Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gereja di tengah kemiskinan

Bapak rolex alias rolando nueva, pastor yang berani bertugas di paroki sangat rawan, candoni, negros. tak segan-segan menjadi penengah antara gerilyawan komunis dengan militer. ia dkk. menjadi pendukung cory.(sel)

18 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA dua hal yang ingin dicapai Presiden Corazon Aquino dalam muhibahnya ke Amerika Serikat, belum lama berselang. Pertama, membuktikan kepada para penantangnya di dalam negeri bahwa ia didukung oleh sekutu utama Filipina, Washington. Dan kedua, mencari bantuan yang bisa digunakan untuk memerangi penderitaan di sejumlah daerah terpencil negeri yang baru bergolak itu, seperti yang misalnya ditanggungkan oleh kota kecil Candoni. Ada apa di Candoni? Ceritanya panjang. Kota itu demikian terpencilnya, hingga tiga orang pastor pernah menolak ditugaskan di paroki terpencil ini. Sampai akhirnya, seorang biarawan bernama Rolando Nueva bersedia menerima jabatan itu. Dan ia sepenuhnya maklum pada sikap menolak tiga sejawatnya terdahulu. Candoni tidak jauh berbeda dengan sejumlah dusun dan kampung yang bertebaran di seantero pebukitan dan hutan yang membentuk keparokian Pulau Negros di Filipina. Kawasan ini tidak memiliki sistem transpor dan komunikasi. Tidak ada dokter dalam radius 50 kilometer. Tidak ada sekolah menengah umum. Tidak ada program bantuan ekonomi untuk mengangkat kehidupan para petani. Dan, kecuali di kota kecil itu sendiri, tidak ada listrik di seantero pulau itu. Di tengah ketiadaan elemen dasar hidup kemasyarakatan itulah pastor berusia 31 tahun tadi menerjunkan diri. Menuruti kebiasaan umum di Filipina, yang memanggil seseorang dengan nama singkat, Pastor Rolando Nueva lebih dikenal sebagai "Bapa Rolex". Jabatannya bertumpuk: administrator sekolah, penasihat masalah-masalah sosial, organisator pertanian, sopir truk, dan -- bila diperlukan menjadi penengah antara gerilyawan komunis yang kian berkembang dan pihak militer yang kadang-kadang bertindak agresif dan ganas. Dalam menjalankan tugas yang kerap menawarkan kesepian, dan keterpencilan yang nyaris membuat seseorang putus asa itu, pastor muda ini memainkan peranan makin gawat. Memang, itu tak bisa tidak harus diterimanya karena begitulah posisi yang harus ditanggungkan Gereja Katolik Roma di Filipina pada saat ini. * * * Enam bulan setelah berhasil menggalang front untuk menjatuhkan Ferdinand E. Marcos, para pendukung Presiden Corazon C. Aquino terpecah-belah ke dalam sekitar lusinan klik, yang masing-masing berusaha unjuk kekuatan. Dan dari klik-klik itu hanya satu kelompok yang tampaknya bersikukuh mendukung janda mendiang Senator Benigno Aquino: Gereja Katolik Roma. Kenyataan ini tak sekadar mencerminkan perbandingan kekuatan politik yang kini ada di negeri itu. Tapi, dampak kenyataan itu sungguh jauh. "Ada tiga lembaga yang akhirnya akan menentukan masa depan negeri ini," tulis Seth Mydans dalam The New York Times Magazine, bulan kemarin. Menurut kepala biro Manila The Times itu, ketiga lembaga tadi ialah Pemerintah, Angkatan Bersenjata, dan Gereja Katolik Roma. Gereja paling tidak menggenggam kesetiaan sekitar 84 persen dari 54 juta penduduk Filipina. Dan gereja sudah hadir di sana berabad-abad, sejak para rahib Spanyol membawa agama Katolik ke Filipina, pada awal sejarah modern negeri itu. Selama itu pula, gereja hadir tegar dan bersahaja. Tetapi, menjalani tahun-tahun 1970-an, lembaga agamawi itu mulai tampil sebagai satu-satunya oposisi terorganisasi yang berusaha menekan pemerintahan Marcos. Wujudnya memang tidak dalam bentuk kekerasan. Baru terbatas pada mengalihkan perhatian dan simpati, yang tadinya diberikan kepada kaum elite kota yang berkuasa, dan kini ke penduduk jelata dan kaum urban sengsara -- yang merupakan mayoritas populasi Filipina. Meningkatnya peran gereja yang sangat menentukan dalam mengantarkan Nyonya Aquino ke kursi kepresidenan, Februari lalu, membawa lembaga yang tua itu ke suatu puncak baru yang menebarkan pengaruh. Kini, setiap orang yang berniat menggulingkan Presiden Cory Aquino disarankan berpikir lebih dari sekali tentang peranan gereja dalam perjuangan mengenyahkan Marcos. Peran itu memang menempatkan gereja pada suatu medan yang mudah sekali diserang. Dalam upaya untuk tetap berada dalam batas yang ditentukan Vatikan bagi keterlibatan gereja di kancah politik, para pastor dan suster Filipina mengorganisasikan diri membantu kaum miskin. Dengan cara itu mereka tidak perlu terlalu dalam mencampuri urusan-urusan Pemerintah. Tetapi, peran yang sangat peka itu memang tidak bisa dilewati mulus begitu saja. Pada akhirnya, itu terpulang ke pundak perorangan para imam paroki, seperti misalnya Bapa Rolex tadi. Ia, siap atau tidak, harus berhadapan dengan sejumlah pertanyaan moral dan politik yang, sekaligus, menguji kemampuan dan imannya. "Saya telah mengenal Bapa Rolex sejak lebih dari setahun lalu," tutur Leonardo Gallardo, seorang tokoh bisnis yang bersahabat, yang bermukim di Bacolod, ibu kota Negros. Dalam beberapa peristiwa saudagar inilah yang sering didatangi pastor muda itu untuk dimintai bantuan bagi umat keparokiannya. "Tak terpikirkan oleh saya bahwa Bapa Rolex bisa tetap tinggal di sini, menyaksikan berbagai ketidakadilan, dan ia tidak berubah. Ia bimbang, Bung, ia sedang mengalami perjuangan," tutur Gallardo. * * * Duduk di bawah cahaya muram sebuah bola lampu neon kecil, pada suatu malam yang terpencil pastor itu menerima wartawan Seth Mydans. Di luar rumah, jangkrik memperdengarkan konser abadinya. Ada juga gonggong anjing, sekali-sekali dan jauh, entah di pojok lorong yang mana. Selebihnya sepi, seperti tiada lagi isyarat kehidupan. Bapa Rolex bertutur tentang enam belas bulan masa jabatan yang sudah dilaluinya di Candoni. Pastor ini berperawakan langsing, berambut ikal, dan dia biasa ke mana-mana mengenakan celana jean, kaus oblong, dan bersandal jepit. Beban dan kesungguhan yang dituntut dari pekerjaan ini tampaknya terlalu berat bagi usianya yang masih begitu muda, dan bagi sikapnya sendiri yang selalu tampak berusaha merendah. Inilah penugasan pertamanya sebagai imam paroki. "Dan inilah konfrontasi saya yang pertama dengan sebuah aspek, yang penanggulangannya tidak pernah saya pelajari dari seminari," katanya. Ia lalu bercerita tentang orang-orang yang datang dengan masalah pengobatan dan kesulitan keuangan. "Jika kebetulan ada uang di saku saya, mereka saya beri pinjaman, atau sedekah begitu saja. Mereka membawa anak-anak mereka kemari, meminta tolong agar saya mengangkut anak yang sakit itu dengan truk saya ke hospital terdekat. Saya juga harus menebus obat-obatan untuk si sakit itu." Padahal, Bapa Rolex sendiri harus berhemat-hemat dengan nafkah yang sebetulnya tidak memadai. Ia hidup dari pendapatan sekitar US$ 50 sebulan. "Baru siang tadi saya sangat mencemaskan seorang anggota paroki saya yang sedang dirawat di rumah sakit," kata imam muda itu. "Kadang-kadang saya berpikir, mengapa orang lain dengan mudah menerima bantuan tenaga ahli bedah dan spesialis? Dan jawabannya adalah: bergantung pada sistem. Ketidakadilan itu terletak pada sistem, di sanalah kejahatan itu. Saya pikir, dosa telah melahirkan ketidakadilan ini. Dosa itu sendiri personal sifatnya. Tapi karena struktur sosial, pada akhirnya, dosa adalah ciptaan manusia." Kata-kata itu terdengar pahit, memang. Apalagi bila meluncur dari hati nurani seorang gembala yang bergelut di tengah umat yang kusut. Menurut kalangan gereja sendiri, keterlibalan para imam melakukan analisa sosial dan uji diri itu merupakan pengalaman umum imam-imam di Filipina. Sebabnya tak lain, mereka berhadapan langsung dengan kemiskinan dan ketidakimbangan sosial di paroki mereka masing-masing. Dalam bentuk yang paling keras, perjuangan ini menuntun para pastor untuk ikut mengangkat senjata, dan bergabung dengan para gerilyawan. Ingat saja, misalnya, Passa Balweg yang mengganti tasbihnya dengan senapan. "Kadang-kadang, memang terasa lebih manusiawi bila kita bisa memerangi semua kebrengsekan ini," Bapa Rolex seperti melontarkan rasa kesalnya. "Bila saya menuruti pandangan dan keyakinan pribadi, mungkin juga saya mengambil langkah yang lebih jauh. Tetapi, saya selalu sadar bahwa kehadiran saya di sini ialah sebagai kepala gereja, dan jalan gereja adalah jalan tanpa kekerasan." Suara Bapa Rolex seperti berdering di tengah malam yang lengang itu. "Sebagai insan gereja, saya kemari untuk mengantarkan Kristus ke hati rakyat. Namun, dalam kenyataannya, kita juga harus mengorganisasikan manusia. Konsep-konsep gereja, betapapun, harus bisa diperikan sampai pada tingkat kehidupan sehari-hari. Misalnya, memperjuangkan harga hasil bumi yang lebih baik bagi para petani. Tanpa kaitan seperti itu, konsep-konsep filosofi bisa menjadi ihwal yang mengambang di awang-awang." Inilah, kata Bapa Rolex, pendekatan yang dipelajarinya sejak bertugas di Candoni. "Ketika dia baru tiba di sini, ia sudah mengetahui masalah-masalah kami," tutur Gallardo mengenai pastor muda itu. "Meski, sejauh yang disadarinya, tugasnya hanyalah menyelamatkan jiwa-jiwa yang dahaga." Lalu, menyusullah kenyataan yang tidak bisa dielakkan itu. Bapa Rolex dipaksa keadaan untuk melangkah lebih jauh dari sekadar tugas surgawi. Ia harus memimpin sekolah, ia harus terjun ke dalam program pangan, atau mengurus koperasi pertanian. "Padahal, itu 'kan sebetulnya urusan pemerintah," kata Gallardo pula. Selama pemilu awal tahun ini, Bapa Rolex juga kebagian peran yang tidak mudah, bahkan bisa dikatakan berbahaya. Ia tampil sebagai ketua lokal Gerakan Nasional untuk Pemilu yang Bebas (Namfrel), yang dldukung oleh gereja. Ia bagaikan pelanduk yang terjepit di antara dua ekor gajah. Di satu pihak, ia berada di tengah penduduk yang merasa begitu dipencilkan, sehingga sebagian besar mereka tidak mau datang ke kotak suara. Di pihak lain, Bapa Rolex berhadapan dengan struktur kekuasaan militer-sipil yang sudah mengambil keputusan untuk menyerahkan kemenangan ke tangan Marcos, apa pun hasil pemilu itu. Kemudian, tibalah saat-saat dramatis yang paling bersejarah dalam perjalanan bangsa itu. Dua tokoh utama militer, Juan Ponce Enrile dan Fidel V. Ramos, memaklumkan pengingkaran terhadap Presiden Marcos, pada 22 Februari. Peristiwa besar ini disusul oleh imbauan prelate utama negeri itu, Uskup Agung Manila, Jaime Cardinal Sin, agar rakyat Filipina melindungi markas besar pihak pembangkang. Sejak saat itulah, sebetulnya, Nyonya Aquino secara kongkret mendapatkan kekuatan dasarnya yang sesungguhnya. Di satu sisi muncul lautan massa yang berdiri rapat memagari kekuatan yang mendukungnya. Sedangkan di sisi lain berdiri lembaga yang sangat tidak layak untuk diremehkan: Gereja. Dalam kata-kata seorang pengacara dan aktivis politik Manila, Elisio B. Alampay, Jr., "Siapa pun yang berusaha menyingkirkan Madame Aquino pada saat itu, hasilnya ialah sebuah negeri yang tidak lagi bisa diperintah oleh siapa pun." Penjelasannya mungkin bisa ditarik sedikit ke belakang. Yaitu ketika Wakil Presiden Salvador H. Laurel bersiap-siap menyongsong pemilu dengan "tiket" sendiri, tanpa merasa perlu bergabung dengan Nyonya Cory. Pada saat itulah Cardinal Sin datang dengan pendekatan pribadi, mengimbau kedua tokoh oposisi itu bergandengan tangan untuk perjuangan penting mengalahkan Ferdinand Marcos. Dukungan Gereja itu bertambah nyata ketika Cory disrimpung di masa kampanye: media massa dan komunikasi ditekan untuk tidak memberikan fasilitas pada janda cantik berkaca mata itu. Tetapi, ada sebuah stasiun radio yang tidak sudi menerima tekanan itu, yaitu Radio Veritas, yang diurus oleh Gereja. Radio inilah yang memandu para pendukung Cory di sekujur republik kepulauan itu, sehingga tiba hari pemilu yang menentukan, 7 Februari. "Hingga sekarang pun, pada waktu-waktu tertentu Cory berkonsultasi dengan saya," tutur Cardinal Sin. "Tetapi, saya tidak lupa mengatakan kepadanya: Anda punya Kabinet. Saya sendiri ingin kembali ke luar jangkauan cahaya lampu, bekerja dalam senyap. Saya tahu, Cory kuat menghadapi cobaan, karena dia adalah pilihan Tuhan. Saya bisa mengatakan tentang Filipina, Tuhanlah yang sesungguhnya bekerja, sedangkan kami tak lebih dari sekadar alat." Untuk Bapa Rolex dan para umat keparokiannya Cory Aquino hampir menjadi simbol keagamaan. Perempuan ini dipandang sebagai sosok "Bunda Yang Hilang", yang siap mengorbankan dirinya sendiri untuk kemaslahatan "anak-anak"-nya. Mereka memang tidak yakin betul akan kemampuan Cory melakukan perubahan. Mereka juga tetap cemas akan keikhlasan pihak militer menaati sang presiden. Toh, setiap saat, mereka tampaknya siap memberikan apa saja bagi ibu yang bersahaja itu. Sementara itu, Cory sendiri selalu menekankan pemilihan antara pemerintahan yang dipimpinnya dan hierarki kegerejaan yang menjamah hampir seluruh sektor kehidupan di negeri itu. "Saya mempunyai banyak sahabat di kalangan umat beragama," kata Nyonya Aquino baru-baru ini. "Tetapi Gereja adalah satu hal, dan Pemerintah adalah hal lain." Dalam kenyataannya, Cory memang menempatkan sejumlah tokoh Gereja pada jabatan yang berpengaruh. Sekelompok penasihat yang sangat dipercayainya malah sering dijuluki "Mafia Yesuit". Dan pada awal Juli tahun ini, ketika sisa-sisa pendukung Marcos mengambil alih Hotel Manila dan menentang pemerintahan Corazon Aquino, langkah pertama yang diambil Cory, seperti yang diceritakan oleh orang-orang yang paling dekat dengannya, ialah menghubungi Cardinal Sin. "Selama Nyonya Aquino berusaha menjalankan rekonsiliasi di tengah bangsanya yang terpecah-pecah itu, Gereja tampaknya akan tetap berdiri di barisan terdepan," tulis Seth Mydans. Bahkan sebelum perundingan-perundingan untuk mencapai perdamaian dimulai secara resmi, bulan lalu, sejumlah pastor dan suster sudah merintis kontak-kontak pendahuluan dengan para pemberontak. Bapa Rolex sendiri sudah lama dilibat dalam urusan-urusan yang mengandung risiko itu. Kaum militer, misalnya, sadar betul betapa besar rasa hormat penduduk Candoni terhadap imam paroki ini. Karena itu, segera setelah Cory Aquino ditabalkan menjadi presiden, kalangan Angkatan Bersenjata meminta jasa Bapa Rolex menjadi perantara antara mereka dan para pemberontak komunis yang tergabung di dalam Tentara Rakyat Baru, yang beroperasi di daerah itu. Bapa Rolex diharapkan bisa meyakinkan para gerilyawan itu untuk keluar dari hutan, dan menyerahkan diri dalam damai. Untuk pastor muda itu, kepercayaan ini menempatkannya pada suatu peranan politik yang makin penting. Tetapi, menuruti nasihat para atasannya Bapa Rolex dengan halus menolak "jabatan" itu. Keterlibatan seperti itu akan membawa Gereja pada posisi yang kelak sulit dipertahankan. Seperti yang pernah diakui sendiri oleh Cardinal Sin, "Gereja Filipina hendaklah tetap tegar di tengah lingkungan politik, dalam keseimbangan pemihakan. Terpeleset sedikit, ia akan mengalami kehilangan besar." * * * Atasan Bapa Rolex adalah Uskup Antonio Y. Fortich, Kepala Keuskupan Bacolod. Tokoh ini sendiri menyimpan segudang cerita tentang pengalamannya yang tidak biasa. Ia bisa berkisah tentang serangkaian pertemuan rahasia yang diprakarsai oleh para pemimpin komunis di pulau itu, termasuk seorang yang dulunya adalah pastor juga -- mestinya ini Pastor Balweg-lah yang dimaksudkan. "Saya berjumpa dengan mereka untuk pertama kalinya pada 17 Mei lalu, di sebuah daerah persawahan," Uskup Fortich bertutur. "Dan kami saling berpelukan." Wartawan Seth Mydans mewawancarai Uskup Fortich di sebuah kantor darurat Seminari Hati Suci di Bacolod. Tempat tinggalnya sendiri dihancurkan pihak tertentu tahun lalu. Ia yakin "pihak tertentu" itu tidak lain daripada tentara juga. Mereka berusaha melenyapkan dokumen-dokumen penting yang dapat dikumpulkan uskup tersebut mengenai pelanggaran hak-hak asasi manusia. Pertemuan pertama Uskup Fortich dengan para pemberontak berlangsung hingga pukul dua dinihari. "Kami membicarakan Marxisme, kami membicarakan penindasan, kami membicarakan segala-galanya," ia menjelaskan. "Ya, Tuhanku, tangan mereka ternyata sudah menjangkau ke segala bidang." Salah satu pesan utama yang dihasilkan pertemuan itu ialah, "Mereka menyatakan kesediaan bekerja sama dengan Presiden Aquino. Tetapi, mereka juga sangsi. Mereka tidak tahu, berapa lama Cory kuat memerintah." Uskup Fortich juga pernah dihadapkan pada situasi yang sungguh-sungguh pelik. Pada suatu ketika, sekitar tujuh ribu orang unjuk perasaan menentang pengangkatan seorang pejabat lokal yang tidak populer di kalangan rakyat. Massa ingin suara mereka didengar Presiden, agar orang tersebut segera diganti. Dan Uskup Fortich tampil sebagai pihak yang diminta pemerintah berusaha menenangkan keadaan. "Rakyat berkata, 'Mengapa Uskup campur tangan?' Tetapi, kalau rakyat sudah tidak mau mendengar pemerintah, dan berpaling kepada uskup, apa lagi yang bisa saya lakukan? Memang, ini benar-benar sepak terjang politik. Namun, tujuannya ialah kemaslahatan bersama, dan perdamaian." Keterlibatan seperti inilah yang sedang menggeluti mayoritas pekerja Gereja di Filipina. Dan itu pulalah yang membangkitkan kerisauan Vatikan, yang sebelumnya sudah cukup sibuk menghadapi teologi pembebasan, sebuah gerakan yang lahir di Amerika Selatan, dan kadang-kadang menggunakan analisis Marxisme untuk menunjang kegiatan sosial para pastor dan suster. Seperti tokoh Gereja Filipina lainnya, Bapa Rolex menyebut dirinya "bukan penganut teologi pembebasan". Tetapi, "Beberapa formula yang sudah diuji di Amerika Selatan tampak relevan di negeri ini," tulis Seth Mydans. Setelah mengutuk teologi pembebasan, Vatikan mengambil langkah yang agak lunak sejak April lalu. Seraya sekali lagi menolak analisa Marxis, mereka mengizinkan tindakan-tindakan seperti perlawanan pasif oleh kaum yang tertindas, "untuk menjamin tegaknya struktur dan lembaga, tempat hak-hak mereka dihormati." Ketika ditanya, bagaimana peranan Gereja Filipina dalam menjatuhkan regim Marcos, satu di antara penyusun dokumen-dokumen penting Vatican, Pastor Angelo Macchi memberi jawaban yang tidak begitu tegas. "Aksi-aksi mereka secara gampang bisa dimasukkan ke dalam kelompok perlawanan pasif," katanya. Tetapi, dalam sebuah pertemuan terbatas, segera setelah Marcos digulingkan, Paus Yohanes Paulus II dengan gaya yang lemah-lembut tetapi bersungguh-sungguh memperingatkan bahwa Cardinal Sin telah agak melampaui batas-batas keterlibatan politik yang bisa ditenggang oleh Gereja. Pada suatu petang, sekelompok biarawan Negros berkumpul di rumah seorang pengusaha kaya di Bacolod. Ketika itulah tidak banyak lagi yang menyangsikan bahwa jalan yang dipilih para pekerja Gereja ini memang benar adanya. Petang itu mereka merayakan ulang tahun Uskup Fortich ke-73. Dari paroki-paroki yang jauh, mereka berdatangan untuk memperdengarkan nyanyian, dan menyajikan seekor babi panggang. "Apa yang kami lakukan memang agak melenceng dari garis yang diletakkan Vatikan," kata Pastor Luis Hechanova, ketika pulang dari suatu kunjungan di Roma, tempat ia duduk sebagai wakil Ordo Redemptoris. "Tetapi, kami mengerti situasi kami, dan kami mengerti bahwa yang kami lakukan adalah hal yang benar." Uskup Agung Alberto Piamonte dari Jaro mengatakan, "Inilah masa-masa indah Gereja." Keuskupan Agung ini meliputi Negros, dan Piamonte hadir pada 'pesta' ulang tahun di Bacolod itu. Pada mulanya, Uskup Agung ini dikenal berpendirian konservatif. Kini, ia seperti mewakili pikiran rasional yang menjangkiti mayoritas biarawan Filipina. "Kita harus bertindak," katanya. "Jika Anda tidak melakukan sesuatu, Anda juga dengan sendirinya telah mengambil posisi politik tertentu." Di tengah suasana ulang tahun itu, Bapa Rolex tampak malu-malu di antara para seniornya. Toh, ia ikut menyumbangkan suara ketika rekan-rekannya menyanyikan Bayan Ko (Negeriku), lagu kaum oposisi di zaman kampanye melawan Marcos. Lagu itu sekarang hampir-hampir dianggap sebagai lagu nasional kedua. Selesai menyanyi, para pastor itu mengangkat tangan, dan berseru, "Cory! Cory! Cory!" * * * Pada hari berikutnya, Bapa Rolex punya urusan khusus di Bacolod. Ia mengharapkan suatu negosiasi harga yang lebih baik dari para pembeli di kota besar itu untuk hasil panen jagung para anggota parokinya. "Saya bukanlah orang yang menguasai betul persoalan ini," katanya seraya melangkah ke kantor Negros Navigation, berbekalkan bukti bahwa pembeli lain sudah mulai menawarkan harga yang lebih bagus. Namun, pembeli yang satu ini meyakinkan sang pastor bahwa para petani Candoni seyogyanyalah setia pada ketentuan harga yang telah mereka sepakati sebelumnya. Kunjungan ke Negros Navigation merupakan bagian tugas gerejani Bapa Rolex yang baru. Gereja Filipina "melatih" para pekerja gerejanya untuk mengenal sebagian besar tugas sosial melalui jaringan yang dikenal sebagai Masyarakat Kristiani Basis (BCC). Kelompok-kelompok kecil calon biarawan yang dipimpin oleh pastor-pastor lokal tidak hanya berkutat dengan ajaran-ajaran Kitab, tetapi juga usaha-usaha bersama di bidang kesehatan, program pangan untuk kaum miskin, bantuan hukum, dan pemasaran hasil pertanian. Bila ia pulang ke Candoni, Bapa Rolex dengan menggunakan truk kecilnya yang bobrok itu membantu para petani mengangkut hasil panen jagung mereka ke pasar. Bekerja dengan BCC merupakan bagian penting kehidupan Bapa Rolex. Sejak ia tiba di Candoni, ia telah memperluas jaringan BCC dari sembilan hingga hampir mencapai 30 orang. Komunitas ini, yang mulanya didirikan di Amerika Selatan pada 1960-an, telah berkembang biak di Kepulauan Filipina sejak awal 1970-an. Pada mulanya, mereka bermaksud lebih mendekatkan Gereja kepada rakyat di sebuah negeri yang memiliki sekitar lima ribu pastor paroki untuk sekitar 43 juta penduduk penganut Katolik. Paroki Bapa Rolex sendiri meliputi sekitar 25 ribu sampai 30 ribu jiwa. Tetangganya di sisi lain pegunungan itu, Pastor Pete Hiponia, menggembalakan sekitar 65 ribu umat. Pertemuan bulanan para pemimpin kelompok BCC dengan pastor-pastor mereka kadang-kadang tampak bagaikan sebuah alternatif untuk pemerintahan setempat. Di majelis seperti itu, keluhan-keluhan lokal disampaikan. Basis sosial dan politik yang diberikan oleh organisasi-organisasi seperti ini terhadap Gereja acap kali pula dianggap sebagai tantangan oleh pihak Angkatan Bersenjata. Para pemimpin militer, misalnya Menteri Pertahanan Enrile, menaruh hormat yang besar terhadap Gereja. Banyak pula di antara mereka yang dikenal sebagai orang-orang yang saleh. Tetapi, para bawahan mereka tidak jarang melemparkan kritik terbuka terhadap Gereja. Misalnya Kolonel Rene Cardones, opsir paling senior di Negros. Dia ini, tanpa tedeng aling-aling, mencap Gereja telah menjadi "lembaga politik". Memang, tak syak lagi, BCC pada masa ini merupakan pusat radikalisasi Gereja. Beberapa kelompok masyarakat sempat melancarkan pembalasan dendam bersenjata terhadap para penentang mereka dalam soal pencaplokan dan penggarapan tanah, pemungutan pajak yang korup, dan para pejabat sipil yang kejam. Dalam beberapa kasus, misalnya seperti yang terjadi di paroki tetangga Bapa Rolex, kelompok-kelompok ini mencatat kesatuan-kesatuan militer yang kejam, kemudian mengorganisasikan demonstrasi yang membuka kedok dan melawan kesatuan tersebut. "Para serdadu itu memang selalu dengki melihat peranan yang dijalankan pastor-pastor lokal," ujar seorang pengusaha di Bacolod. Dan jika kebetulan para pastor itu menjadi pembela aktif hak-hak asasi manusia, padahal itu semata-mata hanya karena urusan berbagi nasib dengan umat yang digembala kannya, "Aduh, Bung, tentara itu bisa menjadi berpikir gampang-gampangan. Mereka menarik garis paling pendek di antara dua titik: jika seorang pastor membela hak asasi manusia, dia pasti seorang komunis." * * * Uskup Fortich berusaha menjelaskan hal ini. "Mereka tidak bisa dengan mudah menuduh kami komunis, hanya karena kami menyadarkan penduduk pegunungan ini yang selalu dijadikan korban oleh tentara," katanya. "Sejumlah anak-anak sedang telantar dan diancam maut. Haruskah kami membiarkan anak-anak ini mati, hanya karena di antara orangtua mereka terdapat simpatisan komunis?" Pertanyaan ini, tentu saja, tidak serta-merta bisa di jawab. Bapa Rolex adalah satu di antara pastor yang menemukan dirinya melakukan hubungan langsung dengan para pemberontak komunis, sementara pada saat yang sama berada di bawah tekanan halus pihak militer. Dalam kunjungannya ke wilayah keparokian yang jauh di pegunungan, misalnya, tidak jarang ia harus berhadapan dengan para pejuang pemberontak itu, yang sudah dikenal orang-orang kampung karena sering singgah meminta makanan atau perlindungan. Biasanya, mereka turun malam hari dan menemui Bapa Rolex untuk membicarakan apa yang mereka sebut "persoalan bersama". Dalam kesempatan-kesempatan seperti itu, Bapa Rolex berusaha mendengarkan dengan saksama, dan bicara sedikit mungkin. "Mereka tidak pernah meminta saya mempersembahkan sakramen untuk mereka," Bapa Rolex bercerita. "Dan jika mereka meminta hal itu, saya sendiri tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Mungkin saya harus minta nasihat Uskup." Di rumah Bapa Rolex di Candoni, perwira militer setempat, seorang kapten, pada waktu-waktu tertentu singgah untuk berbincang-bincang sampai larut malam. "Selalu dengan pengarahan yang sama, yang mengajari saya tentang kejahatan-kejahatan komunisme," ujar pastor belia itu. "Saya membiarkan dia berceloteh. Saya sendiri harus selalu berhati-hati. Tidak mudah mempercayai siapa pun dari kalangan itu." Akhirnya, perang pun berkecamuk di Candoni, musim kemarau tahun ini. Tentara melancarkan operasi habis-habisan terhadap yang mereka namakan kubu-kubu pemberontak di pegunungan. Mereka menyirami pegunungan di sekitar tempat itu dengan peluru-peluru artileri, dan menyapu kawasan itu begitu rupa, sehingga lebih dari 50 gubuk terbakar hangus, dan sekitar dua ribu orang kehilangan tempat bermukim. Dan bila sudah begini, ke mana lagi para pengungsi itu, bila tidak bernaung ke pastor paroki mereka. Banyak di antara mereka yang langsung merebahkan tubuhnya di lantai semen gereja kecil itu. Bapa Rolex mengorganisasikan perawatan dan pengadaan pangan bagi pengungsi, sambil mengumpulkan kesaksian atas seluruh peristiwa tersebut. Ia menempuh perjalanan empat jam ke Bacolod, untuk berbicara dengan Gubernur Daniel Lacson, seorang adiministrator yang simpatik. Tetapi, ia cuma berhasil menjumpai salah seorang pembantu gubernur. Beberapa hari kemudian, ketika pemerintah menyiapkan pengapalan bantuan yang akan dikirimkan kepada para pengungsi, Pastor Rolex pulalah yang dipercaya guna meneruskan dan membagikan bantuan itu. Sebenarnya ia sendiri bukannya tanpa rasa segan menerima tanggung jawab ini. Makin menonjol peranannya di daerah yang rawan ini, kata Bapa Rolex. "Makin berbahaya pula posisi yang saya tempati.' Dia memang tidak pernah memimpin rapat-rapat protes. "Dalam konteks Candoni, hal seperti itu sangat gegabah. Di sini, setiap tindakan yang memikirkan rakyat akan berhadapan dengan risiko." Hingga saat terakhir, di wilayah keparokiannya memang belum terjadi peristiwa yang membuat ia harus bertindak demi mempertahankan hak-hak asasi manusia. Di keparokian tetangganya, peristiwa-peristiwa semacam itulah yang akhirnya membuat para pastor berbenturan dengan kekuatan militer. "Tetapi, saya siap untuk hal itu," katanya, mantap. "Jika anggota paroki saya menerima perlakuan militer yang kejam, itulah saatnya saya bertindak. " * * * Dan kini, setelah panen jagung berlalu, dan musim hujan mulai tiba di daerah pegunungan itu, hari-hari Bapa Rolex menjadi lebih santai. Bangun pagi pada pukul enam, ia kemudian berjalan-jalan di sekitar gerejanya, berbincang-bincang dengan para sukarelawan yang sedang membangun semacam pusat kesehatan masyarakat. Atau, memeriksa kebunnya, mengamati perkembangan peternakan keong yang dirintisnya beberapa waktu yang lalu. Di sekolah paroki di belakang gereja, para siswa berbaris dan seperti berlomba-lomba menyerukan, "Selamat pagi, Bapa." Salam itu terdengar bagai nyanyian dari sebuah paduan suara. Sekolah paroki ini memiliki 285 siswa, dengan sepuluh tenaga pengajar. Dengan truknya, Bapa Rolex kemudian terayunayun di jalan tidak beraspal ke sebuah permukiman di Bactolon, tempat yang masih dihuni sejumlah pengungsi akibat operasi militer yang terakhir. Orang-orang yang tak lagi punya kampung halaman itu berteduh di sebuah rumah sekolah. Ransum makanan sudah habis, dan kini menjadi tanggung jawab sang pastorlah untuk mencari jatah tambahan -- entah dari mana. Dalam perjalanan pulang, truk reyot itu ramai dipadati penumpang. Mereka membawa kantung-kantung berisi hasil tanaman mereka. Orang-orang itu naik di sembarang tempat, mencegat truk seenaknya, dan semua diperhatikan oleh sang rohaniwan. Sebelum pulang ke rumahnya, Bapa Rolex singgah di sebuah teratak. Wanita penghuni gubuk itu pagi harinya baru saja mengalami keguguran kandungan yang kelima kalinya. Perempuan itu berbaring di lantai yang beralaskan gelar bambu, dan beberapa wanita lain melekapkan sejenis dedaunan pada perutnya. Pinggangnya juga digosok dengan sejenis balsam tradisional. Tidak banyak yang bisa dilakukan pastor di rumah ini, memang. Perawatan kesehatan secara profesional terasa sangat jauh dari kota kecil seperti Candoni. Bukan saja dalam hal jarak, tetapi juga dalam kemampuan membayar para penduduknya. Menurut seorang dokter yang tinggal di Bacolod, bila seorang anak dalam keluarga miskin Filipina jatuh sakit, pertanyaan tentang apakah anak itu harus dibawa ke dokter rumah sakit atau tidak masih merupakan persoalan besar. Biaya pengobatan untuk anak yang sakit itu bisa mengakibatkan kemelaratan baru buat keluarga. "Maka, jangan heran," kata dokter tadi, "kalau keluarga itu bisa sampai kepada kesimpulan: Anak ini boleh mati, asal kakak dan adiknya bisa bertahan hidup." Pada hari-hari setelah panen, yang segera diikuti musim penghujan, tidak banyak orang yang menikah atau harus dibaptiskan. Dan lebih sedikit lagi penduduk di permukiman yang jauh mengundang pastor itu untuk memimpin misa. Kecuali hari Jumat dan Sabtu, hari-hari pertemuan BCC yang tetap. Di hari luang itulah, biasanya, Bapa Rolex menyempatkan diri menonton pertandingan tinju melalui pesawat televisi hitam-putih berukuran kecil. Setelah itu senja-senja Bapa Rolex bisa berlalu dalam kesepian. Biasanya, itu digunakannya untuk bercakap-cakap dengan seorang pria yang sudah menetap di gereja itu tanpa ketahuan asalusulnya, atau dengan bocah berusia tujuh tahun, anak seorang perempuan yang menyediakan diri menjadi juru masaknya. Dari saat ke saat, ada saja kunjungan pastor-pastor sekitar, yang datang mengemukakan masalah-masalah mereka, memberi nasihat ini dan itu, atau meminjamkan padanya uang dan makanan. Dalam jarak sekitar 100 mil dari situ tinggal sejumlah pastor Irlandia, yang tidak pernah kehabisan lelucon bila kebetulan datang bertamu. Pada malam-malam tertentu, Bapa Rolex berada di tengah para pengungsi yang tidak memiliki apa-apa lagi, termasuk bahan yang bisa digunakan untuk membangun teratak baru. "Tugas sesungguhnya seorang pastor tidaklah hanya memimpin misa dan menerima sakramen, tetapi juga mengidentifikasikan diri dengan penduduk sekitar," ujar Bapa Rolex. Ia kemudian menambahkan, "Saya percaya, Tuhan berbicara kepada kita melalui peristiwa-peristiwa yang dialami umat-Nya." Dan ia mengenang sebuah peristiwa, ketika ia merambah hutan bersama serombongan pengungsi untuk menjenguk para anggota parokinya yang rumahnya terbakar. Sementara itu, tidak seorang pun pejabat pemerintah sudi meninjau korban mala petaka itu. "Hari hujan dan berlumpur, dan ketika kami pulang, senja makin menggelap. Ketika itulah, dalam hatiku aku berpikir: Aku sedang mengalami apa yang sedang mereka alami, apa yang telah dialami Tuhan, dan apa yang telah dialami Maria dan Yusuf ketika mereka terlunta-lunta menuju Mesir." Perjuangan ini sungguh keras, memang. Jabatan ini sungguh sulit bagi para pastor muda, dan ia bisa mengerti mengapa beberapa pastor menolak ditempatkan di Candoni. Tetapi, Bapa Rolex senantiasa mengenang kalimat-kalimat Alkitab, tentang "domba-domba tanpa gembala", seperti yang sering diungkapkan Yesus tatkala berdoa, atau ketika mengajar murid-muridnya. "Justru karena kami memilih bersendiri dengan Tuhan," kata Bapa Rolex, "tidak ada alasan bagi kami untuk mengabaikan kebutuhan umat-Nya." Sebuah jawaban yang lurus dan sederhana, agaknya, bagi pertanyaan yang sering diajukan dengan pelik dan penuh curiga: Mengapa para biarawan itu hadir di sana?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus