Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gog dan magog di afghanistan

Pemerintah boneka soviet di afghanistan mengadakan depopulasi & pembersihan gerilyawan muslim serta menancapkan sistem komunis dengann tindakan keji, awal kudeta & situasi kabul terus mencemaskan. (sel)

13 Juli 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDUDUK terbantai, atau terusir. Itulah yang menyebabkan ambruknya sistem pertanian di Afghanistan. Penelitian yang dilakukan Azam Gul, seperti juga hasil penyelidikan Mohammed Qazim Yusufi, bekas profesor pertanian pada Universitas Kabul, menunjukkan tanda-tanda sekaratnya sistem yang selama berabad-abad telah menghidupi orang banyak itu: panen gandum, jagung, dan beras anjlok, sampai-sampai "seluruh hasil tahun 1982 paling banter hanya seperempat hasil tanam tahun 1978". Selanjutnya, ahli-ahli Inggris, berdasarkan informasi yang diam-diam telah tersebar ke seluruh negeri dan dikumpulkan dari para pengungsi, menyimpulkan bahwa di negeri yang sedang merah itu kasus kekurangan gizi pada balita adalah peristiwa sehari-hari, sedangkan bahaya kelaparan akibat paceklik yang berkepanjangan siap menerkam ribuan orang. Ini, tentu saja, dibantah keras oleh pemerintah boneka Soviet itu. Media massa yang didalangi Soviet, misalnya, setiap saat mengabarkan hal yang sebaliknya. Siaran yang dipancarkan dari Behsoud dan daerah lain di Afghanistan secara rutin mengumumkan keberhasilan landreform dan usaha pedesaan. Terhadap propaganda Soviet ini Yusufi memberi tanggapan, "Di Behsoud memang ada tanah, ada air, tetapi jangan sebut soal pertanian." Bekas profesor itu mengemukakan alasan, "Sistem irigasi sudah diporak-perandakan. Mana mungkin ada petani yang bisa menggarap tanah?" Dinilai secara individual, agaknya cerita seperti yang disampaikan Yusufi sudah bukan kejutan paling tidak bukan hal yang perlu membuat kaget menurut ukuran abad kita yang bergelimang darah. Sedangkan kalau dilihat secara keseluruhan, ditambah lagi dengan informasi yang bocor, politik Soviet di Afghanistan tak kurang garang dan ganas dari yang pernah dilakukan di negara-negara satelit mereka. Sosok Afghanistan yang muncul dari mulut para pengungsi bukan sekadar sebuah gambar negeri yang sedang ditundukkan secara militer. Tetapi juga yang sedang dipermak citranya jadi totaliter macam Rusia. Beberapa tahun lalu, menurut para pengungsi, para pemimpin Afghanistan pro-Soviet pernah berkata bahwa mereka cuma menginginkan satu juta orang tinggal di negeri itu. Lebih jauh lagi, menurut orang-orang terbuang itu, para boneka itu yakin bahwa untuk membangun masyarakat revolusioner tidak perlu modal orang banyak-banyak. Bahkan kalau sehabis perang nanti 16 juta orang Afghanistan merat semua, atau lampus, tidak jadi soal. Tetapi pihak Barat belum mempunyai bukti kuat mengenai kebijaksanaan para pemimpin Afghanistan yang dingin dan sadistis itu. Hanya, kalau ditelaah betul, omongan orang-orang usiran tersebut ada betulnya. Pernyataan para pemimpin pro-Soviet yang diceritakan itu agaknya sesuai dengan "petunjuk pokok tentang dua pasal pelengkap perjanjian kerja sama penguasa komunis Soviet-Afghanistan". Dalam buku petunjuk itu disebutkan: pertama menyingkirkan orang-orang yang dianggap berbahaya dan menyapu bersih para pemimpin serta siapa saja yang patut dicurigai - dalam hal Afghanistan: lapisan feodal yang kebanyakan punya akar pengaruh kuat di masyarakat dan bisa membahayakan. Depopulasi besar-besaran yang telah terjadi itu yang merupakan salah satu migrasi terbesar dalam sejarah modern, tampaknya merupakan bukti doktrin gila-gilaan ini. Dalam migrasi tersebut tercatat dua pertiga bagian penduduk Afghanistan (jumlah sebelum perang) lari ke Pakistan, Iran, dan beberapa negara lain. Dan banyak lagi - yang tidak diketahui secara pasti jumlahnya - yang meninggalkan rumah, mengungsi ke negeri sekitar untuk mencapai kota yang relatif aman. Mereka mencoba menyingkir dari pengeboman gencar yang sekarang sudah menjadi bagian regular strategi perang Soviet dalam usahanya menumpas gerilyawan Muslim. Yang kedua, yang tampaknya tidak terlalu mencolok dibanding yang pertama, adalah apa yang dinamakan Yusufi sebagai "gerakan propaganda", yang saat ini sedang giat-giatnya dilancarkan di negeri kemelut itu. Gerakan itu berupa "usaha menanamkan metoda-metoda dan lembaga-lembaga ala Soviet di Afghanistan" - sesuatu yang kemudian menimbulkan gejolak berkepanjangan, terutama di daerah-daerah pinggiran. Orang Afghanistan pinggiran, apalagi yang di pelosok dusun, sangat tradisional. Mereka sangat religius, dan - ini pasal utamanya - selalu menentang segala macam kontrol dari pemerintah pusat, apalagi pemerintah asing. Tetapi orang-orang Rusia yang sudah kepalang basah itu rupanya juga sudah bertekad bulat - kalau perlu dari titik nol - membentuk "masyarakat baru". Yakni masyarakat seperti yang dilukiskan Lenin dulu, yang telah ditumbuhkan di banyak tempat di Eropa Timur serta Indocina. Mengenai itu Abdul Majid Mangal punya pendapat, "Mereka, orang-orang Rusia itu, tidak ambil peduli dengan luasnya daerah yang dikuasai Mujahidin." Strategi mereka, menurut bekas diplomat pemerintah komunis Afghanistan yang kemudian kabur ke Peshawar itu, adalah membentuk masyarakat inti yang berorientasi ke Moskow, kemudian, pelahan tapi pasti, tatanan masyarakat yang dibentuk di kota-kota yang mereka kuasai itu dipaksakan diperluas ke seluruh negeri. * * * Dan strategi gila-gilaan itu tetap dipertahankan - dengan beban finansial yang tidak ringan. Mereka, misalnya, harus mengerahkan tidak kurang dari 115 ribu personil militer, belum termasuk 10 ribu serdadu yang tewas. Soal jatuhnya pamor Moskow di mata dunia, itu sih bukan soal bagi mereka. Moskow agaknya juga punya alasan: untuk "menjaga keseimbangan kekuatan di perbatasan sendiri". Jadi, tidak mengherankan jika Uni Soviet begitu getol mendukung "revolusi sosialis Afghanistan" melawan negara-negara "imperialis", yang tidak lain adalah Amerika Serikat, Pakistan, dan Cina. Orang Rusia juga gembar-gembor tentang usaha mereka yang, katanya, memperkenalkan langkah-langkah "progresif" - termasuk dalam bidang pendidikan ilmiah, usaha persamaan hak laki-laki dan perempuan, serta pematahan "dinasti kelas-kelas lama yang menindas". Para ahli Barat, tentu saja, tidak mudah terkecoh oleh alasan klasik komunis untuk membenarkan tindakannya yang brutal. Mereka umumnya sepakat bahwa tujuan utama Soviet tak lain menjarah daerah selatan, mencari keuntungan strategis di sana dan di kawasan Teluk Persia. Beberapa komentator Amerika bahkan berani bertaruh bahwa Beruang Merah itu, dalam usahanya menancapkan kuku di kedua wilayah tersebut, tidak akan segan-segan mencernakan Afghanistan menjadi republik baru macam Kazakhstan atau Tadzhikistan - atau beberapa negara kecil lain di wilayah Asia Tengah pada zaman pasca-Revolusi 1917 dulu. Pokoknya, apa pun tujuan akhir kebijaksanaan geopolitik itu, aksi yang dilakukan di Afghanistan termasuk kekerasan yang tidak masuk akal - punya pembenaran logis sendiri. Partai komunis, dalam memelihara kewibawaannya di Moskow, mesti menjaga citra "tidak mungkin salah". Gambaran partai komunis sendiri memang sudah sedemikian rupa: tidak risi lagi untuk menghalalkan segala cara. Bagi mereka, wajar saja kalau untuk mengatasi masalah negeri yang tepat berbatasan, seperti Afghanistan, diterapkan cara apa pun, termasuk yang keji. Dan betapapun mahalnya tebusan, akan dibayar. * * Untuk menutupi cara busuk demi kemenangan itu, Soviet berusaha keras menyolder rembesan informasi yang keluar dari Afghanistan, walau perang itu bukan tanpa saksi mata sama sekali. Dokter-dokter yang bekerja di bawah organisasi kesehatan misalnya, bisa menjelaskan sampai ke hal paling kecil kejadian di wilayah yang dikuasai gerilya, tempat mereka biasa bertugas. Juga para diplomat di Kabul, yang secara kontinu mengirimkan berita melalui saluran diplomatik. Dan, tentu saja, orang Afghanistan sendiri, para pelarian, saksi-saksi yang sebetulnya buta politik yang kebanyakan terdiri dari petani miskin dan penghuni gubuk lumpur di pinggiran kota atau di desa-desa kumuh yang, boleh dibilang, semuanya buta huruf. Sedangkan sisanya, yang jumlahnya tidak seberapa, adalah orang-orang profesional: bekas wartawan, atau profesor, atau pegawai tinggi pemerintah yang dulu, dan sedikit anggota kelompok elite Afghan. Kaum profesional - berbeda dengan pengungsi rakyat kecil - tidak ditampung di tenda-tenda di luar kota karena bisa mengusahakan tempat tinggal berupa- rumah bata atau malah bangunan berdinding beton. Mereka yang berdiam di gedung-gedung di Peshawar ini kebanyakan berpartisipasi dalam salah satu dari lusinan gerakan perlawanan yang berpusat di kota. Beberapa dari para pengungsi laki-laki yang ditemui - yang menyandang pakaian panjang tradisional Afghanistan, berupa tunik longgar, celana komprang, dan sandal - ternyata mengerti bahasa Inggris. Ini sangat mempermudah penggalian: kesaksian mereka bisa ditangkap lebih akurat. Sangat tidak mengherankan bila mereka semua membenci pemerintah Kabul dukungan Soviet. Kisah-kisah yang mereka sampaikan, deskripsi dan rinci-rincinya, konsisten. Tidak ada saling silang satu sama lain. Semua ini menunjuk ke satu hal: tingginya derajat kredibilitas mereka sebagai sumber berita primer. Mereka, yang jumlahnya sampai jutaan, tidak mungkin sepakat untuk berdusta bukan? Apalagi di antaranya ada orang-orang seperti Abdul Majid Mangal, bekas pejabat rezim komunis dan diplomat yang membelot itu. Sewaktu masih menjadi diplomat karier pemerintah Kabul, Mangal adalah orang kedua pada kantor kedutaan Afghanistan di Uni Soviet. Lalu, seperti Yusufi, bekas profesor itu, ia lari ke Pakistan, dan sejak 1983 menyandang status baru sebagai pengungsi. Tetapi, tidak seperti kebanyakan pengungsi, sebagai orang yang selalu berada dalam urat nadi pemerintahan, Mangal tahu banyak hal. Dia pun bercerita, "Di Kabul, Jalalabad, Herat, Kandahar, dan sebagian besar daerah urban di Afghanistan, lembaga-lembaga ala Soviet yang didirikan penguasa komunis sudah berjalan lancar." Bukti-bukti pun ditunjukkan, termasuk daftar panjang kegiatan lembaga-lembaga buatan orang Rusia itu. Kegiatan itu antara lain peningkatan propaganda, pengawasan ketat terhadap media massa, pembentukan asosiasi-asosiasi profesi, dan - terutama - pendirian cabang-cabang partai komunis sampai ke setiap RT, kantor, serta sekolah. Juga pembangunan Khad, dinas rahasia yang diberi nama menurut inisial bahasa Afghanistan, dan - bisa diduga mengambil model KGB Soviet yang terkenal itu. Tidak kalah angkernya adalah para penasihat Soviet yang ditempatkan di setiap jajaran pemerintahan Afghanistan dan ditugasi mengawasi seluruh kegiatan. Tidak satu pun kegiatan yang lepas dari mata telinga orang Rusia. Bahkan, konon, pekerjaan administrasi rutin pun dikontrol. Apalagi sistem pendidikan. Yang terakhir itu, dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, dirombak total. Ribuan pemuda, bahkan anak-anak berumur 5-6 tahun, dikumpulkan untuk dididik selama tidak kurang dari satu dasawarsa. Jumlahnya, menurut perkiraan, mencapai 12.000, yang disebar ke berbagai universitas dan lembaga-lembaga keterampilan di Uni Soviet. * * * Langkah awal bercokolnya Soviet di negaranya, menurut Mangal, dijejakkan di Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Afghanistan. Dari situlah kontrol langsung terhadap pemerintah Kabul dikembangkan dan mencapai bentuknya yang sekarang, setelah melalui suatu revolusi. Revolusi itu, yang bisa dianggap sebagai peletakan batu pertama pemerintahan Soviet di sana, adalah Revolusi Saur, 1978. Dan ini, tutur Mangal dengan bahasa Inggris yang lancar, dimulai ketika partai komunis yang dikenal sebagai Partai Demokratik Rakyat Afghanistan (PDRA) melakukan kudeta dan berhasil mendudukkan Noor Mohammad Taraki ke kursi perdana menteri. "Saat itu," tutur Mangal, "ada tiga macam penasihat Soviet di Kemlu. Semuanya - baik penasihat resmi, penasihat politik, maupun penasihat ekonomi - punya kantor sendiri, lengkap dengan foto Lenin di setiap ruangannya." Dari ruangan-ruangan itulah revolusi dikendalikan. Kita lihat saja: Belum genap setahun bertahta, 1979, Taraki digulingkan oleh Hafizullah Amin, pemimpin sempalan PDRA yang tampaknya tidak begitu dekat dengan Soviet. Tampilnya lawan Taraki inilah yang dijadikan alasan Soviet untuk melancarkan invasi yang menyebabkan terbunuhnya Amin pada awal 1979. Pada invasi itu, menurut para inteligen Barat, dalam waktu sebulan Soviet mengerahkan lebih dari 100.000 serdadu untuk menunjang Babrak Kamal, boneka Kremlin yang sebenarnya sudah lama dipersiapkan. Dan permainan pun dilanjutkan. Di dalam tubuh Kemlu, tutur Mangal, para penasihat Soviet segera memainkan kartu barunya seiring dengan pengaruh Soviet yang sudah bisa semakin besar. Sebagai langkah pembuka, mereka mengatur agar semua diplomat profesional yang bukan anggota PDRA dikirim ke pos-pos yang mudah diawasi: negara-negara blok Timur, atau malah ke Uni Soviet. Mangal sendiri - yang selama lima tahun menjadi direktur urusan PBB pada Kemlu Afghanistan dan telah dipersiapkan untuk menempati posnya yang baru di New Delhi - dilemparkan ke Moskow. Sedangkan teman-temannya, yang juga nonkomunis, dibuang ke Polandia, Hungaria, dan Cekoslovakia. Tetapi semua diplomat profesional itu, menurut Mangal, akhirnya berhasil menemukan jalan untuk lari ke Pakistan atau ke Barat. Untuk mengganti diplomat nonkomunis itu, Soviet lalu membentuk kader-kader yang dilatih guna menguasai apa yang disebut orang Rusia sebagai "diplomasi komunis". Para kader ini diambil dari keluarga-keluarga komunis Afghanistan terkemuka, yang diseleksi secara cermat dan dikirim ke Uni Soviet. "Jumlah yang dikirim, pada 1982, 15 orang," kata Mangal. "Dan semua dimasukkan ke Universitas Negeri Moskow - digodok di sana." Sedangkan di Kabul sendiri para pejabat Kemlu ditatar untuk mempelajari segala tetek-bengek Rusia. Untuk melatih mereka, di Kemlu didirikan semacam lembaga pendidikan diplomatik. Guru-gurunya, yang mengajar untuk periode satu sampai beberapa bulan, langsung didatangkan dari Soviet. Sementara itu, menurut Mangal, kebijaksanaan luar negeri Afghanistan diambil alih seluruhnya oleh Soviet. "Penasihat pucuk Soviet untuk masalah luar negeri adalah Vasily Safronchuk," katanya. "Kepala Departemen Timur Tengah Kemlu Soviet inilah menteri luar negeri pemerintah Kabul yang sebenarnya." Waktu kudeta komunis yang pertama, dulu, Safronchuk cuma orang kedua pada kedutaan besar Soviet di Kabul. Tetapi, sekarang, dialah yang membuat instruksi di Moskow dan mengirimkannya ke Kabul untuk dilaksanakan Kemlu Afghanistan. Tentang Kemlu Afghanistan yang hanya melaksanakan instruksi Moskow ini Mangal memberikan contoh. "Ketika diundang untuk bicara di PBB," tuturnya, "menlu Afghanistan, Shah Mohammad Dost, mampir dulu ke Moskow. Bukan untuk konsultasi, tetapi untuk mengambil pernyataan yang sudah disiapkan Kremlin. Dan itulah yang dibacakan di depan sidang." Dan di depan sidang itu Dost memulai pidatonya dengan kalimat ini, "Ini adalah pernyataan resmi yang dibuat pemerintah Afghanistan pada Konperensi Nonblok ...." Tidak satu pun kebijaksaan luar negeri boleh dibuat pemerintah Afghanistan sendiri. "Semua komunike, pernyataan, atau apa pun yang dikeluarkan Kemlu Kabul," kata Mangal, "dirancang dan dibuat dan disiapkan di Moskow." Tetapi menurut Aminullah Wardak, yang diatur Moskow bukan hanya Kemlu. Bekas pejabat Kantor Sekretariat Perdana Menteri itu menyatakan, "Urusan yang paling remeh pun harus melalui Moskow." Tentang hal ini, Wardak - yang sejak 1983 tinggal di sebuah rumah milik salah seorang anggota perlawanan Afghanistan di Peshawar - bercerita. Suatu saat, tuturnya, pemerintah Afghanistan membuat perjanjian dagang dengan Bulgaria. Pada naskah yang telah ditandatangani Dewan Menteri Afghanistan di Kabul itu dicantumkan bahwa negeri itu akan membeli sepatu dan seragam militer dalam partai besar. Tetapi, ketika pesanan akan dikirim, dokumen itu terbaca oleh penasihat Soviet di Kementerian Dalam Negeri dan Kantor Perdana Menteri. Apa yang terjadi kemudian? "Mereka marah besar karena tidak diberi tahu sebelumnya," kata Wardak, sambil meletakkan cangkir tehnya dengan kasar. "Para penasihat itu langsung memerintahkan agar pengiriman ditunda sampai didapat jalan tengah: barang boleh dikirim dari Bulgaria, tetapi pembayarannya dialamatkan ke Moskow. Baru, oleh Moskow, pembayaran itu ditransfer ke Sofia, dalam bentuk . . . bahan pangan." * * * Baten Shah Safi, bekas profesor farmakologi di Universitas Kabul, punya cerita lain. Bukan soal sepatu dan seragam yang oleh Moskow disulap jadi makanan, tetapi bab propaganda ideologi. Sejak tahun 1979, para penasihat Soviet sudah mulai menyebarkan buku wajib yang diterjemahkan langsung dari teks Rusia, menggantikan bahan pelajaran lama yang diambil dari buku-buku Jerman Barat. Tetapi ini tampaknya belum apa-apa dibanding kesaksian Mangal. Bekas diplomat itu berani bersumpah: buku pelajaran sejarah Afghanistan yang baru dibuat oleh orang-orang Rusia di Moskow. Baru, setelah jadi, diterjemahkan ke bahasa Afghanistan! "Aku melihat dengan mata kepala sendiri," ujarnya. "Itu semua dikerjakan oleh Panel Sejarawan Soviet, yang diketuai Profesor Akramovich - direktur Institut Moskow untuk Studi-Studi Oriental!" Pelajaran sejarah versi baru itu berisi dua tema pokok: Sejarah Afghanistan - ini tema pertama didominasi oleh pergulatan antara kelas pekerja melawan "imperialisme", terutama imperialisme Inggris abad XIX. Tema kedua: pembebasan negeri - dari imperialisme tadi - yang banyak berutang budi kepada "bimbingan fraternal" Uni Soviet. "Uni Soviet berusaha menanamkan bahwa setiap orang Afghanistan baru bisa dibilang patriotik kalau dia teman Soviet." Pesan sponsor macam begini, menurut Mangal, tidak putus-putusnya disiarkan Radio Kabul. "Paling tidak, 200 kali sehari - sesering imperialisme Amerika dicaci maki." Amerika juga menjadi sasaran utama demonstrasi. Dan arak-arakan buatan kaum Merah yang dipergelarkan di Kabul itu, menurut beberapa pengungsi Peshawar, direkam untuk diputar di televisi Uni Soviet, selain dipertontonkan kepada pirsawan TV lokal. Mengenai tontonan TV ini Aminullah Wardak bisa bercerita banyak. "Kantor Pemerintah," tuturnya, "sering dikirimi surat yang memberitahukan adanya demonstrasi." Contohnya, ketika Radio Suara Amerika mulai mengudarakan program siaran berbahasa Parsi, kedutaan AS didemonstrasi besar-besaran, malah. Demonstrasi kalengan, memang. Orang yang mengirim surat ke kantor pemerintah itu sebelumnya telah mengerahkan tenaga untuk memaksa penduduk menandatangani pernyataan tentang demonstrasi itu. Lalu rakyat yang tidak tahu apa-apa ini digiring, dikumpulkan di tempat-tempat tertentu, diberi spanduk-spanduk, dan disuruh berteriak menyerukan yel-yel hafalan, sambil diawasi. Siapa berani menolak? * * * Wardak juga ingat kejadian lain di kantornya di Kabul - tentang para juru ketik yang ternyata kaki tangan polisi rahasia. "Gadis-gadis itu, sebelum disusupkan sebagai juru ketik, telah dilatih di Moskow," tuturnya. Kembali ke Kabul mereka dikirim ke kantor-kantor pemerintah. "Dikirim langsung oleh Perdana Menteri sehingga kita tidak punya pilihan lain." Setiap hari gadis-gadis itu mengadakan pertemuan, pukul 2-4 sore. Juru ketik Wardak sendiri selalu mengunci lacinya kalau dia pergi, kecuali suatu hari: kunci laci itu, entah mengapa, tertinggal di meja. "Segera aku suruh temanku untuk mengawasi pintu. Aku buka laci itu, aku lihat isinya. Ternyata: sebuah alat perekam kecil dan sepucuk pistol." Lalu, katanya, "Gadis itu masih sangat muda paling-paling umur 15 atau 16 tahun ...." * * * Partai komunis Afghanistan, PDRA, sejak pertama kali didirikan -1965 - sudah merupakan gabungan dari dua kelompok yang sebenarnya bermusuhan: golongan Khalq dan golongan Parcham. Persaingan panas kedua kelompok inilah yang selanjutnya menjadi motor utama yang mengerakkan gejolak politik. Pada awal gejolak, pemimpin masing-masing mati terbunuh. Peristiwa ini menandai dimulainya kudeta komunis yang kemudian menyeret juga pemimpin kudeta itu, Mohammad Daud Khan, ke hadapan barisan algojo. Maka, pertarungan terbuka pun pecah: kelompok-kelompok yang sejak semula sudah tidak akur saling melontarkan tuduhan. Pihak yang satu dituduh bertanggung jawab ataspembunuhan 15.000 tahanan politik dan itu dibalas dengan dakwaan pembantaian terhadap 17.000 musuh kelompok itu. Angka-angka itu sendiri, seperti juga angka jumlah korban yang ada sekarang, sangat sukar dibuktikan - lebih sukar dari usaha Wardak untuk membuktikan kecurigaan terhadap juru ketiknya yang agen komunis. Sebab, peningkatan aktivitas agen rahasia memang lebih mudah dirasakan dengan melihat gejala-gejala ini: Sejak kudeta berdarah 1978, menurut Wardak, rakyat Afghanistan selalu dilanda kecemasan. Penculikan dan pembunuhan terjadi di mana-mana serba terencana, terjalin rapi, dan misterius. Dan semua itu tidak bisa di tafsirkan lain kecuali sebagai ulah Khad, dinas rahasia Afghanistan yang sampai sekarang masih diliputi rahasia. Kekuasaan Khad, ujar Wardak, hebat. Kantor Perdana Menteri, katanya, punya tiga pintu gerbang. "Perdana Menteri menggunakan gerbang tengah. Sedangkan yang di sisi secara eksklusif digunakan Khad: sisi yang satu untuk kantor politik, dan yang lain, yang dijaga sangat ketat, kantor khusus para anggota Khad." Selain anggota Khad, siapa pun tidak diperbolehkan memasuki daerah mereka, termasuk pegawai Kantor Perdana Menteri sendiri. Bahkan semua pegawai diperingatkan untuk tidak celingak-celinguk di kedua tempat itu: keluar masuk kantor harus langsung menuju gerbang tengah. "Pokoknya, mereka, Khad itu, tidak mau diusik." Tetapi, sekitar saat pengiriman pelajar ke Uni Soviet, tempat yang biasanya tenang tidak terusik itu tampak sibuk. "Aku kadang-kadang mengintip dari jendela," kata Wardak, "dan kulihat setiap hari anak-anak muda berkerumun di sana. Banyak sekali. Mereka rupanya memang dikumpulkan untuk pendaftaran di Kantor Politik, sebelum dikirim langsung ke lapangan terbang, dengan dikawal oleh aparat Khad." * * * Dalam tubuh aparat Khad, menurut para pengungsi, terdapat benih sistem peringkat dan previlese yang sama dengan yang terdapat di Uni Soviet. Yaitu, pada setiap institusi selalu ditempatkan orang-orang kuat yang diambil dari anggota komite partai komunis. Di Afghanistan orang-orang Partai ini dikenal dengan nama Sazman Iwalia, artinya: Organisasi Pertama. Yusufi menjelaskan proses pembentukan Organisasi Pertama itu di Universitas Kabul. "Mulanya adalah Majelis Mahasiswa dan Staf Pengajar yang punya kuasa untuk menetapkan semua bentuk pengajaran di universitas," tuturnya. "Lalu, pelahan-lahan, jumlah anggota Majelis yang berhak mengikuti rapat pengambilan keputusan dikurangi sampai tinggal dua tiga orang. Kelompok sisa inilah yang akhirnya jadi Sazman Iwalia universitas: membuat segala macam keputusan - promosi dosen beasiswa, seminar, olah raga dan aktivitas-aktivitas sosial, proyek penelitian..." Staf tua, kata Yusufi, disisihkan dan diejek dengan nama "dosen bikinan mesin", untuk membedakan dengan kelompok dosen baru yang direstui Partai. * * * Partai yang berkuasa, PDRA, juga membentuk semacam organisasi induk untuk mengumpulkan massa. Sekali lagi: meniru masyarakat Soviet. Koran-koran yang banyak terbit sebelum pecah revolusi diubah jadi alat propaganda, dan beberapa di antaranya diberi nama seperti kembarannya di Uni Soviet. Asosiasi-asosiasi profesional digalakkan, dibentuk wadah atau persatuannya. Ada persatuan penulis, persatuan pemusik, persatuan artis. Perorangan yang ingin berkecimpung dalam aktivitas itu diharuskan menjadi anggota lebih dulu. Ada lagi organisasi persatuan tani, persatuan pemuka agama, persatuan dagang. Semuanya dikontrol Partai. Persatuan-persatuan itu, kata pelarian dari negeri itu, masing-masing dilengkapi dengan penasihat Soviet. Di atas sistem yang terkoordinasi itu, menurut Mangal, adalah organisasi mahkota: Front Tanah Air, yang antara lain mengusahakan surat kabar khusus. Melalui media inilah asas tunggal mereka digalakkan. Slogannya berbunyi:"Menjadi komunis dan pro-Soviet berarti menjadi patriot bangsa". Mangal tidak lupa menceritakan bahwa di Afghanistan bahkan dibentuk beberapa organisasi anak-anak. Semua anggota organisasi itu dijadikan Parwareshgah Watan, alias "Anak Angkat Tanah Air". Agaknya, kata beberapa sumber, yang diangkat anak oleh organisasi mahkota itu adalah anak-anak yatim yang orangtuanya mati dalam perang. Akhir November tahun lalu Radio Kabul mengumumkan, 870 anak yatim telah dikirim ke salah satu republik Soviet di Asia Tengah untuk dididik selama 10 tahun. Tetapi beberapa pengungsi di Peshawar mengatakan, "Tidak semua yang dikirim itu yatim piatu." Beberapa di antaranya, kata mereka, adalah anak-anak yang dipisahkan secara paksa dari para orangtua mereka. "Itulah sebenarnya yang terbanyak dari yang dikirim ke Uzbekistan dan Tadzhikistan." * * * Membaca sejarah Uzbekistan dan Tadzhikistan, atau republik-republik Soviet lainnya, kita akan melihat perjalanan nasib yang sedang bergulir di Afghanistan. Orang-orang Muslim berbahasa Turki atau Parsi, yang tersebar di Asia Tengah, ditaklukkan. Itu terjadi pada awal abad XIX, ketika Rusia melebarkan sayapnya secara paksa ke arah selatan dan timur. Tetapi Tsar waktu itu masih membiarkan pola hidup lokal berjalan aman dan tak tersentuh. Baru setelah kejayaan Leninisme berkibar, 1917, kehidupan yang tenang diporakperandakan dengan dikeluarkannya undang-undang yang mengharuskan pembentukan partai komunis di Asia Tengah. Tetapi masuknya komunis langsung menyulut sumbu peperangan. Dan mengenai perang yang pahit itu, seorang penulis Soviet mencatat. Di Uzbekistan, katanya, - gerilyawan adalah penunggang-penunggang kuda yang "secara harfiah bisa lenyap di kampung-kampung sebelah sebelum serdadu-serdadu kita sempat membuka mata". Sebuah catatan yang agaknya ditulis untuk mengenang pertempuran yang tidak gampang melawan gerilyawan Uzbekistan. Lebih-lebih di Tadzikistan. Di wilayah terakhir itu, menurut sejarah, angkatan perang Soviet sampai membutuhkan waktu tak kurang dari lima tahun untuk menghancurkan oposisi. Dan memerlukan lima tahun lagi untuk menindas gerakan petani yang menentang sistem kolektif yang dipaksakan kaum Stalinis. Dan sekarang di Afghanistan. Perang yang terjadi di negara tetangga Pakistan ini memang ada juga bedanya dengan perang Uzbekistan dan Tadzhikistan. Paling tidak, dalam hal bahwa Moskow tidak mengklaim Afghanistan sebagai bagian dari Uni Soviet. Atau, menurut para pengamat, perbedaan terbesar adalah pada luasnya oposisi di Afghanistan dan derajat kebrutalan Soviet dalam usaha menghancurkan perlawanan itu. Tentang kebrutalan Soviet ini seorang komandan gerilya, yang kadang-kadang bisa ditemui di Peshawar, memberikan kesaksian: "Pada tahap permulaan," kata komandan yang sering pergi ke Barat itu, "perang Soviet di Afghanistan bersifat terbatas dan klasik tidak seperti sekarang ini." Perang yang dulu itu," ujarnya, "hanya untuk melindungi daerah mereka, dan ditujukan langsung kepada Mujahidin." Tetapi sekarang lain. Di samping Soviet terus mengulangi ofensif, kegagalannya dalam melakukan kontrol ketat terhadap daerah luar kota menyebabkan Beruang Merah meningkatkan operasi militernya. Taktik diubah: Soviet mulai mengarahkan serangan untuk membuat depopulasi, agar penduduk pedalaman terusir ke luar. Abdul Haq, komandan kepala perlawanan di Provinsi Kabul - meliputi daerah sekitar ibu kota Afghanistan - mengatakan bahwa siasat militer Soviet yang sangat kasar itu dimulai setahun yang lalu. Lelaki tinggi besar, berewokan, dan tampak berangasan ini juga menceritakan tentang "tiga taktik baru Soviet" ketika diwawancarai sebelum keberangkatannya ke Eropa, di desa perbatasan Afghanistan. Secara ringkas, taktik baru Soviet itu begini: pertama, memperhebat pengeboman terhadap perkampungan-perkampungan dan tanah pertanian, dengan pesawat udara dan helikopter. Lalu, kedua, menggunakan pasukan komando untuk menyusup ke perkampungan dan wilayah gerilya lainnya sebagai usaha menghancurkan pasukan lawan. Dan terakhir, yang paling ganas, secara cepat dan mendadak melakukan balas dendam yang ditujukan kepada penduduk sipil - untuk setiap serangan yang dilakukan Mujahidin terhadap tentara mereka. Menjawab pertanyaan tentang kesulitan melawan taktik Soviet itu, Haq mengatakan, "Problem kami adalah bahwa mereka - orang-orang Rusia - berperang melawan anak-anak kami, penduduk sipil kami, dan binatang ternak kami." Keganasan Soviet dengan taktik barunya ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa di sekitar Provinsi Kabul, 90% perkampungan sipil sudah "dibersihkan" - alias rata. Sehingga dalam waktu 2-3 bulan terakhir 5.000 sampai 6.000 orang, dari provinsi itu saja, menyeberang ke Pakistan dan menerima nasib mereka sebagai pengungsi. Mengenai derasnya arus pengungsi ini, pejabat Pakistan untuk urusan itu menyatakan bahwa tiga kamp yang relatif baru di Peshawar sudah kewalahan menampung beban aliran pendatang baru yang terus membanjir. Tetapi, menurut si pejabat, bukan berarti aliran pengungsi secara keseluruhan bertambah besar. Pengungsian terbesar, menurut catatan Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi, adalah pada dua tahun pertama setelah invasi Soviet ke Afghanistan, ketika para pemimpin suku memaklumkan keputusan politik "tidak sudi hidup di bawah dominasi Soviet". Sedangkan yang terjadi sekarang, arus pengungsi baru yang diperkirakan mencapai 3.000-5.000 per bulan itu - menurut pejabat Pakistan dan para pengamat Barat - terdiri dari orang-orang yang melarikan diri dari keganasan perang, terutama dari pengboman Soviet. Bukan orang-orang yang mengikuti anjuran politik para pemimpin suku. "Mereka adalah korban keganasan perang," kata seorang pejabat Palang Merah. Dan rumah sakit Palang Merah di Peshawar mencatat, korban kega nasan perang yang dirawat di sana tidak kurang dari 3.000 orang setiap tahun. Korban yang tak terawat mungkin lebih banyak lagi - terutama di Afghanistan sendiri. Dalam usaha menolong orang-orang yang tidak sempat lari itulah, selama lebih dari lima tahun Palang Merah Internasional telah berkali-kali mengajukan permohonan, di Afghanistan, baik kepada rezim Babrak Karmal maupun Uni Soviet, agar diizinkan mendirikan rumah sakit. Tetapi, sampai sejauh ini, niat organisasi kemanusiaan itu tidak pernah digubris. Yang terluka tetap saja tak terawat - kecuali mereka yang berhasil melintasi perbatasan. Untuk melintasi itu, menurut seorang pengungsi, orang-orang yang terluka biasanya diangkut dengan unta, kalau tidak dipanggul saudara-saudara mereka. Dengan berjalan hampir tanpa henti, jarak Afghanistan-Pakistan harus ditempuh 7-10 hari. Para korban itu, kata Dr. Bjarne Ranheim, orang Norwegia yang menjadi direktur medis RS Palang Merah, kebanyakan korban pengeboman, atau korban ranjau, atau korban luka bakar. * * * Hebatnya, orang-orang Afghanistan yang malang itu - para pengungsi dan pemimpin-pemimpin gerakan perlawanan - semuanya menunjukkan keyakinan mereka. Yakni bahwa mereka akan menang dalam perang melawan para penyerbu Soviet. Entah bagaimana, tapi ini memang sebuah keyakinan religius yang tecermin dalam semboyan (sebuah ayat Quran) yang selalu mereka katakan: "Tuhan bersama kami". Paling tidak, inilah sebuah jawaban mengapa rakyat Afghan bisa demikian gagah dalam melawan. Mereka juga yakin akan kuatnya identitas nasional Afghanistan dan kekerasan hati yang telah tertanam bersama identitas itu. Dan keyakinan itu, agaknya, tidak gampang goyah. Itulah mungkin yang menyebabkan rakyat di sana, setiap diberondong segala macam propaganda, malah bersikap skeptis. Juga yang membuat anak-anak muda yang disekolahkan di Soviet boleh jadi malah akan lebih banyak menyimpan api di hati setelah melihat sistem Rusia di sana - paling tidak di belakang hari. Tetapi, kenyataan yang terpampang di republik-republik Soviet di Asia Tengah telah membuktikan formula penaklukan model Rusia yang khas itu. Sejarah mencatat:Tahun 1920-an, para pemberontak Tadzhik - yang oleh orang Rusia disebut "bandit" - seperti juga Mujahidin Afghanistan, digempur habis-habisan. Ternyata, para gerilyawan itu, meski harus melalui waktu bertahun-tahun, bisa dikalahkan oleh kekuatan, kekerasan, kekejaman, kebuasan dan kekejian Soviet yang raksasa itu. Maka, walaupun - dibanding gerilyawan Tadzhik - perlawanan Afghanistan lebih hebat (dan dilihat dari besarnya kekuatan tempur memang demikian), sehingga mampu mengobarkan perang yang sangat menyakitkan dan berkepanjangan, juga walaupun nafsu besar Soviet menghadapi tentangan "semangat merdeka" bangsa-bangsa di dunia, yang bakal terjadi tampaknya sudah jelas. Hasil akhir yang sudah-sudah adalah ini: negara satelit. Afghanistan yang malang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus