Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menggabungkan Dua Gaya Hip-hop

Kelompok tari asal Paris, Compagnie par Terre, tampil di Jakarta pekan lalu. Menggabungkan gaya breaking frontal dan patahan popping bebas.

23 Mei 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat penari perempuan itu bergerak layaknya robot. Patah-patah, seirama, serempak. Diiringi rancak perkusi yang bertalu-talu, lima menit lamanya mereka bergerak dengan ritme yang sama. Mengingatkan kita akan gerakan pekerja di pabrik industri: teratur, mekanis, robotik, berulang, tanpa henti.

Lalu Valentine Nagata-Ramos, penari kedua dalam barisan, bergerak lebih cepat dari yang lain. Lebih cepat, lebih cepat, lebih cepat, seiring dengan ketukan irama yang mengiringi gerakannya. Mendadak, dia berhenti.

Lalu mundur beberapa langkah di belakang barisan itu. Tapi tak lama kemudian Valentine mendekati Linda Hayford. Dia menarik tangan Linda sehingga gerak penari ketiga dalam barisan itu tak lagi teratur seperti dua penari lainnya. Dia mengintervensi gerakan robot Linda. Lagi dan lagi. Hingga Linda sepenuhnya terbebas dari keteraturan itu.

Tarian hip-hop kontemporer berjudul Autarcie (...) itu dipentaskan di Teater Salihara, Jakarta Selatan, Minggu malam pekan lalu, dalam rangkaian Printemps Francais 2016, festival seni yang digelar Institut Français d'Indonésie (IFI). Beberapa hari sebelumnya, tarian ini dipentaskan di Bandung dan Yogyakarta. "Secara harfiah, Autarcie tidak memiliki arti. Ini semacam cara hidup kaum urban yang terus beradaptasi di ruangan yang terbatas. Ini adalah refleksi kehidupan kota," kata Valentine, sebelum pentas.

Pada 2012, Ann Nguyen, pemimpin sekaligus koreografer kelompok tari itu, menciptakan tarian yang menggabungkan dua jenis gaya hip-hop: popping dan breaking. Mulanya Ann memilih Valentine dan Sonia Bel Hadj Brahim dari jejaring penari muda di Paris. Lalu Maghali Duclos dan Linda ikut serta. Dia melihat gaya dan kekuatan empat penari itu sebelum merancang sinkronisasi gerakan berbeda gaya dalam satu tarian. Ann tak bisa hadir dalam tur Asia ini karena baru melahirkan.

Menurut Valentine, tarian ini menyesuaikan dengan kemampuan setiap penari. Di pentas, mereka bergerak secara teratur, mengintervensi satu sama lain hingga lahirlah kekacauan. Dari kekacauan itu, mereka bersaing, berdialog nonverbal dengan gerakan layaknya pantomim yang sesekali membuat penonton tersenyum dan tertawa. Rekaman rancak perkusi mengiringi gerakan itu dengan sempurna.

Gerakan-gerakan ini, menurut Valentine, diilhami oleh gerakan tubuh manusia yang selalu terhubung dengan alam sekitar. Seperti alam, mereka bergerak layaknya gelombang. Namun kadang bergerak mekanis dan matematis layaknya robot.

Sesekali mereka tampil dalam kelompok, menunjukkan kekompakan, sinkronisasi sekaligus konflik dan kekacauan. Namun, pada gerakan lain, tarian ini memberikan ruang bagi setiap penari untuk unggul dengan gaya, identitas, dan gerakannya sendiri.

Valentine, misalnya, melakukan downrock, air chair freeze sempurna. Sedangkan Maghali melakukan backslide. Namun aksi Sonia dengan waacking-nya paling mencuri perhatian. Waacking, gerakan tari yang mengandalkan kecepatan gerakan lengan, menjadi andalan Sonia. Kecepatannya menggunakan gaya ini membuat telapak tangannya seolah-olah berubah warna dalam cahaya berpendar panggung pertunjukan.

Kekompakan mereka di atas panggung dilengkapi dengan seragam jumpsuit berwarna gelap dengan garis-garis berwarna bata buatan rumah mode Courrèges, yang menjadi favorit Jacqueline Kennedy dan Catherine Deneuve. Seragam yang melekat di tubuh ini dirancang khusus untuk tari Autarcie yang mereka bawakan.

Lima puluh menit lamanya empat penari itu menunjukkan kebolehannya. Ketika tarian berakhir, mereka dengan antusias mengajak penonton naik panggung untuk menari bebas bersama-sama. Sayang, Minggu malam itu, tak ada penonton dari sekolah tari atau pegiat breakdance yang hadir. Dua kali mereka mundur ke belakang panggung dan mengajak penonton naik ke panggung. Tak ada yang maju. Lalu untuk terakhir kalinya mereka memberi hormat, membungkuk, dan kembali ke belakang panggung. Sayang.

Amandra M. Megarani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus