Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pencurian artefak, menurut pakar arkeologi dan antropologi Profesor John N. Miksic, bukan hal aneh di Asia Tenggara. Hal yang sama terjadi di Thailand, Kamboja, dan Myanmar. Miksic, yang meraih gelar PhD di bidang antropologi dari Cornell University dan melakukan penggalian di Singapura, Dataran Tinggi Dieng, Kota Cina di Sumatera Utara, Borobudur, Trowulan, Ratu Boko, dan Selowerto di Jawa, pernah menulis buku Old Javanese Gold.
Buku ini menarik karena khusus mengenai artefak emas di Jawa dari masa prasejarah sampai Majapahit. Dosen paruh waktu di Program Studi Asia Tenggara Universitas Nasional Singapura (NUS) ini menulis buku tersebut berdasarkan koleksi artefak emas milik kolektor Hunter Thomson yang diberikan ke Museum Nasional Singapura. Berikut ini petilan wawancara Dian Yuliastuti dengan lelaki yang juga pernah mengajar arkeologi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu.
Anda telah menulis buku mengenai emas di Jawa dari koleksi Hunter Thomson. Dari mana dia memperoleh koleksi artefak emasnya?
Hunter Thomson pengusaha yang sering bepergian ke Brunei Darussalam. Dia membeli artefak emas dari seorang dealer di Singapura. Nah, dealer ini sudah pensiun 20 tahun lalu dan pindah ke negara lain. Hunter kini mendirikan museum tekstil di Toronto dengan koleksi tekstil Indonesia.
Masih banyak orang seperti Hunter Thomson yang berminat khusus mengoleksi barang dari Jawa, dari Mataram kuno, misalnya?
Seni Asia Tenggara menjadi jauh lebih populer dan mahal selama 20 tahun terakhir. Ilmuwan ingin lebih mempelajarinya, dan kolektor lebih ingin memilikinya. Periode Kerajaan Mataram Kuno adalah periode yang paling berjaya di seni Jawa, sehingga banyak karya seni dari Mataram yang lebih baik daripada periode sebelumnya. Masyarakat Mataram sebagian menyukai emas karena emas adalah logam yang paling prestisius. Lalu ada perak, tembaga, dan patung batu serta material yang berkualitas lebih rendah.
Nilainya tinggi?
Nilai perhiasan dan patung dari Kerajaan Mataram Kuno akan terus naik, karena pasokan terbatas dan permintaan terus meningkat. Ujung-ujungnya, godaan untuk mencuri dari museum akan terus meningkat.
Menurut Anda, apakah pencurian emas seperti di Museum Nasional merupakan pesanan seorang kolektor yang menginginkan rangkaian atau seri suatu obyek dalam waktu tertentu?
Artefak yang sangat tinggi nilainya memang dicuri karena ada pesanan seorang kolektor yang mempunyai spesialisasi. Beberapa kolektor memang mempunyai tipe koleksi tertentu, seperti perhiasan dan obyek dari periode tertentu. Di Kamboja, ada sindikat terorganisasi yang menawarkan mencuri bagian tertentu jika seseorang ingin membelinya. Saya tidak tahu apakah ada koleksi obyek emas tertentu dari raja atau ratu Mataram yang dimiliki Museum Nasional.
Apakah ada kemungkinan barang curian dijual melalui lelang?
Balai lelang dan museum asing sekarang lebih berhati-hati. Di Amerika, misalnya, museum bisa didenda polisi karena menjual artefak curian. Tapi memang kolektor pribadi bagaimanapun masih aktif di pasar.
Setahu Anda, dalam kasus Indonesia, bagaimana rute pencuriannya?
Rute utama untuk mengeluarkan artefak curian adalah dari Bali. Banyak karya seni yang diekspor dari sana. Dari Bali, artefak langsung ke Eropa, Australia, atau Amerika. Atau mereka bisa melalui Singapura. Negara itu tidak memiliki undang-undang tentang ekspor-impor barang antik, sehingga dijadikan tempat transit yang nyaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo