Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gerilya Baramuli dan Kredit Macet Poleko

Perusahaan Baramuli dijerat kredit macet lebih dari Rp 126 miliar. Akan habiskah karir bisnis dan politik tiang utama tim sukses Habibie ini?

29 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suaranya meledak-ledak. Ia boleh dibilang menjadi muara segala isu tingkat tinggi. Hampir semua peristiwa penting yang menyangkut wilayah kepresidenan, yang berputar-putar di sekitar Istana, Bina Graha, dan Patra Kuningan, seolah tak bisa dilepaskan dari sosok kontroversial ini. Skandal Bali-gate, yang melibatkan orang-orang dekat Habibie, bisa ia jelaskan dengan gaya bicara ceplas-ceplos—ia cukup berperan dalam pengembalian duit ratusan miliar rupiah hasil cessie bermasalah ke brankas pemerintah. Ahmad Arnold Baramuli, 69 tahun, kini Ketua Dewan Pertimbangan Agung dan Penasihat Partai Golkar, seperti siap ''pasang badan", sebagai pendukung nomor wahid, untuk mengegolkan peluang Habibie mendatang. Ia siap bertarung dengan siapa pun, apa pun risikonya, jika ada yang coba-coba ''mengganggu" junjungannya itu. Loyalitas total Bung Naldi, begitu ia akrab disapa, ia tunjukkan ketika menggagas Kaukus Iramasuka Nusantara, yang sukses meraup kursi ''murah" bagi Golkar, khususnya di Sulawesi, dalam pemilu lalu. Tapi Baramuli adalah juga lelaki yang suka berseloroh. Di hadapan wartawan, di lapangan tenis, atau gedung DPR, tempatnya selama 20 tahun bekerja sebagai wakil rakyat, ia suka mengembangkan senyum. Bicaranya lantang dan terbuka. Tapi Jumat petang pekan lalu, saat ditemui di lapangan tenis Hotel Hilton Jakarta, wajahnya mendadak serius dan sedikit tegang. Intonasi suaranya berubah perlahan, saat disodori secarik informasi gawat: daftar panjang kredit macet kelompok bisnis Poleko, yang dimiliki keluarga Baramuli. Ia kontan menghentikan permainannya. ''Dari mana kau dapat ini?" kata Baramuli serius kepada TEMPO. Dokumen resmi itu menyebutkan bahwa bisnis keluarga Bung Naldi, yang dibangunnya sejak 1973, sampai kini belum menyelesaikan utangnya di Bank Dagang Negara (BDN). Dilihat dari jumlahnya, total sekitar Rp 126 miliar, memang bukan angka yang fantastis. Masih jauh lebih kecil ketimbang sukses Eddy Tansil membobol Rp 1,3 triliun duit Bapindo. Dalam daftar itu, utang macet Baramuli terserak di sejumlah anak perusahaan Poleko. Sangkutan terbesar berasal dari PT Polepak Hotel Intl., yakni Rp 13 miliar dan US$ 3 juta. Selain itu, menurut sumber TEMPO di Departemen Keuangan, perusahaan Baramuli lainnya, PT Poleko Yubarson Trading Coy, menunggak Rp 10,5 miliar, dan PT Poleko Methol Indonesia sebesar hampir Rp 6 miliar. Utang ketiga perusahaan itu kini dipindahkan dari BDN ke BPPN, setelah bank milik pemerintah itu terkena proses rekapitalisasi pada Mei lalu. Di luar ketiga perusahaan itu, Baramuli juga masih menyimpan ''bara" pinjaman. Dari PT Polwood Forest Industries ia berutang Rp 2,4 miliar dan Rp 2,5 miliar. Lalu dari PT Polyub Swadana Utama dia memendam kredit macet Rp 2,3 miliar. Pada PT Poleko Yubarson Trading Coy, Baramuli bahkan tidak melunasi utangnya sejak 1980, sehingga ketika pinjaman tersebut ''dimacetkan" BDN pada bulan Mei tahun lalu, besar bunga yang harus ditanggung sama dengan utang pokoknya. Berita kredit macet ini tentu saja menyentak banyak orang. Soalnya, selama ini Baramuli adalah orang yang selalu sesumbar tidak punya masalah serius ihwal pinjaman bank. Kepada TEMPO beberapa waktu lalu, pria kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan, itu bahkan sempat menantang. ''Saya bayar 1 miliar, 2 miliar, 10 miliar, atau 100 miliar kalau benar," katanya. Ia sebelumnya juga dengan keras membantah ketika sebuah majalah berita menyebutnya memiliki kredit macet Rp 800 miliar. Tapi bukan karena tantangan itu saja yang membikin orang mesti prihatin dengan slasap-slusup bisnis politisi ini. Persoalannya, ini menyangkut sosok Baramuli, orang penting di Golkar, Ketua DPA, orang dekat Presiden Habibie. Apalagi jika ternyata kasus kredit macet itu terbukti benar. Saat dikonfirmasi, meski tak semua informasi itu dibantah, Baramuli sempat mengoreksi. Seingat dia, utang-utang itu sudah kelar. Dan yang lebih penting (sekaligus cerdik), semua perusahaan itu telah dijual ke seseorang—tapi ia lupa menyebut namanya (lihat Siapa Berani Menyentuh Baramuli?). Tapi sepak terjang Baramuli memang susah diduga. Ketika masa kampanye belum lagi dimulai, pria beranak lima yang pada 1988 masuk Islam itu malah sibuk membagi-bagikan uang ke berbagai daerah di Sulawesi. Paling tidak Rp 760 juta uang disawernya di beberapa kabupaten di Sulawesi untuk meraup dukungan buat Golkar. Kepada wartawan, ia mengaku bahwa uang itu titipan pengurus yang ''peduli" kepada massa pendukungnya. Tapi, siapa pun tahu, Naldi sedang memainkan politik uang. Karena permainan politik sabun itulah Panitia Pengawas Pemilu, dalam rekomendasinya ke Mahkamah Agung tempo hari, menyebut Baramuli sebagai orang yang harus diusut karena melakukan pelanggaran. Di ''hutan Beringin", Baramuli adalah sosok kontroversial. Dialah orang yang berdiri di belakang ''mosi" tidak percaya 13 dewan pimpinan daerah (DPD) Golkar terhadap kepemimpinan Akbar Tandjung dan Marzuki Darusman. Mosi itu mengusulkan pelaksanaan munas luar biasa untuk menggusur Akbar, selain juga meminta Kiki, panggilan akrab Marzuki, agar dipecat. Dalam pertemuan Ahad malam dua pekan silam di rumah Habibie, terjadi debat seru antara Baramuli dan Kiki. Baramuli menuduh Akbar dan Kiki mengkhianati amanat rapat pimpinan Golkar dengan tidak serius mendukung Habibie sebagai presiden. Kiki menuding Baramuli sebagai tokoh yang justru merontokkan Habibie dan partai Golkar karena sepak terjangnya (lihat Saling Tuding di Patra Kuningan). Jika kini Baramuli begitu getol mendukung Habibie, hal itu sesungguhnya bukan perkara aneh. Seorang tokoh lama Golkar bercerita, Baramuli adalah politisi yang biasa berayun mengikuti arah angin. Dalam masa kepemimpinan Wahono di Golkar (1988-1993), pria yang pernah menjadi jaksa itu cukup keras mengkritik Habibie. Ia dalam rapat-rapat Golkar giat mempersoalkan hak-hak istimewa yang diperoleh Habibie sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi. Tak hanya itu ''peluru" Baramuli. Ia juga mengaku punya data yang akurat untuk membongkar lalu lintas dana yang diperoleh Habibie. ''Tapi Baramuli tidak pernah benar-benar melakukannya. Ia hanya mendorong-dorong anggota fraksi Golkar di DPR untuk menyingkapnya," kata sumber itu. Sikap ''anti-Habibienya" tetap terasa kental meski kemudian Naldi terdepak dari partai kuning itu setelah Musyawarah Nasional Golkar pada Mei 1993 menaikkan Harmoko sebagai ketua. Sikap Baramuli bergeser ketika Habibie naik menjadi presiden pada Mei tahun lalu. Sejak dilantik menjadi Ketua DPA pada Juni 1998, ia telah menjadi satu-satunya tokoh penting di lembaga itu yang hiperaktif ''memberi pertimbangan" kepada presiden. Kepala Kejaksaan Makassar pada 1956 itu belakangan direkrut Habibie menjadi salah satu bagian penting dari tim suksesnya. Baramuli kemudian memelopori pembentukan kaukus ekonomi Iramasuka Nusantara. Alih-alih membentuk kelompok pemberdayaan ekonomi di wilayah Indonesia Timur, Baramuli malah menjadikan Iramasuka sebagai meriam politik. Dengan isu sentimen Jawa dan non-Jawa, ia meroketkan nama Habibie sebagai calon presiden kepada massa pemilih Golkar di kawasan itu. Hasilnya tidak sia-sia, Golkar meraup mayoritas suara di Sulawesi. ''Mungkin 100 tahun lagi, tak akan ada orang Sulawesi Selatan memimpin negeri ini," kata Baramuli dalam kampanyenya di provinsi itu. Dukungan kepada Habibie berdasarkan sentimen kesukuan itu memang langkah kuda yang jitu. Soalnya, ketika dimintai pendapatnya tentang kepemimpinan nasional sebelum Soeharto jatuh, Baramuli malah bersikap berbeda 180 derajat: ia menyanjung-nyanjung presiden Jawa. ''Presiden Indonesia perlu orang Jawa. Saya tidak yakin bila presidennya dari suku lain bisa stabil. Orang Jawa bisa menjaga persatuan dan kesatuan," kata Baramuli seperti dikutip buku Masyarakat Bertanya, Baramuli Menjawab. Inkonsisten? Mencla-mencle? Itulah, mungkin, yang namanya ''politik kepentingan". Tapi kedudukan sebagai tim sukses Habibie telah digenggam Baramuli. Dengan kepercayaan dan rasa percaya diri yang tinggi itulah, ia melanjutkan sepak terjangnya. Saking serunya, ia kadang-kadang kepeleset juga. Belum lama ini Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara (Gempita) pimpinan Albert Hasibuan mengadukan Baramuli ke Polda Metro Jaya. Pasalnya, dalam sebuah talkshow di sebuah setasiun televisi, Baramuli menuduh Gempita sebagai pemeras 12 perusahaan yang tersangkut kasus BRI. Sebelumnya, Barisan Nasional yang terdiri dari beberapa tokoh nasional seperti Kemal Idris dan Ali Sadikin pernah pula menggugat Baramuli dengan tuduhan penghinaan. Seburuk itukah Baramuli? Wallahualam. Tapi, yang jelas, sebagai seorang tokoh, ia memang colorful. Bagaimanapun nama Baramuli pernah harum ketika membongkar kasus Eddy Tansil. Saat itu Baramuli berhasil menyingkap kredit macet Rp 1,3 triliun PT Golden Key, perusahaan milik Tansil. Pengusaha keturunan itu dipenjarakan, bahkan nama mantan Pangkopkamtib Sudomo sempat terbawa-bawa sebagai aktor yang berdiri di belakang Tansil. Tapi kasus itu pun, menurut seorang sumber TEMPO di Golkar, tidak murni gagasan dan kerja keras Baramuli. Naldi, katanya, hanya mendahului tim investigasi Golkar yang memang berniat membongkar kasus yang menggemparkan itu. ''Ia memotong di tikungan," kata sumber itu lagi. Apa pun ceritanya, Baramuli barangkali adalah personifikasi dari sistem politik kita yang semrawut. Ia cerdik, liat, dan pandai membaca situasi politik. Ia memuji seseorang di satu tempat, kemudian meloncat ke tempat lain ketika situasi berubah. Ia juga politisi kawakan. Di usia yang sangat muda, ia sudah memulai semuanya. Umurnya baru 29 tahun ketika Presiden Sukarno mengangkatnya sebagai Gubernur Sulawesi Utara-Tengah. Di mata sahabatnya, Laode M. Kamaluddin, Baramuli adalah seorang besar. ''Ia figur unik dan langka di republik ini," kata Inspektur Jenderal Pembangunan ini kepada wartawan TEMPO Darmawan Sepriyossa. Baramuli, orang besar, Golkar, Habibie: semuanya saat ini mungkin adalah ikon yang tidak mudah dipisahkan begitu saja. Entah nanti. Misalnya jika kelak Bung Rudy Habibie gagal jadi presiden. Atau Megawati yang naik ke tampuk kekuasaan. ''Ya, habis sudah," kata Baramuli. Kali ini dengan suara yang kembali tak menyalak. Arif Z, Agus H, Rubi Kurniawan (Jakarta), Jalil Hakim (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus