang, George Town, ini. Cagar budaya itu berupa bangunan-bangunan tua serta nama-nama jalan dari abad ke-17 sampai ke-19.
Sejak 2008, Penang tak hanya menjadi kota tujuan pengobatan bagi turis mancanegara. Penang memiliki banyak bangunan tua yang desainnya dipengaruhi beragam kebudayaan, seperti Melayu, Cina, Myanmar, Thailand, India, dan Inggris. George Town merupakan kota paling ramai dikunjungi turis di Penang dan memiliki banyak bangunan bersejarah, termasuk kuil-kuilnya. Ada 3.587 bangunan tua dari berbagai suku bangsa dan gaya arsitektur di sini.
Hal itulah yang membuat UNESCO akhirnya mendeklarasikan George Town sebagai Kota Warisan Budaya Dunia (World Cultural Heritage) pada Juli 2008. Dan itu menggugah rasa ingin tahu para turis untuk turut serta menjelajahi bangunan-bangunan tua di kota seluas 3,5 kilometer persegi ini.
Pengakuan UNESCO terhadap George Town sebagai kota warisan budaya dunia ini berawal pada 1998, ketika Dr Richard Engelhardt, penasihat regional UNESCO untuk Asia-Pasifik, berkunjung ke Penang. Kala itu Penang tengah merayakan tahun baru Cina. Kemeriahan perayaan tahun baru Cina ternyata menggugah hati Engelhardt untuk menyelami lebih dalam keragaman budaya yang luar biasa di George Town.
Pluralisme agama di komunitas bersejarah tempat gereja, masjid, kelenteng Cina, dan kuil Hindu berdampingan dengan akrablah yang menjadi salah satu pertimbangan bagi Komite Warisan Dunia untuk mendeklarasikan George Town sebagai kota warisan budaya dunia di Quebec pada 2008.
Upaya pemerintah daerah yang didukung berbagai proyek warisan budaya, serta investor swasta dan investasi dari lembaga-lembaga untuk restorasi dan perbaikan, juga menjadi kunci keberhasilan bahwa pengukuhan George Town sebagai kota warisan budaya dunia bukan isapan jempol belaka.
Keberhasilan George Town mendapat pengakuan dari UNESCO itu juga tak lepas dari peran serta Khoo Salma Nasution, Presiden Penang Heritage Trust. Ia bersama suaminya, Abdur-Razaq Lubis, dan lembaga swadaya masyarakat lain serta Badan Warisan Malaysia dengan gigih mengajukan George Town sebagai kota warisan budaya dunia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Perjuangan Salma bermula saat dia menjabat Sekretaris Kehormatan Penang Heritage Trust pada 1989-2003. Pada 1993, Salma menulis buku berjudul Streets of George Town Penang—buku panduan tentang bangunan-bangunan bersejarah yang ada di Penang. Tak hanya itu, pasangan suami-istri ini gigih mempromosikan George Town ke komunitas heritage di dunia. Tak tanggung-tanggung, agar impian mereka tercapai, mereka pun melibatkan beberapa sponsor.
”Peran serta masyarakat di kawasan George Town yang menjaga dan merawat keaslian bangunan tak bisa dilupakan. Berkat mereka jualah George Town bisa bertahan hingga saat ini,” kata Salma kepada Tempo.
Meski sudah berusia ratusan tahun, bangunan-bangunan yang ada di George Town masih terlihat kukuh dan utuh. Bangunan-bangunan itu pun masih rutin digunakan dalam keseharian. Misalnya gereja, masjid, kuil, dan kelenteng, yang setiap hari atau minggu selalu digunakan untuk beribadah.
Tengok saja Masjid Kapitan Keling, Masjid Melayu, Gereja Katolik Anglikan, St George, Gereja Katolik Maria Assumpta, serta kuil-kuil yang ada di kawasan Little India, yang masih terjaga dan terawat dengan baik.
Beberapa bangunan keluarga juga tampak terawat, seperti Penang Peranakan Mansion, Cheong Fatt Tze Mansion, dan Dr Sun Yat Sen’s Penang Base. Salma mengatakan bangunan-bangunan itu kini resmi dikelola keturunan atau generasi penerus pemiliknya. ”Setelah ada pengakuan dari UNESCO, warga yang sebelumnya menyewakan bangunan-bangunan bersejarahnya mulai kembali dan mengelolanya secara pribadi,” katanya.
Di beberapa sudut kota memang terlihat bangunan yang sudah mulai usang, lapuk, dan berlumut. Namun pemerintah dan pemilik bangunan setempat tak tinggal diam. Bangunan-bangunan itu sedang dalam perencanaan renovasi.
Yang lebih istimewa di sini, pemerintah tak pernah berupaya menggusur atau mengalihfungsikan bangunan-bangunan yang sudah dimakan usia itu. Pemerintah justru mempertahankan dan melestarikannya.
Koleksi bangunan pusaka dengan berbagai gaya arsitektural, mulai Art Deco hingga arsitektur Cina klasik, bangunan masjid, kuil Buddha, serta bangunan bergaya kolonial Inggris, Thailand, Indonesia, dan Malaysia menjadi keunggulan tersendiri bagi George Town. Untuk area-area konservasi, mereka menyebut jalan dengan istilah lebuh.
Jangan kaget jika saat berkeliling Anda menemukan nama-nama daerah di Indonesia terdapat juga di sana, seperti Aceh, Medan, dan Padang. Nuansa rumah adat dari tiga wilayah itu dapat terlihat pada beberapa bangunan yang ada di sana. Bangunan-bangunan dari negara lain, seperti Thailand, Cina, India, Kamboja, India, Bangladesh, dan Armenia, juga tampak menghiasi George Town. Tak hanya itu, bangunan-bangunan khas Italia, Portugal, Spanyol, dan Amerika juga mudah ditemukan di George Town.
Semua bangunan yang ada itu seolah mewakili negara yang pernah singgah ataupun menjajah wilayah ini. Konon, setiap pedagang yang pernah menginjakkan kaki di Penang selalu mengabadikan namanya pada bangunan yang disinggahinya.
George Town merupakan kota yang terpisah di sebelah barat laut Semenanjung Malaysia atau 13,5 kilometer dari Tanah Besar atau Malaysia Barat. Jumlah penduduknya sekitar 430 ribu orang.
George Town memiliki nama asli Tanjung. Pada 1 Januari 1957, kota ini ditetapkan dewan kota praja sebagai George Town. Nama George Town sendiri diambil dari nama Raja Inggris George III. Pada masa pemerintahan George III, para saudagar Inggris melintasi Selat Malaka, tiba di Pulau Penang, dan menancapkan bendera Inggris pada Agustus 1786.
Akhirnya, Penang pun disebut ”Prince of Wales Island” yang menjadi bagian dari India, jajahan Inggris. Pada 1826, Penang, Malaka, dan Singapura menjadi satu permukiman kota baru di Inggris. Penang sendiri dibangun sejumlah saudagar Inggris dan dipimpin gubernur yang ditunjuk pemerintah Inggris. Pembangunan di Penang berjalan begitu pesat pada abad ke-18. Hal itulah yang menimbulkan keragaman suku bangsa di Kota George Town. Kota ini terbagi menjadi tiga kawasan: Melayu, Cina, dan India. Meski berasal dari suku bangsa yang berbeda-beda, mereka hidup rukun secara berdampingan.
Berdasarkan data statistik pariwisata Malaysia pada 2010, kedatangan wisatawan mencapai lima juta orang, di antaranya tiga juta turis asing. ”Warga Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai turis terbanyak yang berkunjung,” kata Salma. Sedangkan posisi kedua dipegang Singapura, diikuti Cina, Jepang, Amerika Serikat, Taiwan, Australia, Thailand, dan Inggris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo