Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Peripih dari Penanggungan

Sebagian artefak emas yang dicuri adalah peripih atau emas untuk medium perantara doa. Nilai sakral itulah mungkin yang menyebabkan peripih di museum menjadi incaran pedagang barang antik.

11 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari lereng Gunung Penanggungan, peripih emas yang dicuri dari Museum Nasional Jakarta pada awal September lalu berasal. Dalam Kidung Tantu Pagelaran, Penanggungan disebut Gunung Pawitra, puncak dari Gunung Semeru (Mahameru) yang dipindahkan para dewa untuk meredam gejolak di tanah Jawa. "Gunung itu dianggap gunung tersuci. Banyak temuan arkeologis diperoleh dari sana," ujar pengamat arkeologi Nigel Bullough, penulis buku Historic East Java: Remains in Stone.

Menurut lelaki Inggris yang berganti nama menjadi Hadi Sidomulyo itu, lem­pengan emas buatan abad ke-10 yang hilang di Museum Nasional berasal dari situs petirtaan Jalatunda, yang tak jelas siapa pembuatnya. Situs yang berada di lereng utara Penanggungan itu, tepatnya di Desa Seloliman, Trawas, Mojokerto, Jawa Timur, merupakan salah satu peninggalan yang cukup tua. "Ini periode gelap dalam sejarah. Kita tidak tahu siapa rajanya ketika itu," kata Hadi.

Penanggungan punya nilai sejarah ketika pusat kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Pada masa-masa itulah mulai dibangun petirtaan, tempat pemujaan berupa punden berundak dan altar. Situs Penanggungan sempat menghilang seiring dengan runtuhnya Majapahit pada abad ke-16. Sebagian besar bangunan situs terkubur lapisan tanah dan tertutup semak belukar. Keberadaannya mulai diketahui lewat catatan arkeolog Belanda, W.F. Stutterheim, pada 1925. Ketika itu baru saja terjadi kebakaran hebat yang menelanjangi sebagian besar lereng Gunung Penanggungan. Candi itu kembali terlihat, meski sebagian besar ditemukan dalam kondisi terserak, sulit direkonstruksi.

Kala itu, bukan hanya patung dan bebatuan candi yang ditemukan, melainkan juga sejumlah benda berharga, seperti emas dan berlian. Banyak emas yang hilang dijarah masyarakat. "Temuan benda emas di situs itu bukanlah hal aneh. Itu lazim ditemukan di dalam candi sebagai bagian dari ritual agama," Hadi menjelaskan.

Emas merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendirikan bangunan suci. Benda berharga itu harus ditanam di bawah bangunan atau disimpan dalam tumpukan batu di bagian atas. Ada juga yang dipajang di halaman candi. "Konsep serupa bisa dilihat dari tradisi pancadatu bagi pemeluk Hindu di Bali," ujar dosen arkeologi Universitas Gadjah Mada, Niken Wirasanti.

Lempengan emas atau lazim dikenal dengan peripih merupakan perlambang sesuatu yang suci. Lempengan itu biasanya mengandung inskripsi berupa mantra atau doa yang didaraskan untuk para dewa. Kalimat yang diukir pun tak terlalu panjang. Kadang hanya satu-dua kata. Ada kalanya peripih ditanam bersama logam dari unsur lain, batu mulia, dan biji-bijian hasil alam. "Persyaratan bangunan suci memang mengharuskan adanya peripih," kata Niken.

Lempengan emas yang dicuri dari Museum Sonobudoyo Yogyakarta dan Museum Nasional Jakarta dalam tiga tahun terakhir ini memang banyak berupa peripih. Menurut arkeolog Agus Arismunandar, peripih memegang peran penting dalam percandian. Dapat dikatakan candi tanpa peripih ibarat raga tanpa jiwa. Peripih berfungsi menghidupkan candi agar dapat digunakan sebagai tempat ibadah.

Di era Mataram kuno, tutur Agus, peripih berbahan emas biasanya dimiliki kaum agamawan dan bangsawan. "Peripih sebagai medium perantara untuk melakukan pemujaan kepada dewa. Candi itu baru berdewa ketika ada ritual agama dengan medium peripih," kata Agus. Karena itulah kemungkinan peripih emas banyak dicari pedagang barang antik karena, di samping nilai logam mulianya, konteks sejarahnya tinggi sebagai barang sakral.

Riky Ferdianto, Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus