Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bali merupakan surga bagi para peminat barang antik. Tingginya permintaan akan benda-benda tersebut membuat bisnis art shop kian menjamur dalam beberapa tahun terakhir. Sentra penjualannya tersebar di sejumlah kota, seperti Denpasar, Kabupaten Tabanan, Badung, dan Gianyar. Saking tingginya permintaan, benda-benda curian pun kadang jadi barang komoditas. Kasus yang banyak terungkap adalah perdagangan benda sakral berupa pratima.
Pratima merupakan elemen penting dalam ritual agama Hindu. Bentuknya bisa berupa patung, keris, dan giwang. Benda ini lazim diletakkan di salah satu ruangan pura yang tertutup. Tidak sembarang orang boleh melihatnya. Akses itu hanya dimiliki oleh pandita dan orang-orang tertentu. Pratima dianggap sakral lantaran telah menjalani prosesi upacara. Benda yang "dipratimakan" karenanya diyakini memiliki jiwa yang mencerminkan sifat para dewa.
Mengubah sebuah benda menjadi pratima memerlukan prosesi upacara yang menelan biaya ratusan juta rupiah. Upacara itu bisa berlangsung berulang kali, yang melibatkan ratusan bahkan ribuan pemeluk Hindu. Jika benda itu harus dibuat dari kayu, kayu tersebut haruslah kayu pilihan. Itu pun ditebang di tanggal baik setelah diupacarakan. Karena alasan itulah benda pratima punya nilai jual tinggi. Di pasar gelap, harganya bisa puluhan juta rupiah.
Dua bulan lalu, Kepolisian Daerah Bali mengungkap sindikat pencurian pratima. Tujuh orang ditangkap dari tempat berbeda. Mereka adalah kelompok yang berasal dari Desa Pegayaman, Buleleng. Puluhan benda sakral berupa keris, emas, manik-manik, dan patung disita dari tangan kelompok itu. "Mereka sudah kami buru sejak enam bulan lalu," ujar Kepala Subdirektorat III Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Bali Ajun Komisaris Besar Heri Haryadi.
Kelompok Pegayaman terungkap pernah beraksi di 44 pura. Sejak tiga tahun lalu, beberapa pura di Kota Denpasar, Kabupaten Tabanan, Klungkung, Gianyar, dan Badung menjadi korban mereka. Target itu dipilih kelompok tersebut secara acak, tergantung situasi yang mereka anggap aman. Kelompok Pegayaman juga punya tipikal yang khas dalam menjalankan aksi. Tiap orang bekerja sendiri-sendiri, hampir tanpa koordinasi. Hanya, mereka mengenal satu sama lain.
Yang mereka ambil dari pratima umumnya benda-benda berupa emas. Emas yang mereka dapatkan biasanya dilebur lebih dulu, lalu dijual kepada para pedagang di daerah Buleleng. Konon, pola itu terbentuk karena mereka dibesarkan di lingkungan keluarga yang paham menjalani bisnis emas. Itulah mengapa hanya sedikit di antara mereka yang menjual benda-benda selain emas ke pasar barang antik. Kalaupun ada, barang itu mereka lepas tergantung permintaan.
Kasus yang cukup menyita perhatian terjadi tiga tahun lalu. Kala itu, polisi membongkar sindikat perdagangan pratima yang melibatkan warga negara Italia, Roberto Gamba. Puluhan pratima yang akan dikirim ke pasar Eropa disita. Kasus ini sempat menuai protes keras. Umat Hindu di Bali kecewa lantaran Roberto Gamba hanya divonis lima bulan penjara. Gamba berdalih benda-benda itu ia beli dari art shop, dan tidak tahu-menahu muasal barang tersebut.
Memang sebagian art shop di Bali kadang memampangkan koleksi barang seperti pratima. Benda-benda itu umumnya mereka peroleh dari para perajin. Ada patung, senjata, kepingan uang, atau giwang. Sekilas mirip, tapi belum tentu benda itu adalah pratima. Di sinilah muncul pangkal masalahnya. Para penegak hukum mengaku cukup kesulitan menemukan parameter yang meyakinkan untuk menentukan barang itu asli atau tidak.
Polisi sebenarnya sudah lama mengendus praktek perdagangan barang-barang ilegal di Bali. Namun proses penanganannya kadang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Para pelakunya bergerak di bawah tanah. Sulit teridentifikasi. Suatu waktu pernah ada kabar dari Interpol di Amerika Serikat: sebuah kiriman paket berupa barang-barang antik dan tengkorak kepala manusia terdeteksi di ruang pabean. Pengirimnya berasal dari Bali. Ketika dilacak, alamat itu ternyata fiktif.
Mafia barang antik biasanya bekerja dengan sistem sindikasi. Sebagian di antara mereka membangun jaringan dengan toko art shop tertentu. Begitupun layanan jasa ekspedisi. Ruang gerak mereka bukan hanya di Bali. Beberapa toko art shop di Jakarta dan Yogyakarta kadang masuk lingkaran mereka. "Sangat mungkin melibatkan sindikat internasional," ucap Kepala Unit III Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Bali Komisaris Soma Adyana.
Para pelaku bisnis ini memainkan semua jenis dagangan. Mereka tidak memiliki spesialisasi akan benda-benda tertentu. Asalkan ada peminat, mereka langsung bergerak mencari barang yang dibutuhkan. Aksi yang mereka lakukan pun hanya akan berhubungan dengan orang-orang yang berada dalam mata rantainya sendiri, dari pemetik, penghubung, pengirim, hingga penerima barang. Tiap kelompok juga akan saling merahasiakan aksi mereka.
Sekalipun demikian, belum banyak yang bisa dilakukan untuk menjerat mereka. Pengungkapan kasus ini masih memerlukan alat bukti yang cukup kuat. Sejak kasus pencurian lempengan emas di Museum Nasional, jajaran kepolisian di Bali mengaku mendapat arahan dari Trunojoyo, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Sindikat yang dicurigai berada dalam lingkaran kasus ini diminta terus dipantau. "Kasus ini mendapat atensi besar," ujar Heri.
Riky Ferdianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo