Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Juru Runding Segala Bidang

Luhut Binsar Pandjaitan diduga menginisiasi perundingan perjanjian Indonesia-Singapura di bidang hukum dan pertahanan. Mahfud Md., yang seharusnya memimpin perundingan urusan ini, seolah-olah tersisih.

28 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menjawab pertanyaan wartawan dalam acara Afternoon Tea with Menko Luhut di kantor Kemenko Kemaritiman, Jakarta, Senin, 5 Agustus 2019. Acara tersebut membahas seputar isu-isu terkini. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Luhut Binsar Pandjaitan disebut-sebut menginisiasi perundingan perjanjian antara Indonesia dan Singapura.

  • Ada 10 kerja sama yang ditandatangani Indonesia dan Singapura.

  • Sejumlah kerja sama antara Indonesia dan Singapura berpeluang mendatangkan investasi.

JAKARTA – Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan kembali menjadi sorotan. Ia disebut-sebut menginisiasi perundingan antara Indonesia dan Singapura di bidang hukum, pertahanan, serta perhubungan di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa lalu. Urusan ini seharusnya dikoordinasi oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md., tapi ia tak ikut serta ke Bintan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga sumber Tempo pada tiga kementerian berbeda menceritakan kronologi perundingan di antara kedua negara tersebut. Mereka menyebutkan bahwa Luhut menginisiasi pembahasan ulang berbagai perjanjian antara Indonesia dan Singapura tersebut. Pembahasan oleh kedua negara ini dilakukan sejak 2020 setelah pertemuan Leader’s Retreat pertama pada 2019.

“Karena memang ada sejumlah poin kerja sama investasi yang ingin dikejar juga dalam pertemuan ini,” kata seorang pejabat di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, kemarin.

Dalam pertemuan kedua negara di Bintan, ada sepuluh perjanjian yang disepakati. Tiga kesepakatan di antaranya adalah perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura, kerja sama pertahanan atau defense cooperation agreement (DCA), dan pengelolaan ruang kendali udara atau flight information region (FIR) di atas wilayah Kepulauan Riau dan perairan Natuna. Selama ini, pengelolaan ruang kendali udara itu dipegang oleh Singapura.

Ketiga perjanjian tersebut menjadi sorotan karena dianggap sebagai satu paket dan mengulang kesepakatan serupa pada 2007. Saat itu, Dewan Perwakilan Rakyat menolak meratifikasi perjanjian ekstradisi karena mengikutkan kerja sama pertahanan yang memberatkan dan mengancam kedaulatan Indonesia.

Di samping tiga perjanjian itu, ada tujuh kesepakatan di antara kedua negara. Ketujuh kesepakatan itu adalah pertukaran surat tentang perluasan kerangka pembahasan Indonesia-Singapura; kerja sama energi; perpanjangan pengaturan keuangan antara Bank Indonesia dan Otoritas Moneter Singapura; kerja sama perbankan sentral, regulasi keuangan, dan inovasi; kerja sama keuangan dan ekonomi; kerja sama pengembangan ekonomi hijau dan berkelanjutan; serta pengaturan kemitraan sumber daya manusia. Berbagai kerja sama ini memungkinkan datangnya investasi dari Singapura ke Indonesia.

Presiden Joko Widodo (kanan) menerima kunjungan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, 25 Januari 2022. ANTARA/HO/Setpres/Agus Suparto

Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menyaksikan sepuluh perjanjian kerja sama kedua negara tersebut. Selain Jokowi, tim dari Indonesia terdiri atas Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly.

Khusus Luhut Pandjaitan, ia menandatangani kerja sama pertukaran surat tentang perluasan kerangka pembahasan Indonesia-Singapura. Perwakilan Singapura yang meneken kerja sama ini adalah Menteri Koordinator Keamanan Nasional Singapura Teo Chee Hean.

Juru bicara Luhut Pandjaitan, Jodi Mahardi, tidak merespons permintaan konfirmasi Tempo. Dua hari lalu, akun Twitter milik Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi menulis cuitan tentang tiga dokumen penting yang ditandatangani oleh pihak Indonesia serta Singapura. Ketiganya adalah perjanjian ekstradisi, pengelolaan ruang kendali udara, dan pernyataan bersama pemberlakuan perjanjian pertahanan 2007. “Menko Luhut juga turut menandatangani salah satu dokumen ini,” demikian cuitan akun Twitter Kementerian Koordinator Kemaritiman tersebut.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengatakan pembahasan ratifikasi tentang berbagai perjanjian itu nantinya akan tetap diinisiasi oleh kementerian dan lembaga terkait. Kementerian Hukum dan HAM, misalnya, akan membahas ratifikasi perjanjian ekstradisi, serta Kementerian Pertahanan akan membahas kerja sama pertahanan.

Adapun Mahfud Md. mengatakan kementeriannya selalu hadir dalam rapat-rapat untuk merumuskan isi perjanjian tersebut. Ia mengakui bahwa pembahasan berbagai dokumen perjanjian itu dilakukan sejak 2020 di Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi. “Rapatnya berkali-kali karena, ketika ada draf dari kita, muncul draf tawaran dari Singapura. Kemudian kita bahas dan diskusikan lagi,” kata Mahfud. “Begitu penggarapannya melalui rapat berkali-kali.”

Ia menyebutkan wajar jika pembahasan dilakukan di kementerian terkait karena aturan yang dibahas sesuai dengan bidang masing-masing. Mahfud mencontohkan isu ekstradisi dibahas oleh Kementerian Hukum dan HAM. “Selalu begitu karena tak semua negara punya Menko,” kata Mahfud. Ia juga optimistis DPR akan meratifikasi perjanjian yang telah diteken tersebut.

Pengamat hubungan internasional, Dinna Wisnu, mengatakan berbagai perjanjian kedua negara tersebut, misalnya perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura, tidak akan berarti banyak jika tidak diratifikasi oleh lembaga legislasi masing-masing negara. Adapun nota kesepahaman tidak memiliki kekuatan hukum mengikat tapi bisa menjadi acuan dalam pembahasan lebih lanjut di masa mendatang. “Menjadi wajar jika kita menginginkan banyak hal yang dapat dipahami bersama diteken setiap kali ada pertemuan kedua negara,” kata Dinna.

INDRI MAULIDAR
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Rusman Paraqbueq

Rusman Paraqbueq

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus