JARUM jam menunjuk pukul 19.30. Cuaca gerah masih terasa di Ibu Kota, tapi lebih panas suasana pertemuan tidak resmi sekitar 45 petinggi Partai Golkar yang sebagian sedang "pisah ranjang" itu. Acara berlangsung di rumah Presiden Baharuddin Jusuf Habibie, di Jalan Patra Kuningan, Ahad malam, 22 Agustus lalu. Selain tuan rumah, di antara yang hadir tampak Ketua Umum Akbar Tandjung, Menteri Muladi (dua penggagas acara bertajuk "silaturahmi" ini), A.A. Baramuli, Marzuki Darusman, dan Ekky Syahruddin.
Ranjang Golkar itu membara karena Habibie, "bos" mereka, marah besar. Pasalnya, Marzuki mengecam keras—di pertemuan itu—cara Iramasuka Nusantara, mesin untuk menggalang dukungan terhadap Habibie yang dipersonifikasikan ke Baramuli. Langkah mereka yang menimbulkan isu politik main uang itu, menurut Marzuki, justru akan mengganjal jalan Habibie menuju kursi presiden. Golkar tidak akan berhasil menang dalam Sidang Umum MPR mendatang, kata Marzuki, kecuali bila orang nomor satu RI itu mengantongi dua kredit: penuntasan kasus korupsi mantan presiden Soeharto dan penyelesaian sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.
Mendengar dan melihat muntahan kecaman itu, Habibie tiba-tiba berdiri. Ia tampak geram menahan emosi. Orang Parepare, Sulawesi, itu marah. "Bagaimana bisa Saudara bilang bahwa kita bisa tidak menang? Saudara Marzuki, you are disqualified! Analisis Saudara belum tentu benar. Saya tahu Anda seorang intelek, tapi kini saya meragukannya," kata Habibie. Suaranya bergetar. Wajahnya yang lugu memerah. Ketika helaan napasnya mulai tak beraturan, seorang pelayan buru-buru datang membawakan sebutir pil dan segelas air putih. Habibie segera menenggak pil tersebut. Pelayan yang grogi itu menyenggol sebuah vas hingga terjatuh ke lantai. Prang! Suasana pun tegang.
Kemarahan Habibie itu merupakan titik klimaks. Bola konflik sudah menggelinding sejak awal. Maklum, acara yang digagas Muladi dan Akbar Tandjung itu mempertemukan dua kubu yang sedang berseberangan di tubuh Golkar menyangkut pencalonan Habibie sebagai presiden: kelompok Marzuki versus Baramuli. Perseteruan antara kedua kubu itu menyeruak ke permukaan akhir Agustus lalu, ketika 13 dewan pimpinan daerah Golkar mengeluarkan surat pernyataan sikap yang intinya menggugat kepemimpinan Akbar Tandjung, sang ketua umum.
Pendukung Habibie, ya, Baramulilah yang pertama memicu pemantik api di kediaman Habibie. Memperoleh giliran berbicara selama 10 menit, teman dekat Presiden itu langsung membuka sederet daftar dosa Marzuki, salah seorang ketua Golkar, terhadap Partai Beringin. Baramuli berbicara bak seorang jaksa penuntut di tengah persidangan kasus Marzuki. Di tangan bekas jaksa ini, potongan-potongan berita koran yang memuat berbagai pernyataan Marzuki sudah disiapkan. Dosa itu khususnya penolakan dukungan terhadap Habibie.
Mendengar hujatan itu, Marzuki buka mulut. Koran-koran memang pernah memuat ucapan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia itu yang menyebut nama Panglima TNI Jenderal Wiranto sebagai calon presiden. Ucapan itu dianggap Baramuli sebagai sikap politik yang tidak mendukung Habibie. Tapi, karena hal itu disampaikan dalam sebuah seminar di Singapura sebelum rapat pimpinan Golkar, Mei lalu—rapat yang menyepakati Habibie sebagai calon tunggal presiden dari Partai Beringin—tudingan Baramuli tersebut dianggap salah konteks oleh Marzuki.
Ruangan pun hening. Sampai sejauh itu, Baramuli belum bereaksi. Ketika Marzuki mulai melempar tudingan menyengat, Baramuli gerah. "Ada satu orang yang bisa menghentikan jalan Pak Habibie (menuju kursi presiden)," kata Marzuki sambil tangannya menunjuk ke arah Ketua Dewan Pertimbangan Agung itu. Wajah Baramuli langsung merah padam. Ia nyaris terjungkal dari kursinya karena kaget. "Kegiatan orang ini harus kita hentikan!" kata Marzuki lagi. Suasana panas.
Kecaman Marzuki semakin pedas ketika pembicaraannya menyinggung prospek masa depan politik Habibie. Dampak dari pernyataan pendapat tersebut, ya, amarah yang membara dari presiden ketiga RI itu. Semua peserta pertemuan bungkam beberapa saat dan saling melirik pandang. Tapi suasana kemudian sedikit mencair ketika Ekky Syahruddin, tokoh Beringin di DPR, memecah kekakuan. "Pak Habibie, Anda tidak boleh marah seperti itu. Marzuki kan tidak menolak Anda menjadi presiden," kata Ekky. Habibie pun tampak mengendalikan emosinya. Akhirnya dia berkata, "Saya hargai Saudara Marzuki atas masukannya." Sayangnya, Akbar, yang dimintai konfirmasi tentang kisah "ranjang panas" di rumah Habibie itu, tak banyak berkomentar. "Hal yang tidak penting jangan dibesar-besarkan," kata Akbar.
Singkat kata, pertemuan itu berujung happy ending. Baramuli menganggap bahwa selama ini memang terjadi kesalahpahaman antara dia dan Marzuki. Lalu, Akbar Tandjung, yang sempat dianggap satu kubu dengan Marzuki dalam menjegal Habibie, pun akhirnya terklarifikasi. Seusai acara, ketika hendak beranjak pulang, peserta pertemuan memperoleh ciuman pipi dari tuan rumah—tanpa kecuali. Jarum jam menunjuk pukul 24.00. Lima menit kemudian, mereka melenggang pulang dengan perasaan yang tak terbilang.
Kelik M. Nugroho, Andari Karina Anom, Ruby Kurniawan, Arif A. Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini